Senin, 25 Juni 2007

Buku, Toko Buku dan Film

Buku, Toko Buku, Film: Ziarah Seorang Penonton

Oleh: Mumu Muhajir

(1)

Sebenarnya didasari oleh keisengan belaka, sejak setahunan yang lalu saya kerap memperhatikan setting tempat dan bangunan sebuah film yang saya tonton. Kebanyakan film-film yang saya tonton keluaran Hollywood, kadang film-film dari benua Eropa (Belanda, Italia, Prancis dan Spanyol), ada juga film-film dari Asia, Amerika Latin dan sedikit film produksi dalam negeri. Karena untuk proyek pribadi serta penyakit malas yang lumayan akut, ada beberapa film yang lewat begitu saja tanpa saya perhatikan cermat dan mencatat setting tempat dan bangunan apa saja yang tampil dalam film tersebut.

Bagi saya sangat menarik sekali untuk mencari “apa dan mengapa”-nya sebuah setting tempat dan bangunan itu ditampilkan, dikaitkan dengan keutuhan film itu, baik yang bersinggungan dengan alur cerita, pembangunan karakter tokohnya dan lain-lain. Tentu saja kekurangpahaman akan teori-teori sinema dan teknik pembuatan film membuat pencatatan saya kering dan dangkal. Tapi di zaman di mana katanya penonton punya kemerdekaan untuk menafsirkan lain sebuah teks (baca:film), dengan dasar pengetahuan yang dikuasainya. Pengarang sudah di liang lahat, begitu Roland Barthes menyemangati saya, sehingga saya merasa punya hak untuk membagi tafsiran saya ke sidang pembaca.

Lagi pula banyak orang pintar yang melihat film bukan sekedar karya seni, ia juga adalah praktek sosial dan komunikasi massa. Secara praktek sosial, film dianggap mempunyai keterkaitan dengan ideologi kebudayaan di mana film itu diproduksi dan dikonsumsi. Sementara sebagai komunikasi massa, film adalah media di mana pengirim pesan menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada penerima pesan. Penerima pesan/pembaca kemudian melakukan proses pembacaan untuk menemukan atau menciptakan makna-makna dari pesan tersebut ketika ia bergelut dengan sebuah teks. Pesan-pesan dalam film dijelmakan dalam bentuk serangkaian gambar yang sebenarnya telah dibangun dengan kode-kode sinematografi tertentu sehingga diharapkan para penonton bisa menangkap maksud dari gambar-gambar tersebut. Makna yang ditemukan atau diciptakan oleh pembaca/penonton bisa jadi adalah makna yang tidak terpikirkan oleh si produsen makna sendiri. Barangkali ia adalah sebagaian kecil dari apa yang tidak dikatakan oleh Hermes. Anda kenal Hermes, dewa Yunani kuno, yang tidak akan berbohong, walaupun belum tentu menyampaikan semua yang ia tahu, ketika menyampaikan sebuah pesan dari Sang Maha Dewa di langit kepada manusia.

Dalam catatan saya, setting tempat dan bangunan yang kerap muncul adalah tempat tinggal (rumah biasa/apartemen), tempat publik (jalan raya, bandara, stasiun, taman), tempat makan (restoran/bar/café), tempat usaha (kantor, toko (supermarket, pasar tradisional), hotel/motel), rumah sakit/klinik, kantor polisi/instansi pemerintah. Barangkali film yang saya tonton kebanyakan adalah film-film tentang kota dan kehidupannya, sehingga lahan pertanian atau peternakan tidak saya cantumkan di sana.

Bagian-bagian tertentu dari setting dominan itu ada yang lebih ditonjolkan dibandingkan bagian-bagian lain dari setting yang sama. Ketika film menyorot adegan di sebuah restoran, kamera secara sekilas mengambil gambar interiornya dan kemudian berhenti ketika menemukan tokoh ceritanya yang sedang duduk, sendirian atau ditemani oleh lawan mainnya. Sangat jarang film mengambil adegan di depan kasir. Namun berbeda jika film mengambil setting di supermarket, justru adegan ketika sang tokoh sedang membayar atau mengantri di kasir sering diambil.

Pemilihan setting disesuaikan dengan alur cerita ataupun untuk membangun karakter tokohnya. Dalam serial The Paractice yang berkisah mengenai firma hukum yang idealis, ditampilkan sebuah kantor pengacara yang sempit, sedikit kumuh dengan furniture yang biasa-biasa saja, tanpa gantungan lukisan mahal dan tidak memiliki front office. Tidak terkesan elegan sama sekali yang mencitrakan kekuasaan untuk memberikan rasa aman. Pernah dalam sebuah episode, mereka berbenturan kasus dengan sebuah firma hukum kaya dan terkenal (lengkap dengan lukisan mahal, interior dari kayu deretan kayu tebal tidak tersentuh, warna dominan coklat). Penonton secara tanpa sadar diarahkan untuk membuat kategori seperti ini: idealis=miskin, tidak idealis=kaya, karena kreator film dengan secara sengaja menampilkan kelicikan dan keserakahan firma kaya tersebut. Setahu saya sangat jarang The Practice menampilkan pengacara jujur dan baik hati dari firma hukum kaya.

Pada titik ini pemilihan setting menjadi sangat penting, sebagai media pesan. Ia menjadi salah satu cara mencari keterkaitan logis dengan bagian-bagian lain yang membangun sebuah film. Film tentang dokter sangat wajar ditampilkan ia sedang bekerja di rumah sakit/klinik, dengan bangsal pasiennya dan peralatan kedokteran. Karakter dokter macam apa yang ingin dibangun bisa kelihatan dari rumah sakit mana ia bertugas, di bagian mana dan bagaimana ia menyelesaikan konflik yang hadir sebagai konsekuensi logis adanya setting itu. Filmnya Robin William berjudul Patch Adam mungkin bisa membantu anda: menyindir kerja dokter yang terlalu kaku pada diagnosa ilmiah dan melupakan pendekatan kemanusian. Bahkan sebuah setting bisa menggambarkan lebih detail tentang apa yang sedang terjadi atau dirasakan oleh tokohnya atau bercerita banyak tentang latar belakang alur cerita sebuah film tanpa penjelasan tokohnya atau kehadiran narator (lihat pada film Baraka, garapan John Ficke).

Kalimat pemilihan setting membuat film tidaklah bersifat bebas nilai. Dalam arti bahwa setting yang hadir dalam film bukan hanya representasi dari tuntutan skenario film, misalnya. Pemilihan setting mengindikasikan adanya proses penyeleksian di awal atas beberapa setting yang ditawarkan; penyesuaian dengan keinginan pembuatnya atau anggaran yang ada; penyortiran pada tahap editing terhadap adegan, setting mana yang dihilangkan atau ditonjolkan tapi tidak mengurangi keutuhan cerita sebuah film.

Sehingga apa yang tampil dalam film bukan citra sebagaimana adanya. Ia adalah citra yang telah direncanakan, diangankan dan karenanya telah terpiuhkan. Masyarakat penonton kemudian secara tanpa sadar menerima citra itu sebagai realitas yang sebenarnya.

Film sebagaimana media massa lainnya, tidaklah pernah merepresentasikan realitas secara wajar. Ia bukan lagi dipandang sebagai cermin apa yang terjadi di masyarakat. Tetapi sudah mencapai taraf menyodorkan realitas lain, menodong dan memaksa penonton untuk mengikuti makna/nilai/citra yang ditampilkan. Ia secara halus bisa menghardik pemirsanya untuk selalu mengikuti apa yang diinginkannya. Pencipta film telah mengambil alih kacamata yang digunakan para penonton dengan miliknya dan menuntun penonton pada gambar yang hadir di layar. Berbeda dengan aktifitas membaca buku, dimana pembaca masih bisa menguasai apa yang dilihat oleh matanya, dalam film gambar itu menyerbu ke dalam retina mata tanpa bisa dicegah, diseleksi oleh otak. Gambar-gambar yang tidak sempat diseleksi itu akan tersimpan rapi di alam bawah sadarnya dan secara tanpa sadar pula menentukan tingkah lakunya.

Namun untunglah kejadiannya tidaklah berjalan satu arah seperti itu. Para kreator film itu tidaklah bekerja di ruang hampa. Ia melihat, mendengarkan, memeriksa, menyerap, memilih, menyesuaikan nilai apa yang berkembang di masyarakatnya. Ada proses timbal balik di sana.

Film pada akhirnya bisa menunjukkan pandangan pembuat film tentang sesuatu dan pada derajat tertentu, praktek sosial yang ada di masyarakat.

(2)

Berdasarkan apa yang telah saya uraikan di muka, betapa masgulnya saya ketika menyadari bahwa buku dan toko buku minim sekali ditampilkan dalam film-film yang saya tonton. Saya agak mafhum kalau itu adalah film-film Indonesia, dimana masyarakatnya masih bisa dikatakan tuna pustaka. Tapi jelas saya kaget ketika mereka adalah film-film keluaran Hollywood dan Eropa non Perancis, dimana ribuan judul buku diterbitkan per tahunnya dan tiap judul buku rata-rata dicetak pada kisaran ribuan, puluhan ribu bahkan ada yang sampai jutaan kopi; toko bukunya tersebar di sembarang tempat dan selalu ramai dikunjungi pengunjung dan tidak sepi dari beragam kegiatan; persebarannya ditunjang oleh media massa (konon di New York sana ada media massa mingguan yang khusus mengulas melulu resensi buku, yakni New York Review Of Books, atau acara bedah buku di televisi); masyarakat yang memandang buku sebagai kebutuhan, ditunjang oleh kebiasaan membaca yang sudah mendarah daging; dan orang bisa jadi kaya karena memilih berprofesi sebagai penulis.

Saya tidak mengerti, apakah kekokohan budaya membaca dan infrastruktur perbukuan di sana tidak menjadi penting bagi para pembuat film, untuk menaikkannya ke layar lebar/kaca? Ataukah mungkin karena saking kokohnya, menampilkan buku atau toko buku hanya akan membuat filmnya terlihat cerewet dan basi, mengomongkan sesuatu yang sudah biasa? Saya terus terang merasa aman untuk mengambil kemungkinan kedua. Buku dan toko buku jarang ditampilkan dalam film-film mereka karena ke dua hal itu sama biasanya seperti aktifitas menggosok gigi setelah makan dan hendak tidur. Seringkah anda melihat kegiatan di kamar mandi itu di film-film mereka?

Tapi bagaimana dengan film-film yang menghadirkan buku atau toko buku? Dari catatan saya, saya membaginya dalam tiga kategori. Pertama, film yang bertema tentang buku; kedua, film yang tidak bertema buku, namun menghadirkan buku dan toko buku tidak sebagai tempelan; ketiga, film yang menampilkan kedua hal itu hanya sebagai tempelan.

(3)

Untuk kategori pertama, saya bisa menyebut film Nineth Gate. Film yang dibintangi oleh Johnny Depp ini bercerita tentang misteri buku tua. Seorang pemburu buku tua dan langka yang berteman dengan seorang pemilik toko buku bekas sekaligus penadah hasil buruannya. Keduanya terlibat dalam intrik-intrik perburuan buku tua misterius yang dicari-cari oleh para bookaholic. Para bookaholic dalam film ini benar-benar gila. Ada yang menyimpan koleksi bukunya di ruang tersembunyi dengan kunci pengaman canggih dan rahasia. Koleksi bukunya memang langka, rata-rata cetakan abad ke 16 sampai abad ke 19, atau buku yang dicetak dalam edisi yang sangat terbatas atau buku unik. Mereka membuat semacam klub eksklusif yang isi perbincangannya melulu buku.

Pada awal film dinarasikan Johnny Depp berhasil memperdaya seorang kolektor buku tua yang sakit-sakitan lewat anak dan menantunya yang walaupun kelihatan cerdas dan berpendidikan tinggi, lebih merelakan koleksi buku langka ayahnya dijual dengan harga yang miring asalkan bisa tersingkir dari mata mereka, dan ruangan bekas rak buku itu bisa diganti dengan barang-barang furniture lain kesukaan mereka. Kolektor tua itu sangat marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri.

Pertentangan antar generasi mengenai pandangannya pada buku, menurut saya, tidak lepas dari citra yang melekat pada buku itu sendiri yang ditanamkan oleh masyarakat. Buku dicitrakan sebagai sesuatu yang kuno, berat, serius, mengajak merenung, yang sepertinya cocok dengan pandangan kita tentang orang tua. Sementara orang muda adalah tipikal orang-orang yang cenderung hedonis, berpikir pendek, memandang hidup dengan ringan dan instan, yang jauh dari kesan yang dialamatkan pada buku. Secara tanpa sadar film ini pun selalu menampilkan kolektor buku sebagai seorang tua, serius, aneh dengan banyak kerutan di dahi.

Film ini berakhir dengan celoteh tentang ketamakan manusia dalam mendapatkan kebahagian lewat penguasaannya pada dunia seperti yang sudah dijanjikan oleh Lucifer, penulis buku misterius itu, dengan syarat menjual jiwanya menjadi hamba Lucifer. Dekat-dekat dengan cerita drama Faust-nya Goethe-lah.

Teka-teki kebahagian itu bisa didapatkan setelah Johnny Depp mati-matian membongkar misteri yang ditawarkan oleh buku itu, dengan mencari keterkaitan antara satu fakta dengan fakta lainnya yang dituliskan di buku itu, dengan memahaminya keseluruhan buku itu. Setidaknya itulah yang dijanjikan oleh pengarangnya. Saya pikir ada kaitannya dengan aksioma pada orang-orang yang membaca banyak buku, bahwa buku yang mengandung banyak pengetahuan itu bisa mengantarkan manusia untuk mengerti dirinya dan lingkungannya. Memahami fenomena yang ada pada dirinya dan pada dunia, yang dengan itu manusia mempunyai pemikiran untuk berbuat sesuatu, menaklukkan, menyesuaikan diri atau menyingkir, demi untuk menaikkan kadar kualitas dan kuantitas hidupnya. Buku adalah gudangnya ilmu pengetahuan, adalah jendela dunia. Semakin banyak tahu dan mengerti apa yang terjadi dalam diri dan di luar diri, semakin lebih baiklah kehidupan kemanusiaan kita. Akankah dengan itu kebahagian bisa tercapai? Tunggu dulu, ingatkah anda sebuah pernyataan dalam Film Matrix yang bikin heboh itu, bahwa ketidaktahuan adalah kebahagiaan?

Bahkan dalam film Les miserables (1995), buku adalah petunjuk bagi seorang Jean Vaeljen dalam mengarungi hidupnya pada masa berkuasanya kekuasaan fasis di Eropa sekitar tahun 1940-an. Film ini pada awalnya menceritakan apa yang ada dalam novel berjudul sama yang ditulis oleh Victor Hugo. Kemudian dengan sangat cantik, karakter yang ada dalam novel dan bagian awal film itu, ditarik dari ruangnya dan dicocokkan pada keadaan lain, diterapkan pada masa kekinian. Seorang sopir truk membantu satu keluarga yahudi untuk keluar dari Perancis yang waktu itu dianeksasi oleh Nazi Jerman. Ia adalah seorang Jean Vaeljen baru. Dalam perjalanan melepaskan diri itu ia meminta keluarga itu menceritakan isi novel Les Miserables karena ia tidak bisa membacanya. Jadinya secara naif, atau memang karena untuk itulah film ini dibuat, ia menemukan banyak karakter yang sama dalam novel itu dengan kenyataan di depan matanya, bahkan meramalkan apa yang akan terjadi di depan. Ia hampir menjadikan buku itu kitab sucinya dalam mengarungi hidupnya. Tapi Ia dan film itu menyadari bahwa hidup tidaklah sesederhana seperti apa yang terdapat dalam novel itu.

(4)

Untuk kategori kedua, boleh saya sebut film Serendipity, film yang bertema roman percintaan yang mengintegrasikan buku pada keutuhan cerita filmnya. Seorang laki-laki dan perempuan bertemu secara kebetulan, melakukan aktifitas bersama dan saling jatuh cinta. Tapi karena merasa perasaan itu terlalu cepat datangnya, mereka memutuskan untuk mempertaruhkan masa depan hubungan mereka pada buku dan uang kertas.

Buku itu, Love in The Time Of Cholera, karangan Gabriel Garcia Marquez, yang telah ditulisi dengan nama dan alamat si perempuan, dijual/disimpan (?) oleh perempuan itu pada sebuah toko buku bekas. Kalau buku itu bisa ditemukan oleh si laki-laki, maka mereka berjodoh. Begitupun dengan nasib uang kertas itu, yang setelah ditulisi dengan alamat si laki-laki, dibelikan sesuatu oleh John Cussack, si laki-laki. Jika si perempuan bisa menemukan uang kertas itu kembali, mereka akan bersatu.

Si laki-laki memburu buku itu berbulan-bulan, dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Film ini menampilkan usaha laki-laki itu dalam gerakan cepat, karena banyaknya toko buku bekas di kotanya yang ia kunjungi. Perburuan buku itu menarik perhatian calon isterinya. Ia merasa bahwa buku itu sangat penting bagi calon suaminya, maka ketika mereka akan menikah, ia menghadiahi laki-laki itu dengan buku yang selama ini di burunya. Kebetulan yang kemudian benar-benar merubah jalan hidupnya.

Kenapa buku? Kedua orang itu adalah lulusan perguruan tinggi, berasal dari kelas menengah. Bahwa bagi mereka buku adalah barang yang penting. Tak ada salahnya bagi mereka untuk menghadiahi seseorang dalam acara yang penting dalam hidupnya dengan sebuah buku. Buku tokh bisa sama romantisnya dengan sepotong coklat atau seikat kembang merah. Dalam Film Nineth Gate pun, saya melihat bahwa buku dapat juga menunjukkan status sosialnya: kalangan menengah atas yang terdidik, terobsesi dengan eksklusifitas dan dalam gejala lain: sedikit snob.

Pemilihan judul buku itu, Love in The Time Of Cholera, karangan Gabriel Garcia Marquez, sangat relevan dengan apa yang diinginkan oleh tokoh-tokoh dalam film itu. Jika anda pernah membaca buku itu, yang menurut Marquez sendiri ditulis “from my gut”, anda akan menangkap keabadian cinta, melewati perjalanan waktu dan berbagai rintangan. Mungkin seperti itulah romantisasi cinta dalam bayangan mereka. Bahwa ada konflik sosial yang secara cerdas disamarkan oleh Marquez dalam bukunya itu, tidaklah mengganggu imajinasi mereka tentang kebahagiaan bersatunya cinta oleh sesuatu di luar kekuasaan mereka. Tokh konflik itu terjadi di nun jauh di sana, di sebuah negara dunia ketiga. Mereka, berada di sebuah negara dunia pertama yang makmur, tentu yang mudah-mudah saja yang sampai ke mereka.

Tapi benarkah hanya karena mereka berasal dari perguruan tinggi dan kalangan menengah atas? Bukankah lebih banyak film-film yang walaupun menghadirkan tokoh dengan dua kriteria di atas, buku atau toko buku tidak ditampilkan sebagai penanda?

(5)

Saya tidak tahu pasti. Kadang saya mencium bahwa aroma phobia buku tidak hanya menguar di negeri tercinta kita ini, tapi juga di sana, di sebuah peradaban yang sedang mengangkangi dunia, yang salah satu elemen pembangunnya adalah produk dari mesin cetak ciptaan Gutenberg itu. Saya masih sering membaca kekhawatiran orang tua tentang tingkah laku anak remajanya yang lebih sering menghabiskan waktu senggangnya membaca buku di kamarnya daripada bersuka ria dengan teman sebayanya. Dari hasil polling pun saya tahu bahwa di sana pun menjadi lebih tampan/cantik adalah lebih utama dan lebih diinginkan daripada menjadi lebih pintar. Saya juga berani bertaruh bahwa dana yang mereka keluarkan untuk kosmetika atau menyalurkan hobi jauh lebih besar dibandingkan dana untuk membeli buku.

Buku yang diasosiasikan dengan kuno, berat, serius, dan karenanya layak untuk dijauhi, tampil impresif dalam film-film remaja. Saya sering menangkap citra orang yang kutu buku sebagai penyendiri, tidak gaul, aneh, berkaca mata tebal, dandanan yang out of date dengan tingkah yang selalu jadi bahan tertawaan. Pokoknya enggak fungky dan bikin geli. Bagi kebanyakan remaja itu sangat menakutkan. Ketika citra itu dimamah biak, wajar jika membaca buku, menyambangi toko buku jarang mereka lakukan.

Syukurlah ada Ada Apa Dengan Cinta? Garapan Rudi Sudjarwo. Ia menawarkan citra lain remaja pecinta buku : tampan, sedikit gaul, tidak malu-maluin, punya “karakter”, walaupun tetap dingin. Ia penyuka puisi; di kamarnya ada gambar besar Chairil Anwar. Belum cukup juga, ditambahkan buku yang dibacanya adalah Aku, sebuah skenario film karangan Sjuman Djaya. Konon katanya ketika demam Ada Apa Dengan Cinta? melanda tanah air, banyak orang yang sengaja datang ke toko buku menanyakan buku itu. Mungkin mereka hendak meniru tingkah laku Rangga dan Cinta ketika berburu buku di Kwitang sana. Saya terkejut. Kenapa bukan toko buku “modern” yang tampil dalam adegan itu? Mungkin saja pembuat film memahami karakter kebanyakan orang Indonesia dalam berbelanja: menawar. Sesuatu yang kayaknya tidak mungkin didapatkan di toko buku “modern”. Tapi Kwitang adalah pasar buku yang menjual buku baru atau bekas dengan harga rabat. Ada faktor kesengajaan karena film itu ditujukan buat jadi konsumsi remaja, yang pasti kebanyakan belum punya penghasilan sendiri. Di sisi lain adalah jitunya pembuat film dalam memahami karakter kebanyakan orang Indonesia ketika membeli buku, faktor isi adalah nomor dua, yang paling menentukan dia membeli atau tidak adalah harga. Berbeda jika sedang memburu barang-barang hobi atau koleksi, dimana harga adalah faktor kesekian, harga buku adalah faktor utama karena masih nomor buncitnya kebutuhan akan buku bagi kebanyakan kita.

Saya mengajukan dugaan lain: harga buku kita memang relatif mahal bagi kebanyakan rakyat kita jika dilihat persentasenya pada pendapatan per kapita pertahun. Kita adalah salah satu negara dunia ketiga yang tingkat kesejahteraan rakyatnya sedikit lebih maju dibandingkan negara-negara Afrika sub-sahara sana. Anda bisa menyebut pajak terhadap kertas yang menjadi salah satu biang keladi mahalnya buku.

Memang seperti itu. Sudah saya katakan di muka bahwa pangsa film ini adalah para remaja yang kebanyakan belum punya penghasilan sendiri. Namun lihatlah tingkah pola Cinta dan ganknya dalam film itu yang begitu bersemangat menonton sebuah pertunjukan musik band terkenal di deretan paling depan atau makan minum di café, atau seperti kebanyakan remaja kita yang biasa mengeluarkan sekian ratus ribu rupiah perbulannya untuk membeli pulsa telepon genggamnya. Tidak nampak kere. Apalagi om-om yang menyediakan sekian e-M sebagai anggaran untuk membeli jaguar atau BMW seri terbaru. Membeli buku? Sudahlah.

Barangkali ini masalah konstruksi kesadaran. Di abad di mana informasi memegang peranan penting dalam mengatur tingkah polah manusia. Media massa, termasuk film, berhasil merekonstruksi kenyataan, mengisinya dengan nilai-nilai yang dianggap dominan dan menguntungkan, menyodorkannya pada pemirsa layaknya wahyu yang haram jika tidak diikuti. Mereka menciptakan kebutuhan, mengaburkan batas antar kebutuhan (need) dengan keinginan (want). Penonton tinggal menyesuaikan diri dengan citraan itu.

(6)

Saya malah menemukan bahwa buku dan toko buku dalam film drama percintaan digunakan untuk menunjang karakter aneh tokohnya, demi untuk mencapai derajat tertentu keromantikaan. Bukankah yang aneh-aneh, yang lain, kadang menjadi sesuatu yang eksotis untuk dicoba didekati? Eksotis berarti sesuatu yang murni, peka, yang belum tercampuri oleh hawa dunia atau rasio. Ada sifat misterius di sana, yang sangat menantang untuk dijamah. Film Notting Hill adalah contohnya. Seorang pemilik toko buku khusus buku perjalanan bertemu jodohnya dengan seorang selebritas terkenal. Anda mungkin tidak suka dengan film yang renyah, yang sejak awal anda sudah bisa menerka alur naik turunnya jalan cerita serta kesimpulan akhirnya yang biasanya happy ending.

Tapi bagi saya sendiri yang menarik dari film ini adalah pemilihan toko buku khusus buku perjalanan untuk menunjang karakter tokohnya. Hugh Grant memerankan tokoh yang sedikit pecundang, punya mimpi besar tapi tidak bisa dicapainya. Mimpi itu adalah melanglang buana melihat dunia, meninggalkan cuaca muram kota London dan kenyinyiran kerabatnya. Sangat ironik ketika kita tahu ternyata Hugh Grant belum pernah mengunjungi satu tempat pun yang diterangkan dalam buku-buku wisata yang dijualnya. Toko buku menjadi monumen kompensasi dari ketidakmampuannya merealisasikan mimpinya.

Toko buku menjadi awal cinta mereka tumbuh, sebagaimana dalam film The Cave (2001). Sebuah film Belanda, yang mempersilahkan toko buku menjadi awal tumbuhnya cinta di antara dua tokoh cerita. Di antara rak-rak buku yang sempit, Egon, seorang mahasiswa geologi, mendengar ada seseorang memainkan cello, seorang perempuan, mahasiswa sastra pada universitas yang sama dengan Egon, yang kelak menjadi isterinya. Saya sangat suka dengan interior toko bukunya. Rak-rak buku yang berhimpitan dan menjulang hingga menyentuh plafon, tumpukan buku-buku, tangga buku, di tengah-tengahnya terdapat sedikit ruang tempat menyimpan alat-alat musik: Piano, cello dan biola. Setiap pengunjung boleh memainkan alat musik itu. Tapi bisakah anda melepaskan diri untuk tidak mengaitkan alat musik itu dengan karakter buku dan toko buku yang sudah tertanam diotak kita. Apakah cello biasa dimainkan untuk sebuah komposisi musik underground, misalnya? Semua orang tahu bahwa cello biasanya dipakai untuk mengiringi komposisi musik klasik. Membaca buku membutuhkan konsentrasi dan konsentrasi akan lebih bisa tercapai kalau ruangannya nyaman dengan musik yang seirama dengan detak jantung manusia, yaitu musik klasik.

Makanya saya cukup terkejut ketika ketika ada sebuah toko buku di Bandung yang bernama Omunium, yang menemani pengunjungnya dengan musik underground, bukan dengan musik klasik atau jazz sebagaimana biasanya.

Film-film buatan negeri Eropa, terutama film Francis, memang paling sering memunculkan setting rak-rak buku, biasanya di dalam apartemen atau rumah biasa, dibandingkan film-film Hollywood. Kita bisa menyaksikannya pada Moulin Rouge (2001), Le Fabuleux Destin d’Amelie Poulain (2001) atau Les Miserables (1995) tadi, dan masih banyak lagi. Hampir pasti ketika kamera menyasar sebuah apartemen atau rumah tinggal, ada rak-rak buku.

Saking seringnya saya melihat tampilan buku dalam film-film Perancis, yang dalam beberapa film tidak begitu mempengaruhi keutuhan sebuah film, hanya sekedar numpang lewat, saya curiga jangan-jangan ada semacam kampanye “pembangunan karakter bangsa” dibalik film-film itu. Namun berbeda dengan umumnya kampanye serupa di tanah air, yang isinya melulu pengagungan pada tradisi dan moralitas ketimuran dan membuat oposisi biner: Timur/Barat, dengan Barat sebagai biang kerok, kampanye mereka berupa penegasan bahwa bangsa Perancis, selain bangsa yang memiliki sense of art yang tinggi, menghargai tradisi, juga adalah bangsa yang beradab, maju, menghargai intelektualitas dan rasionalitas, dengan cara mengambil alih karakter yang “melekat” pada buku. Seolah bangsa Perancis ingin menegaskan dirinya bahwa selain anggur dan café dan mode, buku adalah salah satu ciri lainnya dari kebangsaan Perancis.

(7)

Tapi bukankah buku juga adalah kesedihan, muram, lambang dari rasa sakit yang coba ditahan bertahun-tahun, kekecewaan, kegetiran, ketidakpercayaan pada dunia dan manusia? Dalam film Belanda berjudul Antonia’s Line, tokoh yang cukup dipanggil dengan nama kecilnya, Crocked Fingers, melihat buku adalah penawar sekaligus racun pada apa yang diyakininya, pada apa yang dilakukannya.Tua, antik, berkaca mata, rambut panjang awut-awutan, serius, tidak pernah keluar rumah, sejak ia pulang akibat terluka dalam Perang Dunia Kedua. Membaca buku terus, terutama yang bertema eksistensialisme. Karakternya dingin, sepanjang film kita tidak pernah diberitahu apa yang sedang berkecamuk dalam batinnya. Tawar. Buku, atau tepatnya aktifitas membaca dan merenung, adalah cara dia berlindung dari semrawutnya dunia. Tapi dititik yang sama, bukulah yang bisa memahami sekaligus memberi ciri dari apa yang sedang ia renungkan, pada apa yang ia rasakan. Coba kita dengarkan apa yang diucapkannya pada ulang tahun cucunya Antonia: mengajaknya mendaras buku Nietzsche. Hingga suatu saat ia menyadari bahwa segalanya sudah terlambat, ia tidak cukup memahami apa yang dilakukannya, tidak punya pilihan, kebosanan: yang terbaik adalah tidak dilahirkan, tidak ada, dan yang terbaik dari semuanya itu adalah mati; begitu dia menyitir ucapan Schoupenhaur. Ia memutuskan bunuh diri.

Teman nonton saya berkomentar begini: “gitu tuh kalau terlalu banyak baca buku, fatalis.” Saya cuma terkekeh. Mungkin ia harusnya menjelaskan buku apa yang dimaksud. Ada buku yang kalau kita baca bukannya membuat kita fatalis, tapi malah bergairah, bahkan mungkin agresif.

Anda mungkin pernah mendengar ada orang yang menyarankan jangan terlalu dalam mempelajari filsafat, nanti bisa gila. Tapi yang saya tangkap malah ketakutan manusia kehilangan eksistensinya, penguasaannya secara jelas dan terang pada apa yang ia rasakan, ia lakukan, kekuasaannya pada dirinya sendiri. Gila adalah keadaan di mana diri tidak bisa lagi menguasai diri lain dalam tubuhnya. Semacam pembebasan. Kebebasan dari keharusan akan kejelasan, penyeleksian, pengaturan, penundukan eksistensi secara rampat papan pada sebuah nilai atau citra yang utuh padu. Gila adalah penghancuran kesatupaduan eksistensi itu, identitas diri itu. Orang sebenarnya takut dengan kebebasan. Ia memberikan rasa ketidakamanan. Filsafat memberi kesempatan membuka banyak diri dalam tubuh, yang dulunya mungkin tidak diketahui atau pura-pura tidak diketahui.

Kematian, kata Heiddeger, adalah satu-satunya yang bisa menghilangkan eksistensi manusia. Karena itu manusia takut dengan kematian. Tapi kematian adalah semacam kejelasan “setelah siang adalah malam”, pasti akan mencapainya. Kalau ada orang yang secara sengaja membuka pintu untuk kedatangannya? Nekat, tolol, atau ia memahami sesuatu yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang?

(8)

Sementara untuk film yang dalam cacatan saya masuk ke dalam kategori film, yang walaupun menampilkan buku atau toko buku tapi hanya sebagai tempelan saja, contohnya adalah film You’ve Got Mail. Bagi saya film ini tidak cukup keterkaitan antara karakter tokohnya dengan posisinya sebagai pemilik toko buku. Satu pemilik toko buku kecil khusus buku anak yang diperankan Meg Ryan, sedang lawan mainnya yang dimainkan oleh Tom Hank adalah pemilik jaringan toko besar yang hendak menyaingi toko buku milik Meg Ryan. Jika anda perhatikan secara utuh film itu anda mungkin akan sampai pada kesimpulan bisa saja toko buku itu diganti dengan, sebutlah, toko roti. Karena kayaknya karakter tokoh tidak dibangun oleh setting bangunannya. Tetapi oleh persepsi masyarakat akan betapa harusnya perempuan yang berumur lebih dari 30 tahun untuk berkeluarga atau tentang nostalgia masa lalu atau betapa anehnya cinta itu hadir.

(9)

Dengan naifnya saya sampai pada kesimpulan bahwa buku dan atau toko buku tidak dianggap sebagai kebutuhan, mengunjungi toko buku jarang masuk dalam agenda weekend kebanyakan kita, karena jangan-jangan tontonan kita sangat minim menampilkan gambar-gambar tentang buku atau suasana toko buku yang seimpresif, semenyenangkan, sekelas dengan mengunjungi mall atau belanja di butik. Banyak bukti yang menunjukkan ketika sebuah film idenya berasal dari buku atau menyebut-nyebut sebuah buku dalam film itu, orang-orang dengan antusias mengunjungi toko buku untuk membeli buku tersebut. Novel The Hours, karangan Michael Cunningham dan buku-buku karangan Virgiana Wolf, terkerek naik penjualannya begitu filmnya, The Hours, diputar di Jakarta. Atau buku Aku-nya Sumandjaya yang ikut-ikutan dicari orang gara-gara numpang dalam film Ada Apa Dengan Cinta?

Mungkin ironis karena ia mengikuti hukum trend. Begitu filmnya tidak dibicarakan lagi, tergilas oleh film lain yang sama sekali tidak menampilkan buku atau toko buku sebagai sesuatu yang indah, romantis dan perlu, maka buku dan toko buku kembali sepi, iseng sendiri.


Yogyakarta, 2 November 2003

[versi lengkap; versi ringkas pernah dimuat di Majalah Mata Baca]


Kamis, 21 Juni 2007

Around the Bend: Ritus terakhir lelaki penuh luka

Around The Bend: Ritus terakhir lelaki penuh luka

Oleh: Mumu Muhajir

Maafkan atas judul yang terlihat sangat sentimental atau rapuh dan cengeng. Terakhir kali aku menitikan air mata dan tenggerokan sakit karena menahan sesuatu yang hendak keluar adalah ketika menyaksikan film The Eternal Sunshine of the spotless mind [maaf juga karena secara linearitas waktu, aku menontonnya secara terbalik, saya yakin film the eternal…dibuat terlebih dahulu daripada “around the bend”].

Film ini bukanlah film atau berusaha menyedihkan suatu kejadian. Sangat sedikit adegan stereotype yang memperlihatkan kesedihan, seperti lelehan airmata, close up pada wajah, wajah sendu menatap kosong di serambi. Adegan diambil seperti tidak sengaja untuk megungkapkan kesedihan, seperti tidak diperhtikan padahal di danalah intinya. Mungkin ini ada hubungannya dengan kemisteriusan pesan kematian dari kakek buyutnya zasch [josh Lucas].

Mengapa juga laki-laki? Dalam film ini semua masalah adalah tentang laki-laki dan perempuan hanya diceritakan saja sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi “napas” bagi toko cerita [sebagaimana dialami oleh Tuner].

Yang benar-benar mengena adalah jalan cerita yang tak lajim. Cerita dimulai dengan kedatangan seorang lelaki setengah baya dengan bayangan kesedihan yang membayang dijidatnya, yang ternyata adalah Tuner, anaknya Henry, ayahnya Jason dan kakeknya Zach, . atas kedatangannya itu, Henry, seorang arkeolog yang tidak terlalu berhasil, tiba-tiba mengajak cucu buyutnya ke “restoran” KFC, dimalam-malam buta. Yang tidak diketahui oleh Zach adalah Henry sedang membuat surat wasiat aneh berisi dua surat, beberapa remasan peta, kertas pesan, yang kesemuanya dimasukkan ke dalam kertas belanja KFC [apakah sangat jelas film ini dibiayai oleh KFC?]. Tiap lelaki dalam pohon silsilh ke bawah keluarganya mendapatkan masing-masing pesannya.

Jason, yang pincang kakinya – konon karena kecelakaan mobil yang menewaskan ibunya dan karenanya membuat ayahnya meninggalkannya, setelah sebelumnya selalu teler – agak sedikit terguncang dengan kedatangan ayahnya itu. Ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya selama 30 tahun. Jelasnya adalah kedua mereka tidak pernah menjalani waktu yang sama di masa lalu. Hanya satu kejadian dimasa lalu yang mereka bagi bersama tetapi dengan versi masing-masing. Ada rasa yang asing antara ayah dan anak yang semestinya tidak ada. Henry merasa sebagai keluarga mereka tidak begitu saling mengenal [henry tida tahu lagi apa yang dilakukan oleh Tuner, tuner tidak tahu apa yang terjadi pada Jason anaknya yang ditinggalkannya 30 tahun yang lalu, zach juga tidak tahu bagaimana kehidupan henry, tuner dan Jason di masa lalu] dan dengan pesan wasiat itu ia ingin sebagai keluarga mereka melakukan reuni: antar mereka, antara mereka dengan masa lalu mereka, antara mereka dengan diri mereka masing-masing.

Henry tahu bahwa saatnya sudah tiba. Ia mati. Ia ingin tubuhnya dikremasi, beserta dengan Anjing kesayangannya, Sky, yang menurut Henry, saat ajalnya juga sudah dekat. Abu mereka berdua ingin disebar ditempat-tempat yang ditunjukan oleh Henry di surat wasiatnya itu.

Menurut henry, saling kenal antar keluarga itu bisa dilakukan dengan cara melakukan ritual tertentu yang khas keluarga, seperti makan bareng di “restoran”. Restoran ini dalam pandangan Hnery juga termasuk KFC, yang menurutnya termasuk ke dalam definisi restoran mewah. Dalam wasiat itu dituliskan bahwa semua ritual mendatangi dan menyebarkan abu mereka berdua harus diawali dengan makan di KFC.

Jadi begitulah, ketiga mereka menyusuri tempat-tempat yang ditunjukan oleh Henry, sang arkeolog anggung yang bekeyakinan “ada beberapa hal yang memang harus dicuri”, dengan memakai mobil VW combi tua Hnery.. Tempat-tempat itu ternyata adalah tempat-tempat yang mempunyai kenangan bagi Hnery sebagai patriakh pertama keluarga. Mereka mengunjngi makam isterinya Henry, tempat kecil henry dan tempat petemuan pertama henri dengan isterinya yang juga iu, nenek da nenek buyut dari ketiga mereka. Arti tempat itu dijelaskan henry dalam pesan wasiatnya. Seolah ia sedang menunjukan asal usul mereka bertiga atau juga masa lalu mereka yang sama.

Dengan melakukan perjalamam menyusuri malsa lalu mereka itu, ayah dan anak mulai menyadari ada pengertian diantara mereka. Dan karena ini film laki-laki, maka pengertian itu tidak ditunjukan dengan kata-kata seperti cerita tentang apa yang dilakuak oleh Tuner selama kepergiannya meninggalkan Jason atau apa yang dilakukan oleh Jason. Ada sedikit latar belakang yang dibuka tentang masa lalu mereka yang mereka buka sendiri, sediit lebih banyak orang lain yang mencertakan masa lalu masing-masing mereka.pengertian antara mereka lahir karena mereka adalah ayah dan anak dan kata-kata adalah sampah untuk menjelaskan hubungan komplek itu.

Dalam bahasa Tuner, dia akan diam dan mndur jika Jason memaksanya menceritakan masa lalunya, apalagi alasan kenapa ia meninggalkan dirinya sewaktu ia masih kecil, bukan apa-apa, tetapi tidak ada usaha apapun lagi untuk membetulkannya. Jadi mari bicara tentang sekarang. Jason, dengan ingatan yang sedikit tentang ayahya dn hanya tahu siapa ayahnya dari cerita Hnery ada awalnya diliputi dengan kemarahan dan kecewa dan selalu menuntut tanggung jawab dari ayahnya yang juga erarti meminta ayahnya mengungkapakan salahnya pada dia. Tapi tuner tidak pernah menyerah pada perintaannya itu. Mereka berdua adalah laki-laki yang jika terkena masalah kemudian menutup diri dan berpura-pura bahwa tidak ada masalah.

Tapi bagaimana pun tetap harus ada yang diselesaikan dari kejadian di masa lalu. Entah karena ia telah menjadi dendam atau sesal atau permintaan maaf yang belum sempat diucapkan. Perjalanan ini pun harus ada akhirnya. Dan perhentian terkahir yang tahu hanya dua orang: hnery dan Zash. Dua orang lelaki yang tidak berkaitan langsung dengan misteri besar yang membayangi kehidupan dua lelaki lainya. Tempat itu adalah tempat yang selalu dihindarileh Tuner. Bukan karena menyebalkan dan menakutkannya [walalupun memang menakutkannya], tetap karena di tempat itulah ia melakukan hal yang terus disesalinya dan mengahantuinya selama 30 tahun terakhir dalam hidupnya.

Tapi pesan terakhir dari ayahnya mengharuskannya tetap ke sana. Jason, yang hanya mendapatkan satu pesan: sebuah alamat di Alburquerque, bertanya-tanya kenapa ayahya tidak mau ketempat itu.

Akhirnya mereka bertemu di tempat itu, mereka harus menyebarkan abu henry di sana, tetapi ritual apa yang harus dilakukan di tempat itu dan apa makna tempat itu bagi keberadaan mereka berdua. Pesan terkahir di tangan henry di tangan Tuner adalah “ceritakan kepadanya kejadiannya”.

Yang diketahui oleh Jason, empat itu adalah tempat masa kecilnya. Tuner merasa bahwa keinginan Hnery untuk menyebarkan abunya di sana adalah balas dendam dirinya terhadapnya atas sesuatu hal yang telah mati-matian dia tutupi dan dia bayar dengan kepergiannya. Tapi Jason merasa bahwa semeyakitkan apapun tempat itu buat dirinya, ia ingin tahu apa yang erjadi dengan dirinya di masa lalu serta dengan satu keyakinan bahwa ang diiinginkan oleh Hneri bukanlah membalas dendam tetapi memaafkan.

Rahasiapun terungkap bahwa kepincangan kaki Jason bukanlah karena kecelakan mobil yang juga menewaskan ibunya, tetapi karena dilempar oleh sang ayah Tuner. Masa lalu memng tidak bisa dibetulkan lagi atau mungin ditutupi terus menerus, tapi mungkin ia bisa diungkapkan dan dimaafkan dan menyerahkannya pada kebesaran jiwa masing masing untuk disikapi. Jason mengajak ayahnya menyebarkan abunya Hneri di tangga itu, tempat dia dilemparkan oleh ayahnya yang terluka dan kehilangan “napasnya” karena kehilangan isterinya.

Kenapa Jason memaafkannya? Bukan hanya karena dia diberitahu bahwa ayahnya kabur dari rumah sakit penjara dengan membawa penyakit gagal ginjalnya; bahwa karenanya masa ayahnya telah lewat dan ia akan segera mengakhirinya; atau bahwa kenyataan 30 tahun perjalanannya tanpa punya “rumah” adalah bayaran atas apa yang telah dilakukannya pada dirinya. Tetapi cerita masa lalu penyebab masa lalu dirinya tidak akan merubah apapun. Dia telah menjalani dan menerima kepincangan kakinya sebagai bagian dari dirinya sepanjang umurnya. Dia merasa tidak perlu lagi terganggu dengan penyebab kepincangannya itu. Apapun penyebabnya kaki pincangnya itu tidak akan sembuh. Dia telah hidup dengan keadan pincangnya. Hal berbeda mungkin akan lahir jika ia belum menerima kepincangannya itu.

Dari sinilah kebesaran jiwa sebgai lelaki yang telah dewasa mengajarkan pada dirinya utuk tidaklagi terganggu dengan kejadian di masa lalu. Menghadapi masalah seperti ini, dia hanya bisa menerima atau tidak. Dan dalam keadaan stabil [menerima kepincangannyanya itu] menerima dan memaafkan apa yang dilakukan ayahnya adalah lebih mengntungkan keadaan jiwanya daripada tidak menerima. Tokh jikapun tidak menerima, sekeras apapun usaha itu dilakukan, itupun tidak akan pernah bisa mengembalikan keadaan kakinya. Masa lalu memang terasa kejam dan dia punya hak untuk marah atas tindakan kejam ayahnya, tapi apakah dengan bersikap dendam, sebagaimana dilakukan oleh Hnery, atau malah menutup diri, bersikap seolah-olah bahwa dengan menyingkir bisa menyelesaikan masalah, akan bisa membalas rasa kehilangan ayahnya yang selama ini dirasakannya?

Film ini memnadang masa lalu sebagai hal yang tidak perlu dihindari dan ditutupi dan hanya menyisakan dua hal: diterima atau ditolak. Film ini juga memberlakukan masa lalu dalam posisi yang ambigu: ia mengajak kepada kita untuk memandang masa lalu kita sebagai sesuatu yang sudah terjadi, tidak akan merubah apapun [kaki pincang, kematian ibu, kenangan akan kehangatan keluarga, keindahan bercinta di batu besar, segala kehilangan dan perbuatan bodoh di masa lalu] tetapi ia tetap mengajak kita tetap datang ke sana dan belajar dari sana. Masa lalu dihentikan di titik kita sekarang dan memandannya sebagai bayangan. Walalupun menakutkan ia tidak akan menyakiti kulit kita. Namun efek dari terungkapnya kejadian di masa lalu punya pengaruh ke masa depan kita. Dengan kata lain, ia merubah bagian dari diri kita secara sangat dramatis.

Dengan cara seperti itulah ia ikut ayahnya ke tempat asal usul dirinya di sebuah tempat di selatan meksiko, di mana ada sebuah batu besar yang di atasnya ia pernah bercinta dengan seoarang gadis yang nantinya jadi ibunya. Tetapi sebelum sampai disana ia telah mati. Sebagaimana juga ia melakukan apa yang diinginkan oleh mendiang kakeknya, kali ini Jason dan Zach datang lagi ke batu besar itu, melaksanakan apa yang diinginkan oleh Tuner: menyebarkan abunya dan menari…dengan cara itulah mereka mengenang ayah, ibu, kakek dan generasi sebelumnya.

Konon, generasi manusia melakukan memiliki ingtan yang panjang ke masa lalunya yang memuatnya mnejadi mahluk hidup yang paling berhasil dibandingkan gajah atau simpanse atau ikan paus misalnya. Dengannya manusia belajar dari apa-apa yang telah dilakukan oleh generasi terdahulunya, mengambil pelajaran dan hikmat. Tapi masa lalu juga menegaskan pada manusia tentang asal usulnya, tali buhul yang menyatukan umat manusia. Sesuatu yang tidak bisa lagi dingat akan dijadikan oleh manusia sebagai mitos yang akan diceritakan ke generasi selanjutnya. Dari sana juga umat manusia bisa mengambil hikmahnya.

Tak disengaja memang bahwa pekerjaan kakak buyut mereka adalah seorang arkeolog, seseorang yang pekerjaannya menggali barang-barang kuno dn masa lalu. Namun kali ini, Henry mengajak anak cucunya untuk menggali masa lalu masing-masing, membuka banyak hal yang tertutupi dan mengajaknya bersikap: tetap dengan sikap yang ada sekarang atau berubah seiring dengan data yang terungkap karenanya.

Ritual itulah yang tidak ada di keluarga Hnery dan juga, kalau diperlebar di keluarga-keluarga di amerika serikat aau di kebudayaan barat. Ritual apapun yang dihidupi oleh masing-masing orang di dalam kehidupannya adalah penting dan berharga agar setiap orang tetap merasa punya asal usul, punya tiang pancang yang menegaskan dan membentuk kepribadiannya atau kalau tidak mau mengatakan “identitasnya”, untuk berlayar di tengah gelombang kehidupan sekarang yang konon katanya mencerai beraikan jiwa manusia sampai atom terkecil yang dapat dibagi. Mungkin dengan melakukan ritual tertentu makin mempererat tali ikatan keluarga – generasi – kemanusiaan; mencoba mengelak pada si pisau alienasi.

Bahkan makan di sebuah “restoran” makanan cepat saji seperti KFC, yang ternyata berubah imejnya ketika mendatangi negeri-negeri di asia atau di Negara-negara post-kolonial, tetap harus diingat sebagai salah satu cara untuk berlindung dari bahaya alienasi yang sedang melanda generasi sekarang.

Tapi mengapa dengan kematian? Inilah ritus yang juga seperti kelahiran akan terus mewarnai tiap kehidupan manusia. Kematian dipilih dalam film ini untuk mempertegas keberlanjutan generasi – kehidupan. Bahwa ritual dan kepercayaan akan masa lalu bisa diembuhkan dan djadikan dasr pijkan bagi enerasi selanjutnya ditunjukan dengan tarian zach di akhir film dan kita, generasi yang akan segera meredup, tertawa melihat tariannya di tengah kesyahduan tenggelamnya matahari.

Rabu, 20 Juni 2007

Menghilang bersama Riga: Turtle can fly

Menghilang Bersama Riga


Oleh: Mumu Muhajir


Aku barusan nonton film Turtles Can Fly. Gila, inilah beberapa film yang membuat aku tidak hanya menitikkan air mata, tapi menangis! Manusia tanpa harapan, bukan karena dia tidak berusaha, tapi karena keadaan, haruskah aku katakan itu takdir, memutuskan lain dalam hidupnya. Manusia di tengah arus zaman, mengarungi kabar waktu yang tak menentu.

Film ini dari awalnya pun akan berbicara lain. Sepasang kaki lembut meloncat dari bibir jurang. Lalu muncullah mata gadis kecil itu, sekitar 10-an tahun, bernama Agrin, dingin, beku, tanpa emosi; seorang pengungsi Kurdi, yang melumatkan hati seorang Satellite, pemuda kampung asli, pemimpin anak-anak, prototipe anak penuh harapan. Agrin tak pernah memberikan aku kesempatan untuk sekedar tersenyum ketika aku lihat anak kecil itu, Riga [awalnya aku sangka ia adalah adiknya, ternyata ia adalah anaknya Agrin, hasil dari pemerkosaan, mungkin oleh tentara Irak, ketika perkampungan Kurdinya diserang], memanggil-manggil Bapak, Ibu; mata miliknya seperti hampa, selalu melihat kosong ke depan atau mungkin ke belakang, ke kekelaman masa lalunya. Akting anak ini luar biasa. Bagaimana ia mengekspresikan kegalauannya, kesakitannya, atas apa yang terjadi padanya ketika dia juga tidak mengerti apakah semua itu, dengan sangat brillian? Ia masih kecil, tapi harus membesarkan anak kecil lainnya. Ia hanya bisa memukul anak itu, memarahinya sebagai anak haram, dan kalau ia melakukan itu ada Henzov, kakaknya, kedua lengan hilang karena kena ranjau, yang akan menasehatinya.

Jalinan kisah itu tak pernah dibiarkan mengambang, tapi seperti terus menderu, dirangkai dengan jalinan yang sangat kuat [bukti satu skenario yang hebat], hampir aku tidak bisa bernapas. Kesedihan demi kesedihan, ironi demi ironi, berjatuhan seperti selongsong rudal yang dijatuhkan anak-anak dari truk di bawak komando Satellite. Ada banyak adegan untuk menggambarkan itu dan aku merasa kekenyangan: Riga yang menangis di gerimis pagi hari; Riga yang mengelilingi selongsong ranjau dan memanggil-manggil bapak atau ibu [memonyongkan mulut lucunya pada selongsong rudal, seperti menuntut: benda ini harus ditanyai kemana bapakku, kemana Ibuku]; Riga, dengan mata butanya, ketika ditinggal pergi Adrin di sebuah tempat di mana ranjau-ranjau tertanam dan masih aktif; Adrin yang bolak-balik hendak bunuh diri [sebuah keberanian, karena seingatku, ini menyimpang dari tradisi film Iran, kecuali Abbas Kiarostami dengan The Scent of Cherry-nya] atau bahwa ranjau yang mereka bersihkan adalah buatan Amerika, negeri yang kemudian datang ke mereka bak pahlawan.

Kenapa harus bunuh diri? Bukankah Kurdi, bangsanya, sedang terbetik harapannya akan datangnya kebebasan setelah Amerika menyerang Irak dan
berhasil menumbangkan Saddam Hussein, sang algojo kehancuran bangsanya? Bukankah seharusnya mereka bertiga harus ikut senang? Tapi kehadiran Riga, anak yang tidak diharapkannya, lahir dari lelaki yang tidak dikenalnya dan dimusuhinya adalah masalah yang terus menerus membebani Adrin. “Bagaimana aku harus menjelaskan itu pada orang-orang setelah Kurdi merdeka kelak?” ia bertanya ganas pada kakaknya, “Apakah bisa aku katakana bahwa ia anak yang kita temukan di tengah jalan?”.

Kurdi mungkin akan merdeka atau setidaknya ia akan mengalami masa-masa yang lebih baik daripada sebelumnya. Tapi apakah itu juga harapan baru bagi anak-anak bangsanya, seperti Adrin, Henzov atau Riga? Disinilah secara jenial film ini memaparkan kisah kecil tentang luka besar anak-anak bangsanya, yang bisa jadi terharu-biru oleh semangat nasionalisme bangsanya atau kesejahteraan bangsa secara luas. Terlupakan dan hanya jadi cerita lisan atau disimpan dihati dan dimakan cacing dikubur sana. Mereka tidak peduli apa yang akan terjadi pada bangsanya karena mereka lebih tahu apa yang akan terjadi pada diri mereka sendiri. Mereka tidak punya hak untuk disebut tidak peduli, tapi luka yang selama ini mereka pendam pada siapa mereka akan mengadu? Apakah bangsa Kurdi akan menerima rintihannya? Apakah manusia lain juga akan dengan sangat rendah hati mendengarkan kesedihannya? Satellite mencoba itu, tapi juga gagal. Barangkali hanya mereka sendiri yang bisa memahami luka mereka sendiri, dan jika ini yang terjadi maka carut marut dunia lengkaplah sudah.

Inilah film yang sekali lagi mencoba menghadapkan kembali antara sejarah individu vis a vis sejarah besar bangsanya, atau sejarah besar apapun. Dengan sangat sengaja dalam film ini mereka bertiga tidak pernah diikutkan dengan semangat penduduk kampung mencari berita perang AS-Irak atau bahkan ketika akhir kehancuran kekuasaan Saddam Hussein itu tiba. Seolah mereka bertiga sedang menuturkan sejarahnya sendiri yang mungkin bertentangan dengan sejarah yang dibaca orang di kemudian hari.

Diakhirnya, setelah kabar bahwa Saddam telah berakhir, maka itu juga akhir bagi Adrian, Riga dan Henzov. Akhir mereka berbeda dengan akhir yang dialami oleh bangsanya atau oleh musuh-musuh Saddam Husein. Ketika akhir bagi banyak orang malam itu adalah merayakan kehancuran kekuasaan Saddam, menyambut datangnya fajar baru perubahan, mereka memilih akhir yang lain: Riga dijeburkan Adrin ke telaga, Adrin membunuh diri ke jurang, dan Henzov pergi entah kemana. Kegegapgempitaan orang-orang disekitarnya seolah gong tanda bahwa mereka harus segera berakhir. Fajar kegemberiaan di mata mereka bukanlah sesuatu yang menjanjikan. Tapi itu juga beban baru dalam hidup mereka. Mereka tidak bisa lagi. Tatanan baru berarti cara hidup baru, cara pakaian baru dan segala hal yang baru.

Mungkin juga harapan mereka makin menipis ketika apa yang selama ini mereka angkut di dalam diri mereka makin memberat dari hari ke hari. Mereka cape harus menjadi selamanya pengungsi. Selamanya berpindah-pindah. Mereka tiga orang yang "cacat": Henzov, tanpa lengan, dingin dan tak mau berteman, punya beban dengan kekuatan supranaturalnya; Riga, balita tanpa penglihatan dan Adrin adalah seorang yang hancur di dalam tubuhnya, jiwa yang telah remuk dan dipaksakan harus terus dipakainya. Apa yang bisa diharapkan dengan keadaan mereka bertiga seperti itu? Bagaimana mungkin kita harus terus memakai pakaian yang telah rusak, telah busuk, telah aus dan harus menghadiri sebuah pesta besar dengan pakaian seperti itu? Tahankah kita dengan hinaan yang akan datang ke kita, walaupun itu berbentuk tatapan kasihan atau bahkan uluran tangan?

Dengan sangat halus film itu bertanya: harapan bagi siapakah kebebasan itu?Atau siapakah yang mengambil keuntungan dari lahirnya kemerdekaan itu? Saya tidak berani untuk mengatakan bahwa harapan itu buat mereka bertiga.

Maka akhir itu adalah sah. Maka bunuh diri itu sah, sebagaimana juga aborsi yang seharusnya dilakukan buat Adrin [yang bagi orang Islam adalah tidak boleh] dulu. Kecuali kalau kita, sebagai manusia sesama, menghampirinya, mendengarkan apa yang terjadi, menemaninya, menjadikannya sebagai bagian dari diri kita sendiri dan menemukan luka yang sama di dalam kita sendiri.

Tapi apakah itu mungkin? Kita bisa belajar dari bagaimana cara Satellite dan kawan-kawan kecilnya mencoba mendekati Adrin dan Henzov. Satellite harus mengorbankan salah satu kakinya ketika harus menyelamatkan Riga, yang dengan sengaja ditinggalkan oleh Adrin di tengah lading ranjau. Bahkan ketika di hari akhir itu, ia masih gagal menyelamatkan Riga. Barangkali benar bahwa kesedihan adalah milik masing-masing. Tenaga empati sebesar apapun yang kita miliki tetap tidak akan bisa menyelami segumpal hati milik orang lain. Yang kemudian dilakukan oleh Satellite, dan mungkin juga kita, adalah tetap berusaha, meskipun pada akhirnya kita hanya bisa meratapi ketidakberdayaan kita di bawah mesin sejarah.

Senin, 18 Juni 2007

Sang Pemberontak Itu...



Tak sengaja menemukan buku ini di rak obral Metafor pameran buku setahun kemarin. Aku tak tahu banyak tentangnya, tapi namanya begitu familiar karena kerap disebut-sebut di majalah Rolling Stone sebagai salah seorang penulis dan fotografer terbaik yang pernah dimiliki Rolling Stone. Dari situlah perkenalanku dimulai....
Setelah setahun lebih kematiannya, aku baru saja mengenalnya. Satu lagi kisah tentang figur pemberontak abad ini yang akhirnya memilih bunuh diri sebagai bentuk kemuakan pada prilaku zaman. Ya, Hunther bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri, di usianya yang ke 67, tahun 2005 lalu. Berita kematiannya menjadi headline di banyak media Amerika Serikat, termasuk di majalah Rolling Stone yang menulis panjang kisah hidupnya. Hunther, seorang penulis yang disebut-sebut sebagai peletak jurnalisme gonzo (dari kata gonzaga yang artinya absurdity), gaya penulisan yang keluar dari aturan konvensional, dimana penulis terlibat sebagai tokoh cerita. Selain sudah menulis beberapa novel (The Rum Diary, Hell's Angels, dll), Hunther juga banyak menulis untuk Rolling Stones, Esquire, The New York Times, The New yorker, dan lainnya. Hunther mendasarkan gaya tulisannnya pada ide William Faulkner, bahwa 'fiksi adalah fakta yang terbaik', yang sekarang diakui sebagai jurnalisme narasi yang sedang menjadi tren penulisan baru di media Barat.
Itu sekilas tentang Hunther. Kembali ke soal buku ini. The Proud Highway ini adalah volume satu dari tiga volume yang direncanakan, berisi kumpulan surat-surat yang ditulis Hunther untuk teman-teman, kekasih, penerbit, tukang kredit, pegawai pemberi tunjangan pengangguran, dan orang-orang lain di sekitar Hunther. Bayangkan, dalam sepanjang hidupnya Hunther telah menulis surat kurang lebih sampai 20.000, yang semuanya diketik mesin tik. Belum pernah aku dengar ada orang yang menulis surat sebanyak itu sepanjang hidupnya. Dan dari tiap surat itu ia selalu membuat kopian dari kertas karbon, ck.ck.ck.
Uniknya lagi, Hunther mengaku, ia justru 'gatal' menulis surat-surat itu justru ketika sedang sibuk-sibuknya dengan tulisan-tulisan lain, dengan deadline, istilah sekarang. "It's been my experience that I only write letters when I'm overwhelmed with my other obligations-or the lack of them-and feel the need to get my mind to some other place," tulisnya pada Eugene McGarr, salah seorang teman lamanya yang tidak pernah membalas suratnya.
Di buku volume pertama ini surat-suratnya dari kurun 1955-1967, masa-masa tersulit dari kehidupan Hunther, awal perjuangannya menjadi seorang penulis. Mengawali kariernya sebagai wartawan olah raga bergaji kecil, Hunther menganggap itu adalah batu loncatan obsesinya untuk menjadi penulis, ia tengah menyelesaikan novel pertamanya Hell's Angels. Hunther orang yang punya kepercayaan diri yang sangat tinggi, ia menyebut karyanya sebagai tulisan terbaik setelah eranya William Faulkner. Tapi, meski sudah ditawarkan di banyak penerbit, tak satupun yang mau menerbitkan karyanya. Namun, ia tak pernah putus asa, pada sahabatnya ia menulis bahwa begitulah jalannya seorang penulis besar, harus susah dulu, ditolak ribuan kali oleh penerbit, apa yang dialaminya belum seberapa dengan yang dialami James Joyce, Hemingway, dll.

"Sad? Hopeless? Well, perhap it is. Before we assume that, though, Id like to quote one or two little thing I came across recently":

(a). From 19119 to 1927 I sent stories to American magazines without being able to sell one until the Atlantic Monthly published a story called Fitfty Grand.
(Ini cerita Ernest Hemingway yang tulisannya baru diterbitakan setelah 8 tahun)
(b). After hours I wrote stories..there were nineteen altogether..No one bought them, no one sent personal letters. i had one hundred and twenty-two rejection slips pinned in a friezed about my room.
(ini tulisan Scott Fitzgerald).

Dan begitulah, ia gigih memperjuangkan eksistensinya sebagai penulis, meski ia sempat beberapa lama menjadi pengangguran dan hanya hidup dari uang tunjangan sosial. Dalam setiap suratnya, pada siapapun, Hunther selalu menulis dengan detil dan keintiman, sepertinya semua surat ditujukan pada orang yang dekat dengannya. Padahal tidak selalu demikian. Sehingga lewat suratnya pula bisa ditelusuri kisah hidupnya, petualangannya, pemikiran-pemikirannya.
Buku surat-surat volume keduanya berjudul Fear and Loathing in America : The Brutal Odyssey of an Outlaw Journalist, tebalnya sampai 700 halaman. Sementara buku volume tiganya direncanakan baru akan terbit oktober mendatang.

Man on the Train

Man on the Train – Kereta, Pertukaran

Oleh: Mumu Muhajir

Kali ini aku melihat Patrice Laconte yang lain. Setelah diharu-biru dengan film lainnya yang berjudul ”Intimate Stranger ” yang bercerita tentang kebohongan, cinta yang datang tiba-tiba, kesendirian, penerimaan tanpa reserve apapun, kekuatan mendengarkan, yang berujung pada saling pengertian [bahwa ada saatnya kita percaya pada apa yang berlalu di masa lalu, pada apa yang dikatakan] tanpa harus terkatakan, di mana tidak ada satu kata cinta pun terlontar dari mulut si penasehat pajak dan klien perempuan yang menyangkanya sebagai psikiater. Sekarang Laconte berbicara tentang laki-laki. Ia dengan secara sengaja memakai musik [country] yang biasa melatarbelakangi film-film cowboy. Dengan string yang digesek pelan, dengan irama yang sedih tapi tegar. Tak pelak lagi ia sedang berbicara tentang kesendirian, bahkan berlarat-larat. Seorang pengelana, perampok juga, datang ke sebuah kota kecil yang sangat sepi dan warganya terlalu saling percaya, hendak merampok sebuah bank. Selalu di belakang dia, di setiap scene yang menampilkan dia, adalah musik koboy.

Sedang tokoh kedua [keduanya tidak pernah bertukar nama] adalah seorang tua yang menyerah pada kesepian dan kebosanan, sehingga ia tidak beranjak dari sana. Ia katakan setelah menyitir sebuah larik puisi: ”hal-hal yang manis itu berbahaya”, namun sang Koboy itu tidak percaya, ”mengapa?”, ”karena engkau akan terbiasa dengannya”, tapi kata si Koboy itu: ”tidak ada satu pun yang manis”. Si tua itu hendak mengatakan bahwa yang berbahaya adalah ketika terbiasa dengan sesuatu karena ia akan menyerahkan kita pada jurang kebosanan dan lucunya kita tidak akan lagi merasa dan percaya bahwa itu adalah kebosanan. Musik yang melatari si tua adalah [kalau enggak salah] bagian tertentu dari musik karangan Schubert. Engkau tentu tahu bagaimana Schubert dijelaskan dan diceritakan di film ”The Piano Teacher” dengan sangat memukau, tentang kesepiannya, kesakitannya dan usahanya untuk mendamaikan kedua hal itu sebagai bagian dari dirinya.

Pada mulanya adalah pertemuan yang tidak disengaja. Si koboy tidak menemukan tempat untuk menginap sampai hari sabtu – hari dimana ia akan merampok sebuah bank bersama tiga orang temannya – dan pada saat yang sama ia membutuhkan air untuk melarutkan aspirinnya [selama di dalam kereta, kepalanya selalu sakit]. Si Tua itu mengajaknya tinggal di rumahnya yang berarsitektur tua, kuno, indah sekaligus membosankan. Ia malah membolehkan si Koboy untuk mengganti dekorasi kamarnya jika ia tidak menyukainya. Ia jadi demikian cerewet tentang segalanya. Satu tipikal orang kesepian: sekali ia bertemu dengan orang yang cocok, ia akan lumer, bercerita tentang apapun. Bagaimana Laconte berbicara tentang kemapanan yang tidak lagi dianggap kemapanan: ia tahu ia tidak pernah menyukai segala apapun yang ada di rumahnya, tapi ia tidak punya keinginan untuk merubahnya.

Awalnya adalah ketidakcocokan. Si koboy yang sangat pendiam, tidak pernah mengeluh dan bahkan tidak pernah bertanya. Sangat Macho dan manly [jika boleh aku ingatkan, mungkin seperti James Nachwey, si War Photographer]. Seolah ia sudah mengetahui segala hal yang ada di dunia. Ia adalah pengelana. Sebaliknya, si tua itu menyadari kebosanannya, kesendiriannya, kesepiannya, tetapi ia tidak pernah memberontak dari itu. Selama ini ia tidak pernah bergerak. Ia telah memutuskan untuk berhenti hidup sebelum ia bertambah tua. Maka yang hadir kemudian adalah detail, memori yang tidak menuntut apapun, ambisi yang didiamkan tidak pernah diberinya makan. Ia telah membatu. Dan pada saat yang sama: mengeluh. Ia mempertanyakan kenapa ia tidak merubah dekorasi ruangan tamunya yang sebenarnya tidak disukainya itu dengan dekorasi gaya jepang yang sangat disukainya. Ia mempertanyakan pula pada ambisi banyak orang bahwa membaca buku itu penting. Ia tidak pernah datang lagi ke sebuah toko roti, hanya karena pelayannya, seorang perempuan, yang selalu mengatakan: ada yang lain lagi? setiap kali ia hendak membayar. Ia bosan. Ia mengeluh pada perempuan itu. Dan besoknya ia datang lagi ke toko itu dan perempuan itu bertanya: Apakah hanya ini? Akhirnya ia memilih untuk tidak pernah ke sana lagi. Ia tidak suka kebosanan ada di orang lain, tapi ia sendiri penuh dengan kebosanan.

Perlahan mereka saling membuka diri, tanpa harus saling bertanya, terjadi pertukaran. Di awali dengan si koboy yang membutuhkan [sebenarnya agak tidak tepat juga kata membutuhkan ini, sepertinya yang tepat adalah ia ingin mencoba jenis sepatu yang lain [”slipper”] yang berbeda dengan jenis Boot yang selama ini dipakainya] sepatu, si Tua memberikannya [karena ia punya banyak] dan sebagai gantinya: si Koboy mengajarinya menembak. Si Tua mulai mengingat impiannya [”...dan impian yang jadi jalan hidup kita.”], keinginannya menjadi pengelana, bahkan merampok bank tempat di mana ia menyimpan uangnya. Si Tua masih belum berani masuk ke toko roti itu, tapi ia sudah berani mengganti gaya rambutnya, ia berani mengingatkan seseorang yang ribut dan sempat menyikut si Koboy [dan dia hanya diam saja dengan dalih: mereka adalah team. Tidak pernah ada yang satu mengalahkan yang dua, kalaupun itu terjadi hanya ada di dalam film. Si Tua menyela: bukankah kita juga adalah team? Si Koboy kemudian berkata: itulah tanda ketika kita semakin tua – dengan kata lain: menyerahlah dan terima segala sesuatu] di sebuah distro tempat dia makan siang selama 30 tahun teakhir hidupnya. Biasanya ia akan memilih-milih menu, tapi kali ini ia mengikuti apa yang diinginkan oleh si koboy, yang langsung memesan tanpa harus melihat menu. Sementara si Koboy mulai menyukai ruangan di rumah si tua itu, ia memakai cangklok si Tua, ia merelakan dirinya jadi guru pengganti bagi seorang anak lelaki dan mengajarinya tentang mengingat dengan memakai Balzac tentang Eugene seorang perempuan yang menunggu. Ia hendak menunjukkan pada si anak itu, bagaimana jadinya Eugene di jaman sekarang: masihkah ia harus menunggu sementara sudah ada telegram, sudah ada telepon, bukankah seharusnya ia mengejar kekasih impiannya itu, tanpa harus menunggu dan mengingat masa lalu mereka, raihlah, capailah? Ia mulai terbiasa dengan gaya hidup si Tua itu dan begitu juga si Tua itu mulai memahami makna petualangan si Koboy itu dan juga maksud kedatangannya ke kotanya. Mereka mulai bertukar darah, kata dan pikiran.

Keduanya mulai saling melihat bahwa hidup yang dijalani oleh masing-masing mereka tidak berharga dibandingkan dengan hidup yang dijalani oleh lawannya. Mereka mulai melihat bahwa rumput tetangga selau lebih hijau. Mereka mulai saling melihat, meraba: apakah saya bisa seperti itu. Si Tua merasa bahwa hidup seperti si Koboy itu sangat enak: terus menerus berlayar tanpa sekali pun melempar jangkar, bergerak dari satu pelukan perempuan asing ke pelukan perempuan asing lainnya, karena baginya betapapun itu menyedihkan dan melelahkannya [sebagaimana disebutkan si Koboy tentang hidupnya] tetap ada perbedaan antara satu pelukan dengan pelukan lainnya dan ia ingin merasakan perbedaan itu, karena selama ini ia tidak pernah merasakan itu. Sedangkan bagi si Koboy, ia mulai menyukai teras rumahnya, dan meminta buku yang ada puisi di dalamnya [”ada lebih baik kita tidak mengetahui semua puisi”]. Si Tua memberikan puisi dan si Koboy membalasnya dengan pelajaran menembak.

Ada dua tipe laki-laki: petualang dan perencana. Petualang adalah yang selalu membeli satu sikat gigi karena ia telah kehilangan yang satunya lagi. Sedang perencana adalah yang membeli dua sikat gigi. Dan si Koboy mulai kerasan dengan sikap perencana. Awalnya adalah ia ingin tahu bagaimana sikap si pelayan wanita di toko roti jika ia membeli rotinya, apakah ia akan mengatakan: ada yang lain lagi? Sebagaimana sering diucapkannya pada si Tua tadi. Ia datang dan ia melihat bahwa kata itu terlontar karena pelanggannya juga bersikap membosankan, repetitif. Semuanya seolah ingin jadi petualang. Membeli hanya satu untuk baguette [roti gandum perancis] maka ia pun bersikap membosankan pula dengan mengulang-ulang kata yang sama pada sikap pelanggan yang sedang berpura-pura itu. Maka ia datang dengan gaya bahasa yang berbeda, yang selama ini tidak pernah dikenal oleh pelayan itu. Pelayan itu agak kagok dengan gaya bahasa barunya tapi ia merespon dengan kalimat pertanyaan yang juga baru.

Tapi sebenarnya tidak ada yang pernah benar-benar berubah. Pelayan itu, walaupun memakai kalimat yang berbeda tetapi maknanya tetap sama. Ia hanya ingin pelanggannya membeli lebih banyak lagi. Di sini perubahan tidak bisa terjadi dengan masuknya hal yang baru; harus juga diperhatikan lingkungan yang melingkupinya. Pelayan itu bagaimanapun adalah sekrup kecil dari sistem perdagangan yang selalu menginginkan untung lebih banyak.

Akhirnya adalah pertukaran. Si Koboy dikhianati temannya waktu merampok dan sekaligus kehilangan sahabat terbaiknya. Ia ditembak dan dipenjara. Setelah keluar, Ia menjadi pnghuni rumah tua itu. Si Tua, setelah melewati operasi yang hampir merenggut jiwanya, mengepak tas, melemparkan kunci rumahnya ke si Koboy dan mulai bertualang, naik kereta, seperti yang dulu dilakukan si Koboy.

Pengambilan gambarnya pun cukup dramatis. Dua orang itu berjalan bertentanga arah. Di sebuah titik mereka berhenti, saling menatap dan berjalan berpapasan. Musik tetap mendayu.

Saya merasa novel Balzac bisa memperjelas situasi itu dan juga apa yang dikatakan si Koboy pada anak didiknya. Dalam buku itu, Eugene tetap menunggu dan itu yang membuatnya merasa bahagia, karena ia tidak perlu bergerak ke depan. Dalam arti ia tidak akan dihinggapi kekhawatiran bahwa kekasihnya mungkin saja berkhianat padanya dan tidak akan pernah kembali padanya. Ia tidak lagi berusaha untuk mencari ke depan karena ia telah berhenti di masa lalu. Ia tidak perlu bergerak ke masa depan karena ia sudah cukup bahagia dengan masa lalunya, seberapa pun membosankannya. Dan si Tua adalah Eugene itu.

Tapi, ia bertanya pada anak itu, apa yang akan dilakukan Eugene sekarang setelah teknologi memampatkan ruang dan waktu, masihkah menunggunya adalah sikap hidup yang ”bermoral”? Tidakkah seharusnya ia mengejar, menelponnya, menanyakan ”apa kabarmu, masihkah kau setia?” atau apapun dan setelahnya menerima kejadian apapun yang akan hadir kemudian? Ia memang membuat pertanyaan itu sebagai pekerjaan rumah bagi anak itu. Tapi itu juga berlaku baginya.

Jawaban itu menjadi ya bagi si Tua [dan dalam anganku, berlaku juga bagi si anak itu. Ia masih muda bukan? Bukan saat yang tepat baginya untuk menunggu]. Maka ia bergegas ke luar dari masa lalunya, dari keadaan yang telah lama membuatnya bosan, dari keadaan yang membuat dia harus menahan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan, apa yang ingin dia katakan. Ia merubah cara pakaiannya, caranya bersikap [betapun menyedihkan dan melukai perasaan orang lain]. Ia duduk di kereta, bertanya-tanya apa yang akan dihadapinya di depan: kecelakaan keretakah, pemandangan pedesaankah atau perempuan yang bisa diajaknya ngobrol dan nyambung dan turun di sebuah kota, tanpa direncanakan, melewati satu malam yang indah dan mendebarkan, menghabiskan semua energi romantisnya malam itu, tanpa menyisakan apapun untuk malam-malam selanjutnya [sebentar, bukankah itu Before Sunrise?] atau malah dirampok karena menolak memberi uang lima ribu perak kepada seorang pencopet yang ditemuinya di wilayah Senen, Jakarta, hanya karena ia tidak bisa membedakan nilai mata uang Euro dengan Rupiah? Atau apa? Ia nampaknya telah siap. Walaupun tidak nampak terlalu yakin.

Jawabannya tidak bagi si Koboy. Ia memilih tetap jadi Eugene yang ada di dalam bayangan Balzac, yang berada di jaman di mana waktu demikian panjang dan ruang demikian lebar, yang tidak perlu menulis apapun untuk kekasihnya karena yang perlu dilakukannya hanyalah menunggu dan sepi dan sendiri. Dengan alasan tentunya. Dan itu adalah seperti pertanyaan pertapa pada petualang. Ambisi apa yang ada di dalam tubuhmu yang membuatmu harus memaksakan matamu yang dua dan terbatas jarak pandangnya itu untuk menelan semua detail kejadian baik – buruk – abu-abu, pegunungan, ikan yang berkilat terkena matahari di selat antartika, gerimis hujan di pedalaman hutan hujan, air mata anak yang kelaparan di Ethiopia dan burung bangkai yang setia menunggunya jadi bangkai atau desiran angin di keretamu? Karena ia, si Koboy, telah tahu rasanya jadi orang seperti itu – aku juga tidak tahu kejadian apa dunia ini yang membuatnya tersakiti, apakah ia telah demikian tidak kuat lagi dengan busuknya dunia – menanggung beban yang tidak mungkin dan tidak seharusnya ia tanggung sendirian. Ia memilih menunggu. Ia terpukau pada detail [dulu hanya bagian tertentu saja puisi yang diingatnya, dan ia merasa bahwa harus seperti itu [kita tidak harus mengetahui semua puisi], tapi sekarang ia ingin mengetahui larik selanjutnya dari puisi itu, semuanya dan ia terdiam ketika si Tua melantunkannya, atau menekan tuts piano dengan sabar [ia tidak peduli omongannya si tua: kata siapa bermain piano atau bermain musik itu menyenangkan? Sebenarnya itu sangat-sangat membosankan]. Ia memilih kualitas ketimbang kuantitas. Ia memilih berhenti ketika setiap orang bergerak. Ia memilih berjalan mundur ketika setiap kita didengung-dengungkan pentingnya kemajuan.

Pada saat yang lain, ia tidak tampak seperti si Crocked Finger pada Antonia’s Line, atau Estha di The God of Small Thing-nya Arundhati Roy, yang demikian tersakiti dan tidak dimengerti oleh dunia dan memilih mengundurkan diri, yang pertama tenggelam pada buku dan tergila-gila pada Schopeunhaur dan yang kedua memilih terdiam, diam, bisu, mengambil sedikit dari dunia. Ia, si Koboy, seperti menerima keadaan yang akan dijelangnya sebagai sesuatu yang memang harus dijalani, semacam tangga berikutnya dari tangga hidupnya. Ia tidak seperti sedang memberontak, tidak sedang mengepalkan kepalannya atau sebaliknya sedang tersudut di sudut kamar dan merintih. Ia menerimanya, seperti itu.

Dan justru ini menariknya. Patrice Laconte sedang ingin memotret apa yang sedang terjadi pada peradaban Barat atau Eropa yang sedang digelutinya. Ia merasa bahwa ada saatnya [kapan itu? Ia tidak memberi jawab] peradaban ini harus menunggu, diam sebentar, mengingat detail masa lalunya: sebaris puisi yang pernah didengarnya di masa lalu, sebaris nada musik, dekorasi ruangannya, rumahnya, kesepian kotanya, kebosanan menu makannya; dan membiarkan peradaban lain, yang telah lama ada, yang lebih tua, atau yang segera ditemuinya [si tua itu] untuk bergerak, bergegas, mencari tahu mengapa bumi berputar, mengapa kelaparan selalu ada dan apa itu keadilan, atau bagaimana bersikap di kereta dan diseret oleh kecepatan geraknya. Karena si Tua juga berhak untuk melakukan itu. Laconte tidak terlalu terpukau dengan kemajuan juga tidak terlalu terseret dalam romatisisme menunggu.

Mungkin untuk saat kemudian di depan, ia akan pulang dengan sakit migran yang sama, membutuhkan aspirin yang sama dan bertemu dengan peradaban yang lain [si Tua yang lain atau mungkin, si anak didik itu] atau yang selama ini diam menunggu [si Koboy atau koboy lainnya] yang akan memberinya air minum untuk melarutkan obatnya, memberinya tempat singgah sebentar sampai hari sabtu untuk menuntaskan apa yang harus dituntaskannya dan lalu bertukar tempat kembali, sebagaimana galaksi ini tercipta, sebagaimana evolusi berjalan. Bertukar tempat antara yang menunggu dan yang pergi. Siapa tahu.

Hanief Kureishi dan Cinta yang pejal

Hanif Kureishi dan Cinta yang Pejal

Oleh: Mumu Muhajir


Adalah kesakitan yang membuat dunia dan kita bertambah dewasa, dan Hanif Kureishi, pengarang kontemporer Inggris itu, sekali lagi, mengajak kita untuk merenungkan hal terbesar dan tak henti-hentinya jadi obsesi manusia: menemukan orang yang tepat untuk saling jatuh cinta. Tapi Hanif bergerak di sudut yang lain; ia ingin mendedahkan kesalahan kita membaca tanda-tanda cinta yang ada yang membuat kita bertepuk tangan sebelah atau kehilangan pasangan yang kita sudah kurus kering mencintainya. Bahwa cinta adalah sesuatu yang pejal, lentur, tak pasti. Kalimat yang dipakainya dalam kumpulan cerpen ini seperti terpenggal-penggal, seperti ketika kau menangis tapi harus tetap berkata-kata, diksi katanya kaya dan aneh, plot ceritanya cepat, dengan percakapan yang lugas, penuh perih, lucu dan ironi. Walau begitu jangan anggap bukunya seperti tisu bekas sekaan air mata. Tidak ada tokohnya yang cengeng. Jangan harap ada kata-kata memelas, penuh kesedihan. Dan pada saat yang sama, mereka juga bukalanlah penantang cinta yang kuat dan hebat, yang tidak takut terluka. Kalau anda membaca cerpennya seperti “The Umbrella” atau “Midnight All Day”, akan terasa jelas bahwa Hanif tidak sedang berbicara kegagalan cinta yang baru saja. Luka itu sudah lama sekali sembuh, tanpa bekas dan ia membicarakannya kepada kita di café yang sejuk, ditemani segelas kopi dan penuh kelakar menertawakan diri sendiri pula. Maka buku ini tidak berbahaya dan tidak subversive. Siapapun boleh membacanya, terutama sekali yang [pernah] sedang jatuh cinta.


Judul : Midnight All Day
Pengarang : Hanif Khureishi
Penerbit: Faber and Faber

Pans Labyrinth: Batas mana iman kita harus tunduk

Pans Labyrinth: Batas Mana Iman Kita Harus Tunduk?



Oleh: Mumu Muhajir


Film ini dibesut oleh Guillermo Del Toro, seorang sutradara kelahiran Spanyol yang cukup dikenal dengan kejeniusannya. Film ini memcoba untuk mencari cerita fabel yang bisa mewadahi kejadian di alam nyata. Tentu dengan ada tanda kutip di kedua kata itu. Seorang anak kecil mencoba mencari arti apa yang sedang terjadi di luar dirinya dengan menggunakan imajinasinya. Dia telah kehilangan ayahnya dalam perang; dia harus menerima kondisi bahwa ibunya telah menikah dengan seorang Kapten dalam pemerintahan fasis Jenderal Franco di Spanyol dan sedang mengandung anaknya. Dalam perjalanan menuju benteng terakhir antara pemerintahan fasis dengan para pemberontah, dia menemukan dunianya: dia adalah Puteri Moana, seorang puteri dari Alam Bawah, yang punya keinginan melihat dunia manusia di atas sana, yang berhasil keluar dari penjagaan Fraun, penjaganya, dan berhasil masuk ke dunia manusia tetapi matahari membuat ingatannya terbakar dan tidak bisa lagi mengingat siapa dirinya , hingga akhirnya dia mati dan menunggu seorang titisan manusia lain agar ia bisa kembali pulang ke Alam Bawah.

Selain mecoba mencari kesamaan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata, film ini bersisian dengan jaman fasis di mana segala perintah dari yang berkuasa harus dituruti; kalau tidak akan ada malapetaka yang datang kepadanya, entah kesukaran, kematian. Puteri itu dalam rangka keluar dari dunia nyata yang fasis itu juga harus mengikuti beberapa test yang diberlakukan oleh Fraun sebagai syarat dia bisa mengunjungi Alam-nya. Perintah itu sangat berat dan walalupun kita tidak pernah tahu apakah yang dilakukan oleh puteri itu nyata atau hanya ada dalam khayalan, kita tahu bahwa ada seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh gadis itu. tidak boleh memakan apapun untuk melewati test kedua, misalnya, yang ternyata dia tidk bisa menahan hasrat untuk memakan beberapa butir anggur dan karenya mengorbankan para peri pelindungnya. Farun tentu saja marah dan merasa bahwa perintah itu diberikan untuk kebaikan gadis itu sendiri.

Tapi batas mana kita bisa tahu bahwa perintah ini penting bagi kita dan perintah lainnya malah memberikan kesulitan bagi kita. Ketika sang kapten memerintahkan pemberontak untuk dibunuh atau seorang penguasa memerintahan kita untuk mematuhi aturan itu, sejauh mana kita harus bersikap seperti kita menerima perintah agama atau tuhan kita? Mungkinkah perbedaannya karena yang terakhir ini memberikan efek ”baik” bagi kita, semacam berkah, yang akan kita terima di masa sekarang atau di masa depan? Tetapi siapa yang menjamin bahwa berkah itu benar-benar datang? Perlukah kita mematuhi perintah?

Beberapa sekte keagamaan, bahkan syarat-syarat sufi, selalu mengandung ketaatan pada perintah sang mursyid/guru. Karena itulah jalan kebenaran. Keras dan tanpa keraguan. Tapi bagaimana kita memperlakukan perintah-perintah lainnya? Jika dengan ketaatan itu kita menemukan kebenaran, kenapa perintah yang lain justru memuat kita berjalan sebaliknya?

Sampai pada suatu akhir, sang gadis berhasil meraih kepercaaan lagi sang Fraun dan berhasil menyelesaikan test terakhirnya: membawa serta adiknya ke ujung Labyrin sebagaimana perintah. Yang dia tidak tahu adalah Sang Kapten, ayah dari adiknya, menyusulnya. Ternyata sang Fraun meminta bayi itu untuk dikorbankan. Sang gadis menolak, walalupun dia tahu kesempatan dia untuk kembali ke Alamnya musnah. Sang Fraun sempat memberikan keringanan: hanya meminta beberapa tetes darah dari orang yang masih suci. Tetapi sang gadis tetap menolak.

Sang fraun kemudian memberikan petuahnya; jika demikian maka konsekuensinya ditanggung sendiri. Sang Kapten berhasil menyusul ke ujung labirin itu dan menembaknya. Gadis itu mati, tetapi beberapa tetes darahnya berhasil membasahi ujung labirin itu. Dia justru selamat, karena dia mengorbankan dirinya.

Di sini film ini menimbulkan dilema. Jika saja sang gadis itu menyerahkan adiknya, apakah ia akan diselamatkan kembali ke alamnya? Bukankah syarat utamanya hanya darah yang suci? Apakah memang dengan ersikap utilitarian seperti itu, keselamatan akan sampai kepadanya? Film ini mengambil sikap terakhir.

Tetapi tetap saja pertanyaan muncul: sejauh mana kita harus tunduk pada perintah apapun yang jika dilaksanakan/tidak dilaksanakan memberikan berkah bagi kita? Keyakinan? Nilai-nilai kebaikan umum?