Senin, 18 Juni 2007

Man on the Train

Man on the Train – Kereta, Pertukaran

Oleh: Mumu Muhajir

Kali ini aku melihat Patrice Laconte yang lain. Setelah diharu-biru dengan film lainnya yang berjudul ”Intimate Stranger ” yang bercerita tentang kebohongan, cinta yang datang tiba-tiba, kesendirian, penerimaan tanpa reserve apapun, kekuatan mendengarkan, yang berujung pada saling pengertian [bahwa ada saatnya kita percaya pada apa yang berlalu di masa lalu, pada apa yang dikatakan] tanpa harus terkatakan, di mana tidak ada satu kata cinta pun terlontar dari mulut si penasehat pajak dan klien perempuan yang menyangkanya sebagai psikiater. Sekarang Laconte berbicara tentang laki-laki. Ia dengan secara sengaja memakai musik [country] yang biasa melatarbelakangi film-film cowboy. Dengan string yang digesek pelan, dengan irama yang sedih tapi tegar. Tak pelak lagi ia sedang berbicara tentang kesendirian, bahkan berlarat-larat. Seorang pengelana, perampok juga, datang ke sebuah kota kecil yang sangat sepi dan warganya terlalu saling percaya, hendak merampok sebuah bank. Selalu di belakang dia, di setiap scene yang menampilkan dia, adalah musik koboy.

Sedang tokoh kedua [keduanya tidak pernah bertukar nama] adalah seorang tua yang menyerah pada kesepian dan kebosanan, sehingga ia tidak beranjak dari sana. Ia katakan setelah menyitir sebuah larik puisi: ”hal-hal yang manis itu berbahaya”, namun sang Koboy itu tidak percaya, ”mengapa?”, ”karena engkau akan terbiasa dengannya”, tapi kata si Koboy itu: ”tidak ada satu pun yang manis”. Si tua itu hendak mengatakan bahwa yang berbahaya adalah ketika terbiasa dengan sesuatu karena ia akan menyerahkan kita pada jurang kebosanan dan lucunya kita tidak akan lagi merasa dan percaya bahwa itu adalah kebosanan. Musik yang melatari si tua adalah [kalau enggak salah] bagian tertentu dari musik karangan Schubert. Engkau tentu tahu bagaimana Schubert dijelaskan dan diceritakan di film ”The Piano Teacher” dengan sangat memukau, tentang kesepiannya, kesakitannya dan usahanya untuk mendamaikan kedua hal itu sebagai bagian dari dirinya.

Pada mulanya adalah pertemuan yang tidak disengaja. Si koboy tidak menemukan tempat untuk menginap sampai hari sabtu – hari dimana ia akan merampok sebuah bank bersama tiga orang temannya – dan pada saat yang sama ia membutuhkan air untuk melarutkan aspirinnya [selama di dalam kereta, kepalanya selalu sakit]. Si Tua itu mengajaknya tinggal di rumahnya yang berarsitektur tua, kuno, indah sekaligus membosankan. Ia malah membolehkan si Koboy untuk mengganti dekorasi kamarnya jika ia tidak menyukainya. Ia jadi demikian cerewet tentang segalanya. Satu tipikal orang kesepian: sekali ia bertemu dengan orang yang cocok, ia akan lumer, bercerita tentang apapun. Bagaimana Laconte berbicara tentang kemapanan yang tidak lagi dianggap kemapanan: ia tahu ia tidak pernah menyukai segala apapun yang ada di rumahnya, tapi ia tidak punya keinginan untuk merubahnya.

Awalnya adalah ketidakcocokan. Si koboy yang sangat pendiam, tidak pernah mengeluh dan bahkan tidak pernah bertanya. Sangat Macho dan manly [jika boleh aku ingatkan, mungkin seperti James Nachwey, si War Photographer]. Seolah ia sudah mengetahui segala hal yang ada di dunia. Ia adalah pengelana. Sebaliknya, si tua itu menyadari kebosanannya, kesendiriannya, kesepiannya, tetapi ia tidak pernah memberontak dari itu. Selama ini ia tidak pernah bergerak. Ia telah memutuskan untuk berhenti hidup sebelum ia bertambah tua. Maka yang hadir kemudian adalah detail, memori yang tidak menuntut apapun, ambisi yang didiamkan tidak pernah diberinya makan. Ia telah membatu. Dan pada saat yang sama: mengeluh. Ia mempertanyakan kenapa ia tidak merubah dekorasi ruangan tamunya yang sebenarnya tidak disukainya itu dengan dekorasi gaya jepang yang sangat disukainya. Ia mempertanyakan pula pada ambisi banyak orang bahwa membaca buku itu penting. Ia tidak pernah datang lagi ke sebuah toko roti, hanya karena pelayannya, seorang perempuan, yang selalu mengatakan: ada yang lain lagi? setiap kali ia hendak membayar. Ia bosan. Ia mengeluh pada perempuan itu. Dan besoknya ia datang lagi ke toko itu dan perempuan itu bertanya: Apakah hanya ini? Akhirnya ia memilih untuk tidak pernah ke sana lagi. Ia tidak suka kebosanan ada di orang lain, tapi ia sendiri penuh dengan kebosanan.

Perlahan mereka saling membuka diri, tanpa harus saling bertanya, terjadi pertukaran. Di awali dengan si koboy yang membutuhkan [sebenarnya agak tidak tepat juga kata membutuhkan ini, sepertinya yang tepat adalah ia ingin mencoba jenis sepatu yang lain [”slipper”] yang berbeda dengan jenis Boot yang selama ini dipakainya] sepatu, si Tua memberikannya [karena ia punya banyak] dan sebagai gantinya: si Koboy mengajarinya menembak. Si Tua mulai mengingat impiannya [”...dan impian yang jadi jalan hidup kita.”], keinginannya menjadi pengelana, bahkan merampok bank tempat di mana ia menyimpan uangnya. Si Tua masih belum berani masuk ke toko roti itu, tapi ia sudah berani mengganti gaya rambutnya, ia berani mengingatkan seseorang yang ribut dan sempat menyikut si Koboy [dan dia hanya diam saja dengan dalih: mereka adalah team. Tidak pernah ada yang satu mengalahkan yang dua, kalaupun itu terjadi hanya ada di dalam film. Si Tua menyela: bukankah kita juga adalah team? Si Koboy kemudian berkata: itulah tanda ketika kita semakin tua – dengan kata lain: menyerahlah dan terima segala sesuatu] di sebuah distro tempat dia makan siang selama 30 tahun teakhir hidupnya. Biasanya ia akan memilih-milih menu, tapi kali ini ia mengikuti apa yang diinginkan oleh si koboy, yang langsung memesan tanpa harus melihat menu. Sementara si Koboy mulai menyukai ruangan di rumah si tua itu, ia memakai cangklok si Tua, ia merelakan dirinya jadi guru pengganti bagi seorang anak lelaki dan mengajarinya tentang mengingat dengan memakai Balzac tentang Eugene seorang perempuan yang menunggu. Ia hendak menunjukkan pada si anak itu, bagaimana jadinya Eugene di jaman sekarang: masihkah ia harus menunggu sementara sudah ada telegram, sudah ada telepon, bukankah seharusnya ia mengejar kekasih impiannya itu, tanpa harus menunggu dan mengingat masa lalu mereka, raihlah, capailah? Ia mulai terbiasa dengan gaya hidup si Tua itu dan begitu juga si Tua itu mulai memahami makna petualangan si Koboy itu dan juga maksud kedatangannya ke kotanya. Mereka mulai bertukar darah, kata dan pikiran.

Keduanya mulai saling melihat bahwa hidup yang dijalani oleh masing-masing mereka tidak berharga dibandingkan dengan hidup yang dijalani oleh lawannya. Mereka mulai melihat bahwa rumput tetangga selau lebih hijau. Mereka mulai saling melihat, meraba: apakah saya bisa seperti itu. Si Tua merasa bahwa hidup seperti si Koboy itu sangat enak: terus menerus berlayar tanpa sekali pun melempar jangkar, bergerak dari satu pelukan perempuan asing ke pelukan perempuan asing lainnya, karena baginya betapapun itu menyedihkan dan melelahkannya [sebagaimana disebutkan si Koboy tentang hidupnya] tetap ada perbedaan antara satu pelukan dengan pelukan lainnya dan ia ingin merasakan perbedaan itu, karena selama ini ia tidak pernah merasakan itu. Sedangkan bagi si Koboy, ia mulai menyukai teras rumahnya, dan meminta buku yang ada puisi di dalamnya [”ada lebih baik kita tidak mengetahui semua puisi”]. Si Tua memberikan puisi dan si Koboy membalasnya dengan pelajaran menembak.

Ada dua tipe laki-laki: petualang dan perencana. Petualang adalah yang selalu membeli satu sikat gigi karena ia telah kehilangan yang satunya lagi. Sedang perencana adalah yang membeli dua sikat gigi. Dan si Koboy mulai kerasan dengan sikap perencana. Awalnya adalah ia ingin tahu bagaimana sikap si pelayan wanita di toko roti jika ia membeli rotinya, apakah ia akan mengatakan: ada yang lain lagi? Sebagaimana sering diucapkannya pada si Tua tadi. Ia datang dan ia melihat bahwa kata itu terlontar karena pelanggannya juga bersikap membosankan, repetitif. Semuanya seolah ingin jadi petualang. Membeli hanya satu untuk baguette [roti gandum perancis] maka ia pun bersikap membosankan pula dengan mengulang-ulang kata yang sama pada sikap pelanggan yang sedang berpura-pura itu. Maka ia datang dengan gaya bahasa yang berbeda, yang selama ini tidak pernah dikenal oleh pelayan itu. Pelayan itu agak kagok dengan gaya bahasa barunya tapi ia merespon dengan kalimat pertanyaan yang juga baru.

Tapi sebenarnya tidak ada yang pernah benar-benar berubah. Pelayan itu, walaupun memakai kalimat yang berbeda tetapi maknanya tetap sama. Ia hanya ingin pelanggannya membeli lebih banyak lagi. Di sini perubahan tidak bisa terjadi dengan masuknya hal yang baru; harus juga diperhatikan lingkungan yang melingkupinya. Pelayan itu bagaimanapun adalah sekrup kecil dari sistem perdagangan yang selalu menginginkan untung lebih banyak.

Akhirnya adalah pertukaran. Si Koboy dikhianati temannya waktu merampok dan sekaligus kehilangan sahabat terbaiknya. Ia ditembak dan dipenjara. Setelah keluar, Ia menjadi pnghuni rumah tua itu. Si Tua, setelah melewati operasi yang hampir merenggut jiwanya, mengepak tas, melemparkan kunci rumahnya ke si Koboy dan mulai bertualang, naik kereta, seperti yang dulu dilakukan si Koboy.

Pengambilan gambarnya pun cukup dramatis. Dua orang itu berjalan bertentanga arah. Di sebuah titik mereka berhenti, saling menatap dan berjalan berpapasan. Musik tetap mendayu.

Saya merasa novel Balzac bisa memperjelas situasi itu dan juga apa yang dikatakan si Koboy pada anak didiknya. Dalam buku itu, Eugene tetap menunggu dan itu yang membuatnya merasa bahagia, karena ia tidak perlu bergerak ke depan. Dalam arti ia tidak akan dihinggapi kekhawatiran bahwa kekasihnya mungkin saja berkhianat padanya dan tidak akan pernah kembali padanya. Ia tidak lagi berusaha untuk mencari ke depan karena ia telah berhenti di masa lalu. Ia tidak perlu bergerak ke masa depan karena ia sudah cukup bahagia dengan masa lalunya, seberapa pun membosankannya. Dan si Tua adalah Eugene itu.

Tapi, ia bertanya pada anak itu, apa yang akan dilakukan Eugene sekarang setelah teknologi memampatkan ruang dan waktu, masihkah menunggunya adalah sikap hidup yang ”bermoral”? Tidakkah seharusnya ia mengejar, menelponnya, menanyakan ”apa kabarmu, masihkah kau setia?” atau apapun dan setelahnya menerima kejadian apapun yang akan hadir kemudian? Ia memang membuat pertanyaan itu sebagai pekerjaan rumah bagi anak itu. Tapi itu juga berlaku baginya.

Jawaban itu menjadi ya bagi si Tua [dan dalam anganku, berlaku juga bagi si anak itu. Ia masih muda bukan? Bukan saat yang tepat baginya untuk menunggu]. Maka ia bergegas ke luar dari masa lalunya, dari keadaan yang telah lama membuatnya bosan, dari keadaan yang membuat dia harus menahan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan, apa yang ingin dia katakan. Ia merubah cara pakaiannya, caranya bersikap [betapun menyedihkan dan melukai perasaan orang lain]. Ia duduk di kereta, bertanya-tanya apa yang akan dihadapinya di depan: kecelakaan keretakah, pemandangan pedesaankah atau perempuan yang bisa diajaknya ngobrol dan nyambung dan turun di sebuah kota, tanpa direncanakan, melewati satu malam yang indah dan mendebarkan, menghabiskan semua energi romantisnya malam itu, tanpa menyisakan apapun untuk malam-malam selanjutnya [sebentar, bukankah itu Before Sunrise?] atau malah dirampok karena menolak memberi uang lima ribu perak kepada seorang pencopet yang ditemuinya di wilayah Senen, Jakarta, hanya karena ia tidak bisa membedakan nilai mata uang Euro dengan Rupiah? Atau apa? Ia nampaknya telah siap. Walaupun tidak nampak terlalu yakin.

Jawabannya tidak bagi si Koboy. Ia memilih tetap jadi Eugene yang ada di dalam bayangan Balzac, yang berada di jaman di mana waktu demikian panjang dan ruang demikian lebar, yang tidak perlu menulis apapun untuk kekasihnya karena yang perlu dilakukannya hanyalah menunggu dan sepi dan sendiri. Dengan alasan tentunya. Dan itu adalah seperti pertanyaan pertapa pada petualang. Ambisi apa yang ada di dalam tubuhmu yang membuatmu harus memaksakan matamu yang dua dan terbatas jarak pandangnya itu untuk menelan semua detail kejadian baik – buruk – abu-abu, pegunungan, ikan yang berkilat terkena matahari di selat antartika, gerimis hujan di pedalaman hutan hujan, air mata anak yang kelaparan di Ethiopia dan burung bangkai yang setia menunggunya jadi bangkai atau desiran angin di keretamu? Karena ia, si Koboy, telah tahu rasanya jadi orang seperti itu – aku juga tidak tahu kejadian apa dunia ini yang membuatnya tersakiti, apakah ia telah demikian tidak kuat lagi dengan busuknya dunia – menanggung beban yang tidak mungkin dan tidak seharusnya ia tanggung sendirian. Ia memilih menunggu. Ia terpukau pada detail [dulu hanya bagian tertentu saja puisi yang diingatnya, dan ia merasa bahwa harus seperti itu [kita tidak harus mengetahui semua puisi], tapi sekarang ia ingin mengetahui larik selanjutnya dari puisi itu, semuanya dan ia terdiam ketika si Tua melantunkannya, atau menekan tuts piano dengan sabar [ia tidak peduli omongannya si tua: kata siapa bermain piano atau bermain musik itu menyenangkan? Sebenarnya itu sangat-sangat membosankan]. Ia memilih kualitas ketimbang kuantitas. Ia memilih berhenti ketika setiap orang bergerak. Ia memilih berjalan mundur ketika setiap kita didengung-dengungkan pentingnya kemajuan.

Pada saat yang lain, ia tidak tampak seperti si Crocked Finger pada Antonia’s Line, atau Estha di The God of Small Thing-nya Arundhati Roy, yang demikian tersakiti dan tidak dimengerti oleh dunia dan memilih mengundurkan diri, yang pertama tenggelam pada buku dan tergila-gila pada Schopeunhaur dan yang kedua memilih terdiam, diam, bisu, mengambil sedikit dari dunia. Ia, si Koboy, seperti menerima keadaan yang akan dijelangnya sebagai sesuatu yang memang harus dijalani, semacam tangga berikutnya dari tangga hidupnya. Ia tidak seperti sedang memberontak, tidak sedang mengepalkan kepalannya atau sebaliknya sedang tersudut di sudut kamar dan merintih. Ia menerimanya, seperti itu.

Dan justru ini menariknya. Patrice Laconte sedang ingin memotret apa yang sedang terjadi pada peradaban Barat atau Eropa yang sedang digelutinya. Ia merasa bahwa ada saatnya [kapan itu? Ia tidak memberi jawab] peradaban ini harus menunggu, diam sebentar, mengingat detail masa lalunya: sebaris puisi yang pernah didengarnya di masa lalu, sebaris nada musik, dekorasi ruangannya, rumahnya, kesepian kotanya, kebosanan menu makannya; dan membiarkan peradaban lain, yang telah lama ada, yang lebih tua, atau yang segera ditemuinya [si tua itu] untuk bergerak, bergegas, mencari tahu mengapa bumi berputar, mengapa kelaparan selalu ada dan apa itu keadilan, atau bagaimana bersikap di kereta dan diseret oleh kecepatan geraknya. Karena si Tua juga berhak untuk melakukan itu. Laconte tidak terlalu terpukau dengan kemajuan juga tidak terlalu terseret dalam romatisisme menunggu.

Mungkin untuk saat kemudian di depan, ia akan pulang dengan sakit migran yang sama, membutuhkan aspirin yang sama dan bertemu dengan peradaban yang lain [si Tua yang lain atau mungkin, si anak didik itu] atau yang selama ini diam menunggu [si Koboy atau koboy lainnya] yang akan memberinya air minum untuk melarutkan obatnya, memberinya tempat singgah sebentar sampai hari sabtu untuk menuntaskan apa yang harus dituntaskannya dan lalu bertukar tempat kembali, sebagaimana galaksi ini tercipta, sebagaimana evolusi berjalan. Bertukar tempat antara yang menunggu dan yang pergi. Siapa tahu.