Jumat, 13 Juli 2007

Back draft:Pemadam Kebakaran yang Aku Mau

Oleh: Mumu Muhajir

Pertama kali melihat film ini ketika aku masih di SMA. Kelas dua atau tiga, tidak terlalu ingat. Waktu itu aku melihatnya di saluran SCTV. Kenapa pula, film ini memberikan kesan lumayan mendalam? Setidaknya karena film ini aku pernah punya cita-cita menjadi seorang petugas pemadam kebakaran. Seperti juga film Dead Poets Society mengajakku untuk punya cita-cita menjadi seorang guru sastra atau film Quills yang memberiku semangat untuk jadi seorang penulis.

Enggak jelas juga kenapa film ini memberiku kesan yang dalam. Berkali-kali sesudahnya aku melihat kembali film itu, semakin aku tahu, semakin aku agak malu dengan rasa ketertarianku itu. Karena dalam film ini hanya Robert de Niro yang menyelamatkannya dari tidak diberi bintang di bagian review film di majalahmajalah.

Aku rasa aku yang muda waktu itu, sangat bergejolak, mempunyai ketertarikan pada sesuatu yang penuh aksi, heroisme, melakukan sesuatu yang benar dan konsisten dengan itu. Film ini menawarkan semua itu. Cerita kepahlawanan merupakan tema biasa di Hollywood dan layak dijual; apalagi dalam film ini heroisme itu disatukan dengan nilai-nilai keluarga, sesuatu yang menegaskan bahwa dalam banyak hal kebanyakan masyarakat Amerika masihlah sangat konservatif.

Tapi siapa pahlawanku waktu itu. Aku ingat-ingat, ternyata adalah si adiknya, Bryan Macafrey. Aku suka karakter itu. Ia adalah anak seoarang pahlawan pemadam kebakaran dimana kematian ayahnya disaksikan sendiri dan bahkan mendapatkan helmnya yang terlempar dari lokasi kebakaran.

Berkali-kali dia pergi dari kenangan itu, tetap sang kakak, yang entah kenapa hubungan mereka tidak begitu berjalan baik, mengajaknya kembali ke dunia ayahnya. Sebagaimana Ayahnya, sang kakak sendiri juga menjadi jagoan pemadan kebakaran di kotanya.

Akhirnya, karena bangkrut dan, ini khas amerika, ingatan yang terus menghantuinya untuk meneruskan apa yang dilakukan oleh sang ayah, memaksanya kembali lagi ke kota itu, walaupun harus menyewa rumah di bawah jembatan rel, bersaing dengan sang kakak dan menemukan kekasih lama yang marah.

Di sana aku pikir kenapa aku tertarik film ini. Aku suka dan mengidolakan orang yang walaupun punya kemampuan untuk melakuka lebih dan kaya, tetapi lebih memilih mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Sang kekasih, yang telah menjadi asisten walikota, memberinya kesempatan untuk keluar dari kemiskinannya. Hanya saja dia harus menjadi asisten dari si Bengal Robert de niro, yang walaupun tahu permainan politik sang walikota, tetap saja konsern dengan pekerjaannya.

Akhirnya adalah kepahlawanan itu yang aku puja. Berhasil memecahkan teka-teki adanya pelaku kejahatan dengan mempergunakan api sebagai senjatanya. Kita bisa berbeda pendapat tentang ini. Seperti dalam hal kenapa orang yang selalu dipandang sebelah mata pada awalnya selalu bisa keluar dari tekanan itu dan membuktikan bahwa pandangan selama ini padanya adalah salah. Ini karakter yang sangat sering dimainkan dalam film-film Hollywood. Sepertinya ada keinginan kuat dari para pembuat film Hollywood untuk selalu memaksakan tokoh-tokohnya untuk berlaku diluar batas kemampuannya atau barangkali untuk selalu melakukan keajaiban.

Ini bukan erarti aku tidak percaya dengan orang yang bisa memecahkan batas kemampuannya. Tapi jika itu dilakukan secara terus menerus diwartakan, aku rasa ada yang salah dengan semua ini. Melakukan terus keajaiban berarti mengajak orang untuk tidak melihat apa kemampuannya dan dimana batasnya. Dengan cara seperti itu, hanya lamunan yang kemudian pegang kendali setelah film usai ditayangkan. Bukannya refleksi.

Sama sekali tidak ada yang istiwewa di film ini. Kita ambil contoh, setelah sahabat, kakaknya terkena masalah, barulah sang adik ini kembali lagi ke kehidupan yang dulu sempat ditinggalkannya. Ada keharuan dan teka-teki memutuskan pilihan hdup. Seolah-olah bahwa pilihan harus selalu dijatuhkan setelah dipaksakan.

Konflik dalam film ini pun sederhana. Pertentangan antara saudara adalah hal yang jelas dan tidak akan mengajak kemana-mana. Dan justru dengan setelah konflik keluarga itu diselesaikan, maka persoalan lainnya akan dianggap selesai saja. Aku selalu menangkap bahwa dalam hidup ini ada sesautu yang sangat kuat yang menghalangi seseorang untuk bergerak/menjadi orang, yang jika sesuatu itu telah dihilangkan maka jalan selanjutnya adalah jalan tanpa hambatan. Lihat di film itu, konflik antara kakak-adik, sang kakak dengan isterinya, dan sang adik dengan kekasih lamanya. Atau dengan kata lain ada kaitan yang kuat antara konflik di sini dengan konflik di luar sana, dunia mikrokosmos akan berubah seiring dengan perubahan di dalam dunia makrokosmos. Manis bukan?

Yang tetap menjadi ingatan yang terus menempel di otakku seperti lintah adalah tokoh si Bryan yang memutuskan untuk kembali ke kota yang telah merenggut ayahnya, menyewa rumah di bawah rel kereta api. Walaupun begitu dia tetap mempunyai kekasih yang sangat cantik dan yang penting mendambakan dan mencintainya. Sungguh, sebagi anak muda, aku mengharapkan kemudahan dan kemukjijatan itu. Menjadi miskin, tetapi dihormati dan digandrungi gadis cantik adalah cita-cita yang tak pernah terungkap dari bibirku. Akh mungkin karena aku sebenarnya cetek saja.

Tetap saja, seburuk apapun film ini, aku telah berutang cita-cita kepadanya, walaupun bayangkan: menjadi petugas pemadam kebakaran di Indonesia, tidaklah akan mengajakku untuk menjadi pahlawan yang dipuja oleh banak pihak, atau bercinta dengan perempuan cantik, karena siapa yang mau dengan petugas yang bergaji kecil, fasilitas sangat seadanya, tidak elit, tidak harum, berharap pada dana pensiun?.

Sebuah Konsistensi, Sebuah Cerita: Next stop wonderland

Oleh: Mumu Muhajir

SCTV nampaknya lagi tidak punya arah atau sedang kasmaran tetapi kesepian. Sudah dua kali aku melihat film yang sama, pada hari dan waktu penayangan yang hampir sama: Rabu dini hari dan Kamis dini hari. Filmnya adalah Next Stop Wonderland. Bintangnya hanya satu orang yang aku ingat, pemeran utama perempuan, namanya Hopes Davies. Selainnya aku lupa dan tidak aku perhatikan. [Sekarang, aku tahu beberapa informasi terkait Film ini, sebagaimana aku cantumkan di akhir tulisan ini]

Tapi film ini memang bagus; dialognya cerdas dan sangat romantis, menghanyutkan dan sedikit sedih. Mungkin karena berbicara mengenai kesepian dan tentang hidup di persimpangan. Dan jazz Bossa Nova serta puisi.

Seorang gadis, Erin (aku jatuh cinta pada nama itu seperti aku juga jatuh cinta pada nama Pilar Ternera atau Dreyfus atau Sirius), tiba-tiba memutuskan untuk keluar dari Harvard Medical School, dengan alasan yang tidak terlalu jelas atau mungkin karena alasan yang dia pakai itu terlalu romantis dan sedikit mengejutkan, terutama ibunya, padahal ia adalah murid yang berbakat. Ia hanya merasa bahwa status itu tak lebih berat daripada ingus di hidung kita. Ia memutuskan untuk bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Boston. Ada dua kejadian yang menyebabkannya memikirkan kembali hidupnya: kematian Ayahnya, seorang keturunan Irlandia, dokter tetapi juga seorang penyair - mendedikasikan sebuah buku puisi sadurannya berjudul Heart Needs Home (siapa yang tidak butuh rumah, bahkan seorang Odiepus) untuk dirinya, yang selalu dibukanya sembarang, mengarahkan telunjuknya pada sebuah tempat dan membacanya di bagian itu [ia melakukan itu mengikuti saran penjual buku bekas langganannya-memberinya setengah harga untuk sebuah buku tebal puisi hanya karena Erin terlalu sering membeli buku puisi (pikirnya: hari geenee masih baca puisi!!)], ia melakukan itu karena Ayahnya selalu menyarankannya untuk merenungkan satu kejadian atau apapun bahkan sebaris bait puisi atau bahkan satu kata, setiap hari yang nantinya bisa mendatangkan sebuah perasaan istimewa atau khusus padanya- dan kedua adalah karena ia diputuskan oleh pacarnya, yang seorang aktivis lingkungan hidup radikal, gara-gara ia, Erin, sulit berubah, kuno, dan komunikasi pun gagal terbangun; sementara pacarnya sedang sibuk menolak pembangunan dam yang akan mencaplok tanah Adat milik sebuah suku Indian. Pacarnya memutuskannya lewat sebuah video yang dikirimkannya dari tempat pendampingannya.

Erin terluka dan selalu bersikap sinis, juga pada Ibu dan teman kerjanya. Tapi sinis yang sedih dan sinis yang bahagia. Sebuah posisi yang agak sulit untuk ditentukan. Dalam bahasa Gaelik (aku lupa menuliskannya) kira-kira keadaan yang membahagiakan sekaligus menyedihkan. Tampak pada raut wajahnya yang tidak pernah kelihatan bergembira atau membuka senyumnya lebar, sedikit sendu tapi tidak terlalu sedih: langit muram tapi masih ada bayangan matahari dibaliknya.

Pertemuan dengan ibunya di sebuah restoran, dengan percakapan yang lancar dan saling mencoba memahami keadaan diri masing-masing yang sama-sama terluka. Dengan cara keluar yang berbeda: Erin menenggelamkan diri dalam kesedihan yang diam dan mengalirkan diri di sana seperti gunung, seperti telaga, sedang ibunya, dengan santai mengenalkan teman prianya yang baru ditemuinya di bandara dan bermain cinta dengannya. Karena ketertutupan itulah ibunya mempunyai ide untuk mendaftarkan/mengiklankan anaknya, Erin, disebuah koran sebagai perempuan cantik, proporsi tubuh seimbang, periang, berbudaya dan diakhiri dengan larangan: tertutup bagi pemabuk dan tukang mesum.

Iklan itu disambar oleh empat orang-orang keparat dengan otak cetek dan dangkal tetapi, dalam bahasa Sutardji: orang-orang bodoh yang dikasihi Tuhan. Maksudnya, salah satu dari empat orang itu mempunyai seorang kakak, namanya Alan, yang walaupun umurnya sudah 35 tahun [seorang klien dari preman di mana ia punya hutang kepadanya berkata kepadanya: hati-hatilah, kau sedang ada dipersimpangan sekarang. Ketika di luar, dengan wajah yang agak sulit ditebak, entah khawatir atau putus asa atau seperti: mungkin hidupku di sana, memperhatikan sebuah mobil kerja tukang ledeng]memutuskan untuk terus kuliah di jurusan Biologi Kelautan; bekerja sebagai asisten di Sea World [terus kecewa karena ia sebenarnya ingin kerja paruh waktu di bagian yang lebih ilmiah, tetapi malah ditawari untuk jadi pegawai tetap membetulkan saluran air], pernah bekerja sebagai seorang tukang ledeng [melanjutkan usaha ayahnya, yang frustasi, yang menghabiskan sisa hidupnya dengan berjudi pacuan anjing, yang berhutang banyak pada seorang preman dan Alan yang harus membayar hutangnya itu], pembaca buku yang tekun dan selalu gagal dalam membina sebuah hubungan dengan perempuan [tidak tepat juga karena ada teman kuliahnya yang selalu mendekati dia, menyukainya karena Alan eksentrik dan rajin mencatat bahan kuliah, yang sempat membuat Alan tidak bisa melihat atraksi langka paus bongkok di lepas pantai karena teman kuliahnya itu kena mabuk laut [bukankah ia di jurusan biologi kelautan?] Kenyataannya ia cuma memanfaatkan kedekatannya dengan Alan agar bisa meminjam catatannya atau ada alasan lain yang agak kabur karena ia juga dengan santai bercinta dengan dosennya demi sebuah nilai untuk tugas papernya. Alan melihatnya tetapi ia biasa saja. Mulutnya seperti selalu menggigit sesuatu]. Alan pokoknya dianggap sebagai pecundang. Sementara adiknya adalah seorang pengacara yang baru beranjak kaya, muda, keren, dan hendak pindah rumah ke daerah elit di kota Boston dan selalu merasa bisa menaklukkan perempuan manapun yang diinginkannya. Ia mencapai keinginan itu, sebagaimana ketiga temannya juga, tidak dengan menjadi aneh, membaca buku khusyuk dan banyak-banyak, merenungi kejadian sehari-hari agar mendapatkan suatu perasaan istimewa dan khusus. Sebaliknya dengan sebuah ikhtiar yang hanya nasib yang bisa menjelaskannya atau hanya dengan satu kata: bersikap egois. Mereka kemudian bertaruh: siapa yang bisa menaklukkan Erin akan mendapatkan sejumlah tertentu uang.

Sebelum itu, Erin juga, dengan iseng menemui banyak lelaki yang menawarkan dirinya untuk menjadi pasangannya. Bisa ditebak: Erin tidak menemukan yang cocok dengan dirinya. Ia pernah dengan sangat serius mengatakan [waktu itu teman perempuan kerjanya kecewa dengan laki-laki yang ditaksirnya karena ternyata ia seorang gay] bahwa sebenarnya satu satunya cara yang membuat kita bahagia adalah diri kita sendiri dan bukan ada tidak adanya lelaki.

Hanya ada satu orang yang membuat dia bisa membuka dirinya padanya, sayangnya adalah pria itu adalah seorang terapis [ha ha], selebihnya adalah tipikal laki-laki, lebih banyak mengomongkan dirinya, tepatnya kehebatannya, seperti burung jantan yang memamerkan bulu indahnya untuk menarik perhatian betinanya. Kadang memang terasa indah, tetapi lebih banyak membuatnya ingin muntah. Begitu pun dengan empat laki-laki sombong itu. Erin bisa mencium bahwa dirinya hanya dijadikan seperi anjing pacuan atau dadu oleh mereka berempat karena keempatnya menyebutkan sebuah kalimat: ’konsistensi adalah setan bagi pikiran kecil’ dan lucunya atau gobloknya semuanya menyebutkan sumber yang berbeda-beda, ada yang menyebutkan bahwa itu adalah ucapan pamannya, dari sebuah buku bisnis bahkan dari Karl Marx. Erin membalasnya dengan mengundang keempatnya untuk kencan dengan dirinya dan undangan itu hanya diketahui oleh masing-masing keempat lelaki bodoh itu. Akhirnya sebuah kelucuan dan kepandiran, yang dinikmati Erin dengan senyuman dari seberang restoran sambil menyeruput kopinya.

Saat itulah ia melihat Alan. Mereka bersitatap, melemparkan senyum, namun cuma itu. Alan sedang menunggu teman kuliahnya yang akan membawakannya catatan kuliah yang dipinjamnya.

Erin akhirnya bertemu dengan seorang musikolog etnis asal Brazil, yang tergila-gila dengan musik bossa nova, sebagaimana juga Erin, yang masuk perawatan rumah sakit karena terkena malaria ketika sedang mengumpulkan musik etnik di Bolivia. Lelaki itu jatuh cinta pada Erin dan menyebut wajah yang dipunyai oleh Erin sebagai, dalam bahasa Brazil, Sau Deja atau kebahagiaan dan kesedihan yang bersatu, tidak bahagia tidak sedih. ”kesunyian yang dipunyai oleh satu orang ketika bersatu dengan kesunyian satu orang lagi akan menjadi kesunyian yang sempurna” begitu ia merayu. Atau sambil mendendangkan sebuah sebuah bait irama Bossa Nova yang artinya adalah kebahagiaan itu berujung tetapi kesedihan tidak. Lelaki itu mengajak Erin untuk pergi ke Brazil, setidaknya memanggil kembali ingatan yang pernah dipunyai Erin ketika masih kecil diajak ayahnya ke Brazil, tepatnya Sao Paolo. Nampaknya segala apapun yang bisa mendekatkan Erin pada ayahnya, selalu membuatnya luruh dan lumer seperti es krim. Tetapi ia agak ragu, juga ketika lelaki Brazil itu memberinya tiket. Malam ketika sedang berkemas, ia membuka buku puisi ayahnya dan menemukan kata ’Linoleum’ di sana [kata benda, tetapi apa itu?].

Besoknya ia tetap memutuskan pergi ke bandara. Sayang, jalannya macet, dan ia pindah naik kereta bawah tanah. Keretanya penuh dan ia selalu terganggu dengan banyak orang; ia sangat terobsesif dengan wajah-wajah yang diam, seperti tanpa ekspresi, tapi, menurutku, menyimpan kesedihan tertahan. Ia agak pusing dan ketika kereta berhenti di stasiun bandara, semua orang berhambur keluar, ia agak limbung dan akhirnya ia bersandar di pundak seseorang, yang ternyata Alan dan didekatnya berdiri seorang pekerja dengan tulisan Linoleum di dadanya. Kemudian sebuah suara mesin persis seperti kalau kamu naik Busway: perhentian berikutnya....dan di film itu, adalah wonderland. Jangan salah, nama itu adalah sebuah tempat parkir dan sekaligus nama sebuah pantai. Mereka datang ke pantai. Saling membuka kenapa mereka suka pantai [Alan mengeluhkan kereta bandara yang selalu penuh dan orang-orang yang terlalu bergegas dan diamini oleh Erin. Alan menyakinkannya bahwa ia sering ke pantai ini, hampir setiap hari, duduk dan melihat ke arah laut sambil membaca buku. Erin terpana dan agak iri dengan kegiatan Alan dan berkata, ia dulu juga sering bermain ke pantai, membaca buku dan merenungkan sebuah hal, bersama ayahnya. Erin heran karena ia baru tahu ada pantai yang indah di Boston]. Alan mengatakan ia melakukan itu hampir-hampir sebagai caranya untuk konsisten. Dan percakapannya jadi seperti ini:

[di pinggir pantai. Pagi menjelang siang. Laut dengan buih putihnya yang tenang. Bangku-bangku kosong yang dinaungi oleh kanopi. Alan dan Erin duduk bersebelahan. Tatapan mata yang seperti telah bertemu sejak dulu. Musik swing mengalun pelan]

[kamera;close up ke wajah Erin]

Erin [sedikit terkejut dengan kata itu] : bukankah konsistensi adalah setan kecil bagi pikiran?

Alan [sedikit terperangah] : sebenarnya adalah {bersamaan dengan Erin}konsistensi yang membabi buta adalah dayang-dayang bagi jiwa yang kerdil.

Alan [hampir bersamaan dengan Erin] : Ralph Waldo Emerson

[keduanya tersenyum. Menertawakan sesuatu atau seperti menemukan sebuah misteri]

fade to:

[laut yang luas. Kanopi yang agak muram].

Erin [membereskan rambut dan tasnya] :aku merasa baikan sekarang. Sebaiknya aku pergi. [matanya mengharapkan alan melakukan sesuatu]

Alan [ seperti mengerti, cepat] : maukah kita berjalan-jalan di pantai sebentar?

[Erin cepat dan tanpa pikir panjang, tersenyum, menganggukkan kepala]

Alan [berdiri] : jalannya lewat sini

[musik yang perlahan mengeras. Kamera menjauh dari pasangan itu dan menangkap horizon di kejauhan]

Ada yang menarik dari film ini, yaitu misteri terbesar dalam menjalani percintaan bukanlah pada saat perjumpaan, tetapi apa yang menyebabkan pasangan itu tetap bertahan setelah perjumpaan itu. Itu misterinya. Maka film ini mempertemukan kedua tokoh utamanya tidak di awal atau ditengahnya. Tetapi malah di 5 menit terakhir film. Sepertinya ingin tetap membiarkan misteri itu tetap tidak terjawab. Kedua tokoh dibiarkan berjalan dengan perkembangannya masing-masing. Membangun rumahnya masing-masing. Dan ketika mereka bertemu atau dipertemukan, bagaimana mereka membangun rumah mereka, padahal mereka sudah punya rumah masing-masing? Itu misterinya.

Menurutmu kira-kira apa sih yang tetap menyatukan kita sampai sekarang? Cinta yang bergelora, atau malah cinta yang tertahan dan meledak di suatu saat atau karena berubah menjadi bentuk lain dari persahabatan atau pengertian atau malah karena ketakutan?

Pacar Erin pulang dan dengan mata yang berkaca-kaca mengakui kesalahan dan kekeliruannya [memutuskan Erin dan juga perjuangannya] ternyata suku Indian yang didampinginya berhasil mengalahkan tuan kapital yang jahat, saking bahagianya mereka membangun kasino di atas lahan bekas pekuburan sukunya. Pacarnya mengeluh: semuanya hanya masalah uang. Tidak ada lagi yang memakai perasaan.

Dan ia teringat Erin yang selalu memakai perasaannya, yang karenanya rentan dan gampang remuk. Tapi ia mengharapkan Erin tidak berubah dengan itu. Ia pulang dengan kekecewaan dan menjadi seorang pengantar pizza. Tetapi entah ada setan apa yang membuatnya kembali berjuang, semacam konsistensikah? Ia berjuang kembali untuk membela kaum lemah di kotanya dan melawan tuan kapital jahat.

Erin tidak bisa lagi menerima aktivis itu. Walaupun sebenarnya ia mencintainya. Ia seperti membenarkan ucapannya sendiri bahwa untuk urusan laki-laki selalu ada pilihan.

Sementara lelaki Brazil itu, walaupun berharap besar Erin bisa ikut dengannya ke Brazil, harus menerima kenyataan Erin tidak terlihat di Bandara. Namun di samping tempat duduknya ada seorang gadis yang tergila-gila dengan bossa nova dan hendak ke Brazil untuk bersenang-senang.

Ada banyak kebetulan dalam film ini seperti dalam film Serendipity itu. Tapi kebetulan di film ini sangat wajar dan digerakkan oleh tenaga besar yang bergerak dengan sangat pelan semacam kesunyian atau kesedihan. Sebuah kebetulan yang yang telah dipikirkan bukan lagi menjadi kebetulan [aku agak lupa kalimatnya]. Semua karakter, tokoh dan tempat dalam film itu berhubungan dan mengikuti sabda sebab-akibat. Yang pelan-pelan berujung pada pertemuan tokoh utamanya. Pertemuan itu tidak terjadi dengan meledak-ledak. Hampir tawar dan ya seperti itu seperti tertahan. Lumayan bagus. Film ini sangat romantis, menghanyutkan, tidak cengeng dan membicarakan sebuah kisah yang cukup dewasa. Dua kali aku menontonnya, dua kali juga perasaan yang sama muncul: tentang kesendirian dan bagaimana kita berlaku dengannya; kesedihan yang tertahan juga kebahagiaan yang tertahan.


Judul: Next Stop Wonderland [1998]

Sutradara: Brad Anderson
Penulis: Brad Anderson/Lyn Vaus
Pemain: Hugh Davies, Philip Seymour Hoffman, Ken Cheeseman, dll