Sabtu, 27 Desember 2008

Drupadi dengan suara Dian Sastro?

Tak pernah membaca tuntas Kisah Mahabarata, membuat saya tertegun dengan argumentasi yang dibangun oleh Drupadi ketika ia dijadikan taruhan oleh Yudistira - salah satu suaminya: "Bagaimana mungkin Yudistira, yang sebelumnya telah dijadikan taruhan oleh dirinya sendiri dan kalah, kemudian mempertaruhkan orang lain?" Gampangnya, kekalahan taruhan sebelumnya itu telah "menghilangkan kediriannya" Yudistira, lalu bagaimana mungkin yang sudah 'tiada' itu kemudian mempertaruhkan yang masih 'ada'.

Argumentasi itu adalah argumentasi hukum, argumentasi seorang pengacara. Seharusnya pertaruhan itu 'batal demi hukum' atau dianggap tidak pernah ada. Tapi, percayalah, hukum selalu dibangun di atas kekuasaaan slash politik. Semeyakinkan ia bagi saya, semasuk akal apapun ia pada otak saya, tapi tidak bagi takdir, tidak bagi permainan para dewa. Drupadi tetap kalah dan kehormatannya dilecehkan.

Jangan percaya bahwa seluruh Kisah Mahabarata dibangun di atas "common sense" seperti itu. Ini adalah interpretasi 'seorang feminis' atau 'seseorang yang ingin menunjukkan keberpihakan pada perempuan digenangan teks patrialkal'. Drupadi adalah taruhan yang memilih pemenangnya [Arjuna ketimbang Adipati Karna] yang kemudian menjadi taruhan yang tidak punya pilihan, selain meredam dendam kelak akan mencuci rambut dengan darah Dursasana[dan menunggu sampai Bima menggada Dursasana dan mencabut jantungnya dengan tangannya]. Tak ada 'kemenangan perempuan' di sana.

Tapi gugatan itu bukan gugatan 'perempuan Drupadi', ia adalah gugatan 'manusia Drupadi'.

45 menit film ini memang terasa pendek untuk sebuah interpretasi atas teks berumur ratusan tahun. Warna merah menggenangi film ini. Mungkin darah, mungkin keberanian. Saya merasakan betapa agung Drupadi itu, tetapi sesuatu di perasaanku tetap merasakan tidak nyaman. Suara itu, suara Dian Sastro untuk Drupadi, dengan ujung suara yang menipis itu, membuat keagungan Drupadi sedikit cacat.

Tapi, hei, Drupadi seharusnya adalah setiap orang dan adakah pembatasan untuk itu?




Kamis, 25 Desember 2008

Di Bawah Pohon, Lihat Garin

Menyaksikan film terbaru Garin Nugroho “Under the Tree” , saya menyadari sesuatu yang sering saya saksikan di film-film Indonesia. Dua kejadian, Marcella Zalianty yang tersedu-sedu melihat berita TV tentang bayi-bayi yang dibunuh orang tuanya serta Nadia Shapira yang meradang melihat ayahnya diseret oleh KPK di dalam TV. Saya menyadari dua kejadian ini bukan hanya sebuah cerita yang dituturkan/didialogkan– dan bukannya dibuatkan adegannya – yang bisa [tapi masa sih berani 'nanya' Garin Nugroho!] memperlihatkan kekurangmampuan sutradara dalam mendedahkan ceritanya pada film, tetapi juga dalam banyak hal menunjukkan bagaimana orang Indonesia dalam melewati realitas di depan matanya.

Ketidakmampuan -  atau bisa jadi malah ini adalah “cara” – orang Indonesia dalam memahami realitas diwujudkan dalam menceritakannya, tidak menghadapinya secara langsung. Karena itu pula, mistik, agama, spiritual berurat akar di sini karena ia menjadi ‘tirai’ dalam melihat realitas. Daripada mengintegrasikan ‘kejadian nyata’ berupa pembunuhan bayi oleh orang tuanya ke dalam cerita yang sedang berjalan, lebih baik diceritakan saja, walaupun efeknya sama: merubah arah cerita. Ia bisa juga penyederhaan, tetapi di sisi lain itu menunjukkan cara pandang kita dalam melihat realitas yang -dipandang-gersang.

Dengan membuat tirai berupa agama, mistik atau spiritual, kita lebih tenang melihat realitas tanpa harus menyentuh langsung masalah itu. Kita merasa bisa menyelesaikan masalah buruknya management pemerintahan dengan cara menceritakannya pada orang lain daripada menghadapinya dengan terjun langsung ke sana: melihat dari dekat, terbanting, membuatkan jalan keluar, gagal, sedikt berhasil, dst. Masih ingat gurauan Gusdur yang katanya kalo makalah seminar orang Indonesia itu kalo ditumpuk nyampe ke Bulan; tapi kita masih begini saja.

Tapi, di luar itu Garin memang pandai meramu mitos-tradisi-tradisional dengan laju modernitas. Kadang membuatnya tampak berhadapan, kadang saling menjalin, dan kadang - ini yang genius - membiarkannya berjalan di jalannya masing-masing. Memang terasa sur-real gitu lihat Marcella harus ketemu dukun untuk hanya tahu apa yang harus disembuhkan dalam hatinya akibat kekecewaan pada ibunya [apa?hemh, hanya Garin yang tahu]. Atau bisa dilihat dari karakter Ikranagara - yang sepertinya representatif orang modern yang jenuh - memilih cara kematian yang agung dengan main sebagai mayat dalam lakon Calon Arang.

Ketika bijih telah jatuh dari inangnya, ia tidak kuasa lagi menentukan - bahkan meminta - di tanah mana ia akan membuka [atau tidak membuka] kulit bijihnya. Ia harus pasrah, dunia menentukan keberadaannya. Tapi pada saat yang sama, Dunia tidak bisa merubah "jati-diri" yang dibawa -okelah, sebagai energi potensial- di dalam bijihnya. Tarik menarik antara takdir dan kehendak bebas manusia adalah.......