Minggu, 18 Januari 2009

Kamar Gelap-Efek Rumah Kaca


Satu group musik yang keras kepala akan menggunakan secara konsisten bahasa Indonesia dalam lirik lagunya, Efek Rumah Kaca, telah melahirkan album kedua, Kamar Gelap. Kurang lebih sama dengan album pertamanya, album ini ingin memotret kondisi sosial masyarakat kontemporer kita, jelasnya kelas urban. Kamar Gelap diambil sebagai judul sekaligus memperlihatkan 'filosofi" group ini yang ingin menjadi pemotret dari kondisi sosial kita.Isunya melebar dari politik, pendidikan, lingkungan hidup, Narkoba, gagap teknologi, termasuk juga cinta.

Tapi, jangan harap ada lirik cengeng sepasang kekasih dari efek rumah kaca [ERK]. Tapi bukan berarti tidak ada lagu cinta: kau dan aku menuju ruang hampa atau laki-laki pemalu adalah contoh lagu cinta mereka. Selebihnya adalah lagu yang hendak memotret lenguh kesah dan terbata-batanya masyarakat kita dalam menghela jaman. Setelah Munir diabadikan dengan "di udara" di Album pertama, di album ini politik dibicarakan dengan serius [entah, saya tidak pernah menemukan aroma satir atau main-main sebagaimana yang diinginkan mereka]: "mosi tidak percaya" seperti pamplet bersemangat tentang usaha mencoba menarik batas ketidakpercayaan pada kekuasaan atau "menjadi Indonesia" yang walaupun ringkih tapi tetap menyimpan harap akan kekuatan kebangsaan kita.

Lagunya kebanyakan upbeat dengan pengecualian beberapa lagu yang lebih tenang seperti Tubuhmu membiru...tragis. Hal yang saya kira wajar karena ERK ini adalah seorang fotografer yang penuh semangat dan merasa 'lebih tahu dari objeknya". Semua lagunya dirancang sebagai usaha untuk menyindir dan dipenuhi semangat ingin berubah. Terdengar di telinga saya: pidato aktivis di arena demo tempo hari.

Karena agitasi dan "memihak" itu pula, ERK terasa gampang menghakimi objeknya, misalnya dengan penggunaan kata "kau" yang terlalu banyak [dengarkan komentarnya dalam "kenakalan Remaja di Era Informatika"].Berbeda misalnya jika anda bandingkan dengan pemotret sosial lain semisal Iwan Fals, yang lagu-lagu terbaik tentang politik atau sosialnya justru karena diungkapkan dengan main-main, satiris [wakil rakyat, adalah contoh terbaik]. Dan ketika Iwan mencoba jadi pengkhotbah, lagunya terasa sangat lemah.

Saya tidak tahu apakah itu kelemahan atau malah kelebihan dikomparasikan dengan kondisi sosial politik kita yang memang terasa terlalu dangkal dan "apa saja boleh". Pemihakan dalam satu posisi sepertinya akan mempertegas dan memberikan harapan daripada membiarkan dalam ketidakpastian. Mungkin juga karena ERK, berbeda dengan Iwan, berasal dari golongan menengah terdidik, yang terbiasa merasa lebih tahu dari golongan lainnya.

Selasa, 13 Januari 2009

Radit dan Jani

Apa jadinya jika Jani bukan anak orang kaya? Apakah Radit akan menyerah dan menyerahkan kembali dia pada keluarganya? Apakah Radit tetap punya keyakinan Jani akan lebih berbahagia jika ia kembali ke keluarganya jika Jani anak orang miskin atau anak sebatang kara?

Saya berharap kedua orang itu tidak perlu dibukakan latar belakang keluarganya. Mereka adalah dua anak manusia yang terdampar dalam suasana menghimpit perkotaan. Mereka mencari – okelah- jati diri: pemberontakan anak muda dari kungkungan sosial di sekitarnya; menjadi ‘lain’.

Tetapi, pembukaan latar belakang Jani yang orang kaya membuat tarik menarik antara asa dan realitas tidak lagi menggigit, setidaknya buat saya. Karena ada ‘kemapanan’ yang kemudian menjadi tumpuan kedua orang itu. Sejauh apapun resiko yang ditantang, diakhirnya mereka tahu, jika pun kalah, mereka tetap akan dapat ‘rumah’ untuk pulang. Sehancur-hancurnya mereka, mereka tahu ada ‘pulau’ yang akan menyelamatkan mereka.[ bahwa film ini dengan sengaja menunjukkan bahwa kemapanan, terutama kemapanan finansial, adalah juara, tidak akan saya singgung].

Jika saja kemapanan itu tidak dibentangkan di depan penonton atau barangkali jika kemapanan itu ‘ditundukkan’, layak kiranya kita akan melihat perwujudan karakter lain dalam film Indonesia dan membuatnya menjadi film yang tidak hanya kuat secara dialog, tetapi juga mengetengahkan karakter ‘lain’ tokoh film Indonesia.

Selama ini, terlalu sering kita melihat tokoh cerita terlalu disayang oleh sutradaranya. Kebengisan apapun dalam hidupnya pada akhirnya akan digantikan oleh kebahagiaan. Kita tidak pernah melihat tokoh cerita yang benar-benar dahsyat hancur sebesar apapun usaha dia untuk tidak hancur.

Tokoh cerita kita selalu saja diselamatkan, entah oleh nasib atau oleh kerja kerasnya. Seolah semua usaha kita akan berbuah manis kelak. Seolah, setelah apa yang dilaluinya, dia berhak mendapatkan ganjaran kebaikannya: hidup sehat dan bahagia. Seolah setelah mulut kita pait dan perut mual melihat penderitaannya, kita layak disingkirkan keresahannya dengan cara menjadikan tokoh kita bahagia. Kita seolah tidak pernah mau melihat kenyataan bahwa ada nasib yang benar-benar tragis, tanpa ampun, ada jutaan orang yang sudah bekerja keras tetapi tidak sampai maksudnya. Sepertinya dengan cara seperti ini, kita terlalu menyandarkan diri pada nasib, pada kepercayaan bahwa kelak kita akan dapat ganjaran yang lebih baik. Kelak.

Pola ini sebangun dengan sinetron kita yang akhirnya kita: akh santai aja...walaupun ia disiksa dan dihina sekarang...ia akan bahagia kelak karena..[anak orang kaya yang terbuang, bla, bla..]. Tetapi, berapa nasib yang seperti itu? [dan, lihat pengaruh “ia akan” itu pada mental?]

Perhatikan film turtle can fly, tidak ada yang berbahagia di akhir film itu, semua tokoh kehilangan. Tetapi saya rasa kita akan puas menyaksikan “kemenangan-kemenangan kecil” tokoh kita di awal dan pertengahan film itu.

Tidak perlu selalu kita saksikan peluk bahagia di akhir film kita, karena terlalu sering jadi terasa munafik.

Dalam “perang” yang diusung film Radit dan Jani, sedari awal saya tahu tokoh kita akan, bahkan pasti kalah. ‘Pertempuran-pertempuran’ di antara awal dan akhir film itulah yang sebenarnya bisa memberi “arti” pada kita. Sayang, akhir film ini bahagia. Radit tidaklah kalah [bahagia dalam kekalahannya? ] ketika ia menyerahkan Jani pada kemapanan itu, karena ia yakin Jani akan terawat secara finansial – yang sayangnya menjadi alasan terbesar dia melepaskan Jani kembali ke keluarganya. Ia teryakinkan, kebahagian yang selama ini dicarinya hanya ada dalam genggaman “kemapanan” itu. Tidak ada akhir seperti dalam film she’s so Lovely: tahu kesulitan dan mungkin kesengsaraan lebih dekat jika kembali kepada Eddie [Sean Pean], tetapi bagi Maureen [robin wright penn] tidak apa-apa jika ganjarannya adalah lebih “hidup”. Dalam film Indonesia sepertinya tidak ada alternatif lain. Tidak ada?