Senin, 28 Januari 2008

Highfidelity


Film favorit-ku sepanjang masa. Pilihan akan jalan hidup kadang tidak mudah. Selalu ada saja godaannya, seperti pingin juga ngerasain rasanya jet lag. Seharusnya aku melakukan itu, melakukan itu. Tapi pekerjaan yang berasal dari hati ditawarkan dalam film ini sebagai jalan keluar dan asyiknya nyeleneh. Pemilik toko rekaman musik ini sengaja membuka tokonya di daerah yang tidak terkenal semata karena musik yang bagus hanya dinikmati sedikit orang saja. Sedikit snob memang. Tapi yang umum emang gampang dipilih dan mungkin dijalani.Melakukan apa yang disuka walalupun memberi balasan sedikit ternyata membawa sesuatu dibelakangnya. Jika aku down, biasanya aku lihat lagi flm ini. Apalagi lagu pop-nya tidak kacangan dan, kata Rob, miserable! Dan percaya bahwa pilihan hidup berdasarkan hatilah yang akan menang [kalau ada kalah-menang], begitu juga dalam masalah pasangan hidup. Rob laki-laki biasa saja, bukan yang terpintar tapi juga bukan yang terbodoh. middle weight-lah. Oh ya Cussack masuk nominasi oscar di peran ini. Dan terakhir, jika suatu saat kau dihadapkan pada pilihan, buatlah List, pilih top ten atau top five dan jika ada pilihan dengan tanda "with a Bullet" di atasnya, pilihlah.

Senin, 07 Januari 2008

Para Penipu dan Versi Tipuannya

Oleh Mumu Muhajir

Saya pikir semua orang pernah mengalami kejadian seperti ini: ditipu oleh orang yang kita (kira) tolong. Sering sekali saya mengalami seperti itu. Yang paling saya ingat adalah ketika saya masih kuliah di Yogya. Suatu hari, sekeluarnya dari sebuah bank di dekat UGM, seorang ibu memanggil saya. Dia mengajak saya ke sudut, menjauhi keramaian. Saya mengikutinya tanpa curiga apapun. Berbeda rasanya kalau yang mengajak saya itu adalah seorang laki-laki. Saya rasa saya akan merasa curiga dengannya.

Di sudut, si Ibu tadi itu bertanya caranya bisa pulang ke kota asalnya, Purworejo. Setelah saya jelaskan bagaimana caranya. Si Ibu tadi baru menceritakan masalahnya: ia tidak punya uang dan, dengan sangat sopan, memintanya dari saya. Karena merasa kasihan saya keluarkan sejumlah uang yang dalam perhitungan saya lebih dari cukup untuk bisa sampai ke Purworejo. Aku pun meninggalkanya dan berbelok ke arah bunderan UGM. Dalam perjalan kaki itu saya jadi terbit curiga: jangan-jangan itu hanya akal-akalan si Ibu saja karena, tiba-tiba saya ingat, teman saya pernah mengalami hal itu. Lalu setelah agak lama saya balik lagi ke tempat saya bertemu si ibu tadi. Dan ya di depan saya, di seberang jalan, si ibu itu sedang berbincang dengan seorang perempuan. Tangan perempuan muda itu menunjuk-nunjuk seperti sedang menerangkan sebuah arah atau tempat. Kemudian tiba-tiba, ia mengeluarkan uang dan pergi. Aku yang melihat kejadian itu, entah kenapa tidak merasa marah. Saya malah menyumpah diri sendiri karena telah tertipu bulat-bulat oleh si ibu itu. Justru rasa kasihan yang kemudian timbul. Kasihan dalam arti si ibu tadi, kalau saya berpikir positif, terpaksa melakukan itu karena ia tidak punya keahlian lain untuk mempertahankan hidupnya. Ia terpaksa menipu orang lain agar ia bisa makan atau memberi makan anak-anaknya. Saat itu saya merasakan gelombang haru: ia harus menipu orang lain, membohongi orang lain demi untuk hidupnya, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati.

Kejadian lain yang mengharukan sekaligus menggelikan adalah ketika saya masih mahasiswa dan punya kost. Waktu itu hari minggu. Seseorang mengetuk pintu kost saya. Ketika di buka tampak seorang ibu dengan, maaf, dandanan kampung dan berumur kira-kira 40-tahunan. Tiba-tiba ia bersimpuh di tanah di depan kamar saya. Dan berbicara dengan bahasa jawa halus, yang intinya adalah meminta pakaian bekas untuk ketiga anaknya. Walaupun dengan sangat jengah, karena tidak berhasil membujuk si ibu untuk beranjak dari bersimpuhnya, saya berikan beberapa pakaian bekas saya. Setelah mengucapkan doa dan terima kasih, si ibu itu, dengan kantong plastik hijaunya, pergi. Saya masih merasa bahwa saya telah membantu dia sampai dua minggu kemudian ibu yang sama datang lagi ke kamar saya. Duduk bersimpuh di tanah dan meminta sesuatu dengan alasan yang sama dengan dua minggu kemarin. Karena saya menyangka ia pasti mengingat saya karena hanya berjarak dua minggu, saya tanyakan kali ini pakaian itu untuk siapa. Jawabannya membuat saya kaget. Si ibu tadi mengaku tidak punya anak dan pakaian bekas itu akan ia jual di Beringharjo dan hasilnya untuk makan dirinya dan suaminya yang lumpuh.

Saya tidak mencoba untuk melakukan konfirmasi atas dua jawaban yang sangat bertentangan itu. Saya hanya mendengarkan ia berbicara mengenai kesulitannya dalam menjalani hidup. Saya masih kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Apakah saya harus mengusirnya dan mengatakannya sebagai penipu? Aku jelas enggak tega. Namun membiarkannya membuat versi lain tentang alasannya jadi peminta-minta itu membuatku merasa mual. Saya biarkan ia ngomong. Setelah beberapa saat ia pun pergi. Saya sadar bahwa saya ditipu. Tapi lagi-lagi perasaan kasihan timbul. Berbagai dalih kemudian saya buat, yang intinya adalah menutupi kenyataan sebenarnya bahwa saya telah ditipunya.

Kejadian seperti itu sering terjadi pada saya. Entah berapa kali saya bisa membuktikan bahwa beberapa orang yang tidak saya kenal yang telah saya bantu itu dalam kenyataannya adalah seorang penipu. Tetapi anehnya tidak membuat saya bersikap sinis dengan tidak memberinya bantuan. Saya tetap mendengarkan keluhan-keluhannya, memberinya uang [kalau aku punya] dan pergi dengan perasaan yang aneh: agak sambil ketawa karena mengutuk diri sendiri mau-maunya pasrah ditipu orang.

Mungkin saya lemah dan saya harusnya saya tidak terlalu terbawa perasaan dengan versi-versi kesusahan mereka itu. Tetapi di lain pihak, saya enggak tahu dan tidak bisa membedakan mana di antara mereka yang minta bantuan dengan tulus dan mana yang tidak. Saya juga dalam posisi yang sulit. Jika saya tidak menolongnya, ternyata ia memang sangat butuh pertolongan, maka saya akan sangat berdosa. Maka saya dengan tenang akan mendengarkan versi-versi kesusahan mereka, memberinya uang dan kemudian tertawa miris. Saya anggap buang duit sajalah.

Yang menggangu saya adalah saking terpaksanya, saking tidak ada alternatif lainnya, untuk bisa makan saja mereka harus sampai membohongi orang lain untuk bertahan hidup. Bisa saya bayangkan betapa sakit sebenarnya mereka karena harus melakukan itu. Saya percaya, kalau mereka masih punya alternatif lain seperti pekerjaan yang layak, mereka tidak akan menipu orang lain.

Dalam pikiran naif saya, membohongi orang lain adalah dilarang agama dan tidak dibenarkan secara sosial. Ketika ada orang yang melakukan itu, berarti orang itu sedang khilaf atau kebalikannya, terpaksa. Ada keadaan yang sangat mendesak atau memang karena kemiskinan yang sangat akutlah yang membuat sesorang jadi penipu. Ada rasa kasihan yang hebat dalam diri saya jika saya melihat apa yang mereka lakukan. Alasan itulah yang membuat saya menyumbangnya.

Walaupun, di sisi yang lain saya juga merasa bahwa seharusnya mereka jujur: saya [benar-benar] miskin, maka tolonglah saya. Seharusnya si ibu yang bersimpuh tadi tidak perlu membuat rekayasa berbeda untuk kemiskinannya. Mengapa ia tidak bisa jujur dengan mengatakan bahwa ia benar-benar punya anak dan mereka butuh duit atau pakaian dan tidak membuat versi lain dengan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak punya anak, atau sebaliknya? Tapi kejadian lainnya menunjukkan bahwa bukankah sebenarnya mereka juga sudah melakukan itu, jujur dalam menceritakan kenyataan sebenarnya? Tetapi mengapa versi kemiskinan mereka bisa berubah-ubah? Mengapa mereka harus berbohong? Apakah mereka sedang melakukan pelapisan versi kemiskinannya dengan versi kemiskinan lainnya dan karenanya kita akan kesulitan untuk percaya: benarkah mereka miskin? Disini saya pikir kerumitan manusia itu timbul. Mereka menipu saya, karena mereka [berpura-pura] sangat miskin atau kebalikannya, mereka miskin dan karena itu mereka berpura-pura menipu saya [karena dengan satu dan lain hal, seperti insting, kita sebenarnya bisa tahu apakah yang diomongkannya itu bohong atau jujur].

Mereka melakukan perekayasaan terhadap kenyataan bahwa mereka miskin dengan membuat banyak versi tentang kemiskinannya. Mereka sedang melakukan simulacrum kemiskinan. Penipu itu miskin, maka ia menipu orang dengan versi lain dari kemiskinan yang bisa jadi berbeda dengan yang sebenarnya ia alami. Ia menjual kemiskinan dirinya dan seringkalinya, rekayasa kemiskinan lainnya, untuk menipu orang lain. Pertanyaannya adalah mengapa mereka repot-repot harus menutupi kemiskinannya dengan kemiskinan lainnya, padahal dengan mengatakan yang sebenarnya keadaan mereka, saya pikir, masih banyak orang yang akan bersimpati dan jatuh dalam kekuasaan penderitaannya?

Saya curiga masalahnya adalah hukum ekonomi. Semakin ia berbohong dengan versi lain kemiskinannya semakin mudah ia mendapatkan mangsa dan jika ia jujur ia hanya mendapatkan mangsa yang sedikit. Atau dengan banyak versi tentang kemiskinannya yang bisa ia jual ke orang lain, ia sedang berusaha menutupi kenyataan bahwa ia sebenarnya miskin atau bahwa ketika ia sedang menceritakan versi lain dari kemiskinan ia sedang melakukan katarsis dari kesulitan hidup yang ia jalani. Semacam bahwa masih ada orang lain yang jauh lebih menderita daripada dirinya atau bisa jadi sebaliknya kemiskinannya jauh lebih akut daripada kemiskinan yang sedang ia tipukan ke orang lain.

Lucunya adalah kebanyakan kita juga tahu, terutama yang sering mempergunakan kendaraan umum di Jakarta, bahwa anak-anak muda kumuh, bertato, yang mengatakan bahwa dirinya miskin, tidak punya pekerjaan dan meminta uang adalah benar-benar miskin, tanpa harus dinyakinkan oleh anak-anak muda itu dengan mengatakan dirinya baru keluar dari penjara cipinang, tidak ada yang mau menerimanya bekerja dan sebagainya. Tapi bukankah kita lebih senang memberinya jika ia benar-benar menyakinkan kita, tidak peduli bohong atau jujur, bahwa ia benar-benar miskin dan kita pun senang [atau terpaksa] memberinya. Jangan-jangan orang-orang baik pun lebih senang mendengarkan versi bohong dari kemiskinan seseorang. Sebagaimana juga kita dengan senang hati membelanjakan uang untuk sebuah novel Marquez atau Isabel Allende, demi sebuah kebohongan yang berusaha mati-matian menolak dirinya disebut bohong dengan cara berbohong.

Mengapa mereka nyaman dengan mengatakan sesuatu yang bohong untuk menyatakan sesuatu yang, setiap orang juga tahu, bahwa ia sedang kesusahan [karena ia meminta-minta]. Mungkin harga kesusahan itu berbeda-beda. Jika ia tetap keukeuh dengan versi sebenarnya dari kemiskinannya ia akan menghasilkan hasil yang sedikit, sementara jika ia punya banyak versi tentang kemiskinannya, seperti toko swalayan, ia punya banyak kesempatan untuk mendapatkan mangsa.

Penulis dan penipu sebenarnya berada pada garis yang sama: sama-sama membuat banyak versi tentang sesuatu agar bisa menarik perhatian banyak kalangan. Semakin berkilat versinya semakin banyak orang yang tertarik dengan itu. Inti masalahnya adalah mengapa kita sangat senang dengan bohong dan dengan sangat nyaman menikmati kebohongan atau membiarkan diri kita tenggelam dalam kebohongan?

Saya tahu ada banyak penipu yang caranya menipu tidak dengan menceritakan kemiskinan atau kesusahannya. Ada penipu yang menipu dengan menawarkan kekayaan [sesuatu yang mungkin saja sebenarnya tidak mereka punyai juga] atau mungkin karena bakat. Namun dalam pandangan saya, semua penipu adalah sama, sama-sama “miskin”. Bahkan miskin dalam pengertian ekonomi sekalipun. Bukankah ia membutuhkan uluran tangan kita: uang seribu rupiah, investasi duit, agar dia bisa hidup atau agar usaha [bohongnya] jalan. Penipu, pada intinya, tidak ada bedanya dengan peminta-minta. Bedanya adalah peminta-minta itu ada yang jujur dan ada yang tidak [karena ia akan masuk kategori penipu], sementara penipu mutlak tidak jujur.

Saya akan coba komparasikan dengan contoh lainnya. Jika anda pemilik motor maka anda hati-hatilah jika anda hendak ke arah selatan dan lewat jalan suroto pada hari sabtu atau minggu siang sampai menjelang sore. Ada pemeriksaan oleh polisi. Surat-surat kendaraan yang lengkap pun tidak cukup untuk lepas dari membayar denda [tilang], karena bisa jadi anda lupa memakai helm standar atau melanggar marka jalan atau hendak berbelok di tempat yang tidak seharusnya dan berbagai pertanyaan ‘cerdas’ lainnya dari pak polisi.

Pemeriksaan itu sendiri punya dua versi. Pak polisi merasa bahwa pemeriksaan itu penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial. Dengan memeriksa kelengkapan surat kendaraan, SIM atau kepatuhan pengendara motor pada aturan peraturan yang ada, maka kecelakaan lalu lintas, sebagai pembunuh diam-diam, bisa dikurangi dengan signifikan; selain juga mengantisipasi terjadinya tindakan melanggar hukum lainnya seperti penipuan atau pencurian.

Namun cobalah tanyakan itu pada pengendara motor tujuan mulia diadakannya pemeriksaan itu. Sebagian besar saya kira akan menertawakannya. Biasanya mereka akan melihat bahwa itu adalah semacam “pemerasan”. Cobalah lihat tingkah pengendara motor yang lupa bawa SIM, misalnya, tengak-tengok lihat Dompet: hemh..Cukuplah. Lalu masuk ke pemeriksaan dengan santai. Beberapa pengendara motor merasa bahwa uang yang mereka bayarkan akan jadi milik polisi, karena ada semacam setoran wajib pada oknum pejabat polisi tertentu yang besarnya bersifat kuota. “Itu hanya kerjaan polisi yang butuh duit”. “Mengapa satuan polisi yang baru pulang dari aceh di perbantukan jadi polisi lalu lintas? Karena di sinilah, di jalan raya, duit tercipta dengan mudah. Dalihnya bisa macam-macam dan bisa dicari, contohnya lewat kaya ginian ini”. “yang kaya ginian itu namanya rahasia umum, Mas, berapa sih gajinya polisi itu? Mereka juga bisa memberikan alasan yang masuk diakal. Pemeriksaan polisi biasanya akan sangat intensif menjelang akhir-akhir bulan. Walaupun sudah saya jelaskan bahwa uang tilang itu dibayarkan di bank dan masuk ke dalam kas negara. Semua pengendara motor hanya tersenyum tidak percaya. Apakah polisi menipu, dengan kata lain polisi adalah badan institusi yang miskin sehingga terpaksa harus membuat dalih, versi lain dari kemiskinannya untuk bisa membuatnya hidup atau mungkin saja pengendara motor itu yang terlalu curiga? Karena versi dari polisi perlu konfirmasi lanjutan, saya akan hanya berkubang di versi dan dari sudut pandang pengendara motor.

Para pengendara motor itu tidak terlalu rela memberikan uang tilangnya karena mereka tidak percaya bahwa uang itu akan masuk ke kas negara dan dipergunakan untuk, misalnya, menambal aspal yang bolong. Mereka merasa bahwa itu cuma akal-akalan polisi untuk mendapatkan duit [ini rahasia umum itu]. Posisinya persis seperti saya, tidak terlalu yakin atau tidak pecaya dengan pihak kedua. Bedanya adalah yang satu, melawan hukum, yang satunya lagi dengan aturan hukum dan disahkan oleh negara. Posisi saya ketika ditipu, tidak merasa sedang tertipu, sedangkan pengendara motor itu dari awal sudah merasa bahwa dirinya ditipu. Dalam pandangan pengendara motor, karena merasa bahwa uang tilang itu hanya akan masuk ke kantong oknum-oknum polisi saja, kenapa polisi tidak jujur saja, kenapa harus dikatakan pemeriksaan, kenapa tidak langsung saja dikatakan: hari menyumbang untuk polisi karena kami miskin [lucu juga, tapi sekaligus juga bisa dikatakan tidak akan sukses menjaring duit bukan?]?

Posisi saya adalah posisi yang tidak berdaya karena saya yakin dengan niat para penipu tadi, bahwa orang yang saya bantu itu sangat butuh bantuan, dengan membuat cerita yang bisa menarik simpati dan haru saya dan karena saya juga dipengaruhi oleh aturan sosial, di manapun, bahwa saya bisa dikatakan sebagai orang kejam dan tidak berperasaan jika saya tidak membantunya. Sedangkan posisi pengendara motor dalam posisi yang tidak berdaya sekaligus tidak yakin dengan niat “baik” polisi menyelenggarakan pemeriksaan itu. Mereka seperti masuk ke dalam ruangan yang semuanya adalah pura-pura: ketegasan polisi [bahkan mungkin seragamnya pula], surat-surat yang dicatat dan ditandatangani, sebagus dan semasukakal sekalipun semua penjelasan yang dilakukan oleh polisi. Tapi mereka tidak bisa melawan, semua aturan telah jelas tidak memihak dirinya, ia harus mengeluarkan uang. Mereka pada intinya diperas sekaligus ditipu. Dalam pandangan mereka aksi teater yang dilakukan oleh polisi itu tidak bagus, tetapi mereka tetap harus mengeluarkan uang untuk menontonnya. Kasihan.

Inilah saya pikir potret kita sebagai rakyat Indonesia. Mentah-mentah ditipu oleh sebuah skenario penipuan yang buruk. Tidak ada yang lebih mangkel dari itu bukan? Mending ditipu oleh seseorang yang bisa menunjukkan pada kita bahwa kita tidak ditipu dan bahkan meyakinkan kita bahwa kita sedang melakukan kebaikan dan pahalanya adalah surga daripada ditipu oleh seseorang atau institusi yang jelas-jelas tidak bisa menunjukkan permainan cantik bahwa kita [sebenarnya] sedang ditipu. Bikin sakit hati saja.