Sabtu, 29 Maret 2008

The Kite Runner: Biografi Penebusan



Oleh: Mumu Muhajir

Jangan percaya bahwa dengan melihat film anda bisa tahu latar besar di belakang film itu, tetapi jangan terlalu skeptis bahwa film juga bisa membuat kita mengenal latar besar itu, justru bukan karena “faktanya” namun karena asosiasi pengalaman antara film dengan penontonnya. The Kite Runner [TKR] awalnya tampak seperti film anak-anak biasa dari dataran penuh misteri seperti Afghanistan, tetapi pelan-pelan ia menunjukkan sisi kelam yang hendak ditebus dengan kepolosan.

Seorang anak terpandang, bernama Amir Jan, berkawan dengan seorang Hasan, anak pembantu dan berasal dari suku Hazara. Penyebutan suku ini perlu ditegaskan oleh karena identitas etnislah yang membuat persahabatan itu hancur. Keberadaan Hasan yang Hazara, dalam film ini, tidak pernah digambarkan apa dosanya atau mengapa dia demikian dibenci. Dari Afghanistan kita belajar bahwa di tengah-tengah mayorits suku Pashtun yang berkuasa dan Sunni ada suku lain yang minoritas, Hazara, yang sepertinya selalu berarti seorang Syiah. Bagi banyak suku Pashtun, termasuk Assef, ia berarti cacat, buruk dan karenanya sama sekali tidak punya harga, dan tidak berdosa jika ia, misalnya, disodomi.

Peristiwa yang dilihatnya itu tidak membuat Amir jatuh iba pada Hasan. Sebaliknya ia malah merasa malu dan kemudian membuat konspirasi untuk mengusir Hasan dari rumahnya. Sebagai penonton, saya tidak disuguhi alasan pasti kenapa Amir Jan tega melakukan itu, dibandingkan dengan ketulusan dan keloyalan Hasan dalam membelanya [mencarikan layangan putus, membelanya dihadapan anak-anak pengganggu]. Setelah operasinya berhasil pun, Amir tidak tampak menyesal. Film berjalan sangat datar dan seperti berpihak pada bahwa perlakuan itu “biasa”.

Beberapa kejadian di sekitar Afghanistan atau mungkin Pakistan barangkali bisa menjelaskan itu. Sebagai sebuah bangsa yang ditopang oleh suku-suku yang sering berperang, identitas suku menjadi wajib dijunjung. Kehormatan suku sangatlah penting dan sekuat tenaga dijaga agar tidak tercemar dan membuat suku itu terkena malu. Penegakkan kehormatan itu, misalnya tampak dalam membolehkan perkosaan masal pada saudara perempuan untuk menebus kesalahan saudara laki-lakinya. Bahkan jika saudara perempuan itu membuat “malu”, maka saudara laki-lakinya berkewajiban untuk menghukumnya, bahkan membunuhnya.

Penjelasan ini meringankan sesak dada saya. Bagaimanapun Amir Jan hidup di jaman seperti itu, zaman yang menjunjung kehormatan dan keberanian, sebagaimana tampak dalam disiplin yang diajarkan Ayahnya, yang sebenarnya ‘moderat’. “kelemahan” karenanya seperti kutil yang harus dicabut, disingkirkan. Amir merasa kehormatannya hancur karena pembantu yang membelanya itu “kalah” dan “dinista” oleh “musuh” yang sebenarnya berasal dari suku yang sama dengan dirinya. Ia tidak boleh dekat dengan “kelemahan” karena dalam hal tertentu justru ia sendiri “lemah”. Ia sedang mencoba menipu dirinya bahwa dengan menyingkirkan “kelemahan/Hasan” sama dengan menyingkirnya sifat pengecut dari dirinya.

Tapi film – yang diambil dari novel karya Khaled Khoseini ini – tidak hendak melupakan sesuatu yang harus ditebus oleh orang yang telah melakukan kesalahan. Amir Jan mulai menuai sukses di karir penulisannya di Amerika, tempat migrasinya. Ia sudah lupa dengan semua masa lalunya. Hingga sebuah telpon mengajaknya untuk kembali ke masa lalu, tidak untuk mengoreksinya, tetapi justru untuk membuka jalan ke masa depannya.

Rasa bersalahnya harus ditebus, terlebih ketika tahu bahwa Hasan ternyata adalah saudara tirinya, ia memutuskan pergi ke Kabul – yang waktu itu dikuasai oleh Taliban – untuk mengajak keponakannya pergi ke masa depan, ke tempat lebih baik di Amerika. Penyamarannya terbuka dan sekali lagi masa lalu sebenarnya tidaklah jauh dari dirinya. Orang yang menawan keponakannya dan sekaligus menjadikannya budak nafsunya adalah juga musuh kanak-kanaknya dulu. Di saat terdesak itu pula, seorang Hazara lain berdiri menarik ketepel dan menyelamatkannya.

Barangkali di luar bayangan banyak orang, bahwa ternyata kesalehan yang digembar-gemborkan oleh para Taliban itu, tidak berpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan suku-suku yang ada di Afghanistan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, baik terbuka – atas nama otoritas agama – ataupun tertutup semakin menjadi-jadi. Banyak anak yang kehilangan orang tuanya dijadikan budak nafsu oleh sebagian penduduk Afghanistan sendiri. dan di bawahnya adalah anak-anak dari suku Hazara. Film ini tanpa malu membuka realitas itu. Dan kita nampaknya harus sadar film ini adalah semacam biografi dari seseorang, maka, karenanya, subjektif. Ia juga tidak harus bersusah payah melakukan ‘proses penyeimbangan’, sebagaimana, misalnya dalam dunia jurnalisme, untuk setidaknya membuka apa alasan paling mendasar Taliban menerapkan hukum besinya itu.

Terasa bahwa nafas film ini bergerak pada sesuatu yang baik akan anda dapatkan ketika anda berpaling dari Timur dan menghadapkan sepenuhnya wajah ke Barat. Kampanye ini berhasil. Saya jelas tidak akan mau tinggal di Kabul semasa di bawah otoritas Taliban. Saya jelas akan menyetujui pilihan yang disodorkan oleh Film ini: rengkuhlah Barat. Amir Jan tidak pernah diperlihatkan mendapatkan kesulitan hidup di Negara Amerika itu, termasuk ketika ia dan kolega imigran dari Afghanistan menerapkan cara-cara bergaul dan menikah yang berbeda dengan mayoritas warga lainnya. Ia hidup tenang di sana tanpa terkena masalah seperti saudara-saudara lainnya yang masih bertahan hidup di Afghanistan. Dan justru di San Fransisco inilah tradisi bermain layangan ia perkenalkan kepada keponakannya. Sesuatu yang di masa lalu keponakannya tidak pernah hadir.