Selasa, 19 Februari 2008

Jalan sebagai Penghubung, Jalan sebagai Penghalang: Redefinisikan Kembali Makna Jalan Bagi Anda

Oleh: Mumu Muhajir

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi; jalan mempunyai fungsi untuk menghubungkan tujuan satu dengan tujuan lainnya. Ia menjadi cara orang-orang saling berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya. Jalan memang penemuan manusia yang terlupakan asal usulnya. Siapa yang pertama kali menemukan ide jalan?

Barangkali, jalan terbuka ketika satu individu melakukan perjalanan ke suatu tempat dimana kemudian rute itu diikuti oleh banyak orang. Sehingga orang-orang menunjuk rute itu sebagai “jalan” menuju suatu tempat. Kemudian orang-orang bertambah banyak, suku-suku berpencar saling menegaskan wilayahnya. Tetapi jalan menjadi satu-satunya cara mereka untuk saling berkomunikasi dan melakukan kegiatan tukar menukar dan kemudian jual beli. Jalur sutera, misalnya, sebagai salah satu jalur perdagangan di masa silam, entah siapa yang menemukannya pertama kali. Kita lebih sering menyebutnya sebagai penemuan sebuah suku atau bangsa. Sampai sekarang rute perjalanan itu tetap ada. Di Indonesia, Jalan Anyer-Panarukan jadi legenda tersendiri.

Jalan pada perkembangan mutahir kemudian mengalami modifikasi. Ia tidak hanya menjadi jalur dagang atau pos, tetapi juga menjadi tempat kabel-kabel listrik, telepon, telegraph dibentangkan. Kemudian ia jadi “tetenger”untuk menentukan suatu lokasi. Bahkan ia menjadi simbol sesuatu [Cendana, camp elysee, downing street no 10, dst]. Apapun fungsinya sebagai penghubung tetap tidak berubah. Sepertinya dia menjadi satu-satunya penemuan yang akan demikian seterusnya dan tidak mungkin tergantikan. Ia adalah jalan dan tidak ada yang lain lagi selainnya. Ia mungkin berubah materialnya: jalan setapak ke jalan lebar berbatu, kemudian jalan beraspal terus ke hotmix terus ke tembok [konkret] tetapi maknanya tetap sama: jalur penghubung.

Benarkah demikian? Bagi pengguna jalan atau pelalu lalang, demikian adanya, tetapi bagaimana dengan orang-orang yang berada di kiri dan kanan jalan-jalan itu; apakah jalan tetap dianggap sebagai jalur penghubung? Ada dua penemuan modifikasi jalan yang membelokkan itu: jalan tol dan jalan satu arah.

Perhatikan jalur-jalur tol di Cipularang. Di kiri dan kanan ada persawahan yang dulunya saling terhubung, tetapi dengan adanya jalan tol kemudian terpisah. Banyak petani yang memiliki sawah di seberang tol itu, sehingga dia harus naik pada jembatan penghubung yang tentu saja lebih sulit dilalui dibandingkan dengan jalan di pematang sawah sebelum dipisahkan oleh jalur tol itu. Jalan tol memiliki peraturan tersendiri yang pasti berbeda dengan jalan di pematang sawah: hanya diperuntukkan bagi kendaraan bermotor tertentu dan tidak dimungkinkan orang menyeberang di aspal jalannya. Siapa yang terhubung dengan baik adanya jalan tol ini: orang-orang Jakarta dan bandung.

Jalur tol juga memisahkan kumpulan satu desa di jalan tol Padaleunyi, sehingga ada desa I dan desa II. Karenanya banyak hal harus diredefinisi: nama jalan, perangkat RT/RW, Mesjid Jami beserta perangkatnya, dst. Perhatikan pula jalan tol TB Simatupang. Ada satu ruas jalan panjang [jalan raya kebagusan] yang harus dipotong menjadi dua. Sehingga orang-orang yang dulunya satu rasa di bawah jalan yang sama, kini tidak lagi. Komunikasi tatap muka mau tidak mau harus dilakukan dengan kendaraan yang rutenya harus memutar jauh. Jalan layang terlalu membebani kantong pembuat jalan tol. Jalan kaki hampir tidak bisa dilakukan lagi oleh orang-orang yang kini berada di dua nama jalan yang berbeda. Pernah ada dua Ibu yang bertemu di angkot 17, saling terharu karena jarang bertemu, padahal mereka bersaudara dan berada di jalan yang dulunya tidak terpisah, tetapi sekarang jalan tol menjadikan jarak yang dulunya terasa pendek menjadi terasa jauh.

Hal yang kurang lebih sama terjadi di jalur satu arah. Jalur satu arah memberikan keberanian pada pengguna jalan untuk menggeber laju kendaraannya, sehingga menyeberang jalan sulit dilakukan. Komunikasi antar rumah yang berseberangan berubah karenanya. Bayangkan jika ada orang yang bertempat tinggal di bagian depan jalur itu dan punya kepentingan ke orang di bagian belakang jalur itu. Dia harus memutar atau bahkan, kalau terpaksa, menyusuri pinggiran jalan melawan arus. Jalur satu arah pula merugikan tempat usaha yang berada di sebelah kanan jalan tersebut.

Kedua modifikasi jalan itu memaksa komunitas terkena dampak harus memikirkan ulang segalanya: kebiasaannya, cara komunikasinya dsb. Misalnya dalam menentukan rute perjalanan pulang dan perginya. Di Jakarta ini kejadian seperti ini nampaknya sudah biasa: ruang berubah dan orang-orang harus menyesuaikan diri dengan ruang itu.

Kepercayaan bahwa jalan adalah jalur penghubung, nampaknya harus diperiksa ulang. Jalan ternyata juga menjadi penghalang. Yang teruntungkan dengan jalan tol dan jalur satu arah ternyata hanya pengguna jauh saja, sementara yang hidup di sekitar dua jalur jalan itu, barangkali tidak seberuntung mereka. Mereka harus bergelut, meredefinisi ruang-ruang di sekitarnya yang terus berubah, meredefinisi kebiasaannya, hidupnya, sementara anda yang lalu lalang di jalan itu hanya sekilas saja melihat mereka dari jendela kendaraan anda atau bahkan, mungkin tanpa sengaja, meng-impersonal-kan mereka, hanya jadi kilatan warna di kornea anda.

Minggu, 17 Februari 2008

Buruk Pemasaran Konsumen Dibelah

Mumu Muhajir

Perbincangan mengenai betapa rendahnya minat baca masyarakat kita sudah sangat sering kita dengar. Perbincangan itu biasanya dihubungkan dengan rendahnya rasio antara buku yang beredar dan dibeli dengan jumlah penduduk yang ada; atau betapa kecilnya tiras media cetak kita. Perbincangan itu pastinya akan merambat pula ke masalah betapa televisi telah mematangkan masyarakat kita dari masyarakat dengar pertama ke masyarakat dengar kedua; tanpa pernah melewati tahap masyarakat baca. Kita juga pastinya sudah mafhum dan tentu saja akan masgul, sedih hati dengan kesimpulan macam apa yang lahir dari perbincangan itu. Bahwa kebanyakan masyarakat kita masih miskin yang memandang buku bukan sebagai kebutuhan utama; bahwa buku dipandang terlalu mahal, sehingga sulit dijangkau; bahwa ada “kekurangan di dalam dirinya sendiri”dalam budaya kita, yang tidak bisa mengikuti syarat-syarat tercapainya masyarakat baca (kita memiliki banyak modal social untuk menciptakan, mengukuhkan budaya lisan, namun tidak cukup memiliki modal untuk mencapai budaya baca-tulis); dan sederet bahwa-bahwa lainnya.

Barangkali kemasgulan di atas tidak akan terlalu berat untuk dihela ketika ada segolongan kecil orang-orang terdidik yang bisa menyemai benih budaya baca-tulis. Saya asumsikan bahwa kaum terdidik itu adalah mereka yang pernah mengenyam bangku perguruan tinggi yang jumlahnya lebih kurang 3 persen dari jumlah penduduk kita. Kita andaikan saja ada sepertiganya dari mereka yang minat bacanya cukup baik, maka ada sekitar 2,1 juta konsumen pembaca yang siap sedia menyerap bahan bacaan yang dipasok oleh penerbit dan media massa. Dengan jumlah pasar sebesar itu sebenarnya keadaan penerbit atau toko buku tidak harus mengkhawatirkan seperti saat ini.

Jadi ada dua cara pandang yang bisa dipakai untuk membaca keadaan di atas. Pertama, bahwa ada yang salah dengan kaum terdidik kita dalam melihat posisi buku atau bahan bacaan lainnya. Buku baru dibeli hanya ketika tidak ada kawan yang mau meminjamkannya atau ketika dosennya iseng (mungkin teringat usaha kerasnya ketika harus menyelesaikan PhD-nya di universitas LN) mengharuskannya membaca buku tersebut dan sialnya disertai ancaman pula bahwa buku itu adalah salah satu “kisi-kisi” untuk ujian akhir nanti. Selalu ada tarik ulur yang lama dan melelahkan sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli buku. Entah mengapa pula orang-orang kelas menengah terdidik ini nampaknya masih saja bergidik melihat banderol harga di sampul belakang sebuah buku; padahal untuk mengisi pulsa HP edisi terbarunya (yang katanya penting untuk “komunikasi” itu) sama seperti membuang upil. Sungguh.

Bagi bangsa yang nampaknya sangat nyaman diperlakukan sebagai pasar ini tidak ada sikap yang lebih enak daripada menunggu, menerima, membeli, mempergunakan, menikmati. Dan perguruan tinggi pun mau tidak mau melakukan hal yang serupa, bahkan kalau lagi sial, dijadikan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Hal ini akan sangat berpengaruh pada penciptaan suasana akademis di dalam kampus dan sumber daya manusia yang dihasilkannya.

Buku akhirnya bukanlah barang yang penting dan bisa menunjukkan daya lebih bagi perkembangan karier (kantor dan kemanusiaan) kaum menengah terdidik ini, karena sebenarnya orang-orang pintar kita itu tinggal meniru dan kalau pun salah ada yang dengan senang hati menjewer dan mengajarkan kita bagaimana seharusnya bertingkah laku agar nampak lebih beradab.

Kaum menengah terdidik kita adalah contoh terbaik dari orang-orang yang mangkus dan sangkil dan sungguh buah terbaik dari rasionalitas instrumental: kenapa harus beli buku, tokh bisa pinjam di perpustakaan. Kalau tidak ada? Akh pinjam saja sama kawan, fotokopi bagian yang penting; lagian ngapain sih repot-repot tokh tidak akan keluar di ujian ini.

Senangnya jadi orang Indonesia yang beragama dan tentu saja bertuhan adalah selalu diajarkan bahwa pasti ada hikmah di balik apa yang terjadi; di tengah rundung derita pasti ada suatu harapan; selalu ada untung dibalik buntung kita. Maka mari kita lihat yang kedua.

Tahun 1980-an, Inggris sedang mengalami krisis penerbitan. Banyak penerbitan yang gulung tikar karena rendahnya daya beli masyarakat Inggris kala itu. Krisis itu sebenarnya membuka kenyataan bahwa krisis itu sebenarnya sudah terjadi sejak selesai perang dunia kedua. Hal ini disebabkan karena penerbit Inggris masih konservatif, tertutup dan melihat pasar sebagai sesuatu yang homogen, tidak berubah. Dengan kata lain pelemahan daya beli itu terjadi pada konsumen yang selama ini biasa dilayani oleh penerbit-penerbit Inggris itu; yang secara jumlah makin sedikit dan makin tidak menemukan sesuatu yang baru dalam karya yang dibeli dan dibacanya.

Padahal, demikian penjelasan Bill Buford, seorang editor majalah Granta, pasar buku itu tidaklah homogen. Ada banyak konsumen dengan minat yang berbeda-beda yang menunggu untuk dilayani. Prinsip konsumen adalah ia akan membeli jika ada barangnya. Nah, barangnya ini tidak ada yang disebabkan oleh kejumudan penerbitnya serta tentu saja toko bukunya. Biasanya penerbit atau toko buku selalu bersifat umum, tidak melakukan spesialisasi, sehingga menyulitkan mereka ketika tidak mengetahui dengan jelas pasar mana sebenarnya yang menyerap paling banyak produk yang dihasilkan atau dijualnya. Keumuman itu juga akan sangat menyulitkan mereka ketika harus menerbitkan/menampilkan karya yang cukup baik namun dengan pangsa pasar yang cukup spesifik. Biasanya mereka melakukan self-censorship dengan tidak menerbitkan karya tersebut; bisa dikatakan sebenarnya mereka sedang melakukan bunuh diri pelan-pelan.
Karena bersifat umum, toko buku yang ada di Inggris hanya berjumlah 2500 buah, jumlah yang tidak berubah sejak perang dunia kedua berakhir, sementara Jerman 6000 buah dan Amerika, yang jumlah penduduknya 4 kali lebih banyak dibandingkan Inggris, toko bukunya ada sekitar 16.217 buah. Dengan jumlah yang “terbatas” itu jelas akan sangat menghambat dan menyulitkan konsumen dalam mendapatkan buku yang diinginkannya.

Bill mengajak penerbit dan toko buku Inggris untuk melakukan pencarian pasar baru dengan cara melakukan spesialisasi. Bagi Bill sendiri. Pasar itu sudah ada dan akan hadir hanya sesekali, terutama ketika hadir karya yang diminatinya. Spesialisasi ini akan menumbuhkan cara penulisan baru juga. Cara penulisan baru atau aliran baru penulisan karya (sastra) tentu akan menarik lebih banyak dan lebih beragam konsumen. Dengan cara seperti menerjemahkan karya-karya (sastra, secara khusus Bill menunjuk objek ini) asing, penerbit Inggris dipaksa untuk melihat khazanah di luar negeri yang ternyata juga ada peminatnya di Inggris.

Berkaca dari kejadian di Inggris dua dekade yang lampau, setidaknya bangsa ini mempunyai pasar potensial yang lumayan besar, yang sayangnya belum terlayani dengan baik. Saya tidak tahu apakah itu disebabkan karena penerbitan kita selalu bersifat umum atau mungkin masalahnya adalah adanya satu pasar yang dimasuki oleh terlalu banyak penerbit sehingga melupakan pasar-pasar lainnya dan penerbit-penerbit inilah yang sering mengeluh dan berguguran itu.

Keluhan bahwa surutnya penerbitan dan tidak berjalannya bisnis toko buku di Indonesia disebabkan oleh rendahnya minat baca kaum menengah terdidik kita (saya terpaksa mengarahkannya pada kelas social ini saja, tidak kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan) bisa jadi hanya sekedar dalih akan ketidakmampuan penerbit dalam menemukan dan melayani kebutuhan pasar potensial itu. Dan tentu saja keluhan itu terdengar tidak bijaksana dan seperti melempar batu sembunyi tangan. Alasannya sangat mudah, bagaimana mungkin mereka kaum menengah terdidik kita itu mau mendatangi toko buku jika buku yang mereka cari selalu tidak ada karena penerbit seperti mengikuti sindrom tiru-meniru seperti yang terjadi di media televisi (media yang oleh banyak penerbit dianggap biang keladi makin menurunnya minat baca di Indonesia).

Terakhir, dengan mengikuti kata-kata Bill Buford, satu outlet harus dibuka jika satu jenis karya/penulisan baru/tema baru menemukan pembacanya dan setelahnya biarkan kelanjutan outlet digantungkan pada dukungan para pembacanya itu.

Kamis, 14 Februari 2008

Into The Wild: Odyssey yang Penuh Penyesalan?


Mumu Muhajir

Masih saja kita berpikir, Odyssey berarti perjalanan yang tanpa akhir, seperti melingkar atau tanpa ujung. Perjalanan ini dilakukan karena “rumah” sudah tidak cukup lagi. Dante pun, yang tidak pernah membaca Odyssey-Homer, berpikir demikian. Tetapi tidak demikian dengan Homer. Justru Odyssey melakukan perjalanan pulang dan pergi itu karena dia merindukan rumahnya, termasuk isteri dan anak-anaknya di Ithaca. Perjalanan yang penuh marabahaya, termasuk peperangan dengan mahluk-mahluk aneh dan ganas harus dilaluinya dalam rangka kerinduannya pada kampung halamannya.

Entah yang mana yang ada dalam pikirannya Alexander Supertramp atau nama aslinya Christopher McCandless, seorang anak muda yang tampak baik-baik, dicintai orang tuanya, menyelesaikan kuliahnya tetapi kemudian arah hidupnya bergerak ke arah yang tidak diperhitungkan ke dua orang tuanya. Setelah kuliah, dia memutuskan dana sisa kuliahnya disumbangkan ke Oxfam Amerika, membakar sisa duitnya dan kemudian melakukan perjalanan, lebih tepatnya menggelandang - mbambung dalam bahasa Jawa, dengan tujuan akhir Alaska tanpa pemberitahuan kepada orang tuanya. Dia pergi begitu saja.

Alasan yang [di-]hadir[-kan] dalam film ini adalah interpretasi. Yang selalu diomongkan oleh Alex adalah dia sudah muak dengan masyarakat. Masyarakat baginya sudah sakit, penuh libido kekuasaan. Ia merendahkan nilai uang. Ia merasa cinta murni bisa didapatkan dalam kesendirian atau kalau tidak, dalam persentuhan dengan alam. Ia ingin mencari jalan lain. Adiknya, di sisi lain, bercerita bahwa ini adalah akibat perlakuan kedua orang tuanya dulu; ditambah keduanya bukanlah anak “sah” melainkan “anak jadah”.

Pada awalnya Alex merasa bahwa perjalanan ini tanpa akhir: ia ingin menyatu dengan alam. Tetapi berbagai pertemuan dengan orang-orang ternyata menyadarkannya: ia dicintai orang-orang itu dan mereka mengharapkan dia pulang. Kekerasan hatinya untuk tetap pergi ke Alaska, bersatu dengan alam, akhirnya adalah perjalanan sementara. Setelah dari sana ia akan “pulang”, walaupun tidak jelas rumah siapa yang akan didatanginya: kedua orang tuanya, anak gadis gipsi itu atau seorang tua yang hendak mengangkatnya anak.

Tetapi “alam’ menghalangi pertemuan itu. Dia terjebak. Tanpa makanan dan tubuhnya sudah terkena racun. Ia seperti sedang menunggu waktu. Sean Penn, sutradara, nampaknya punya versi sendiri: MaCandless merasa terkhianati dengan perjalanan ini. Ia menunjukkannya dengan kenyataan bahwa Leo Tolstoys, salah satu tokoh yang bukunya selalu dia baca selain Thoreu dan Jack London, ternyata dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa kebahagian itu dia raih dengan membangun keluarga, beristri dan beranak dan tinggal di pedesaan sunyi dimana kebahagiaan dibagi dengan tetangga-tetangganya. Di ujung kesepiannya, MaCandless menulis bahwa kebahagiaan itu baru tampak setelah di bagi. Dia tidak bisa independent. Dan di ujung penyesalan itu dia meninggal.

Walaupun ini biografi seseorang, tetapi nampaknya MaCandless tidaklah banyak meninggalkan catatan perjalanannya, terutama ketika dia berminggu-minggu di Magic Bus di Alaska, tempat dimana secara emosional dan pemikiran MaCandless mengalami pergeseran akan makna perjalanannya. MaCandless hanya meninggalkan catatan-catatan pendek, satu dan beberapa kalimat aja, yang diurut berdasarkan harinya. Ia menulis “puisi” bukan “prosa”. “puisi “ itu sendiri nampak di torehan kayu, di buku-bukunya dan di ikat pinggangnya.

Karena “puisi’ pula nampaknya Sean Penn punya versi interpretasi sendiri, dimana bahkan di ujung kematiannya ia menggambarkan MaCandles kembali lagi ke orang tuanya. Hubungan antara MaCandless sendiri sebenarnya tidaklah jelas. Tidak jelas ini dalam arti bahwa MaCandless tidak pernah, dengan mulutnya sendiri, bersikap akan orang tuanya. Hubungan antara dirinya dengan orang tuanya lebih bayak didasarkan pada penuturan adiknya atau dari percakapan dirinya dengan orang-orang lain, terutama dengan isteri gipsi. Nampaknya Sean Penn mencoba untuk bertenggang rasa dengan perasaan orang tuanya.

Justru di sini masalahnya. Perjalanan MaCandless akhirnya jatuh pada “kegenitan” anak muda mencari kebahagiaan, untuk tidak mengatakan bahwa “hei, kamu salah kalau kamu berlaku seperti itu…” Dengan menggambarkan MaCandless “menyesal” dengan perjalanan yang dilaluinya di ujung mautnya, dia telah dengan sengaja memudarkan semangat awal kenapa MaCandless melakukan ini semua, termasuk membiarkan dirinya hidup tanpa uang dan hanya berjalan terus. Dua fakta keras yang ditelikung bayangan Sean Penn. Karena juga: “benarkah demikian?”

Sean Penn, nampaknya sedang berdiri di sisi orang tua, di sisi konservatif, di sisi dimana anak-anak adalah “conveyor belt” dari generasi sebelumnya, di sisi dimana semangat pemberontakan anak muda hanyalah “kegenitan sesaat” dan karenanya “dangkal” dan harus disesali dan dihindari. Ini tentu saja mengherankan, karena Sean Penn justru terkenal sebagai Bad Boy-nya Hollywood.

Tetapi tentu saja ini hanya interpretasi saya dan tentu saja dari sebuah puisi akan lahir beragam interpretasi.

Selasa, 12 Februari 2008

99 Tatal Sucinya GM

Buku ini mengenai perbandingan. Si penulis berada di tengah dan sedang menimbang apa dan mana yang Timur dan Barat. Kadang di satu waktu ia melihat persamaan, misalnya ketika membahas Tajalli/Ephipani atau soal kerakusan akan kuasa. Di jeda yang lain, ia melihat perbedaan, biarpun tampak sedikit sekali diulas. Ia, yang telah melanglang buana di lautan pengetahuan akhirnya selalu akan menemui persamaan dan bukannya perbedaan. Mungkin ia sedang atau ingin menjadi seorang perennialis.

Sepertinya, di saat pilihan hanya ada dua: sama atau berbeda, ia tiba-tiba muncul dengan pilihan lain yang bukan dua itu. Ia muncul dengan sebuah “sintesa”, sebuah jembatan lain. Jembatan ini kadang harus dia bangun dengan terlebih dahulu berpihak pada satu kutub lalu dengan cepat mengelak di-kubu-kan di satu sisi itu dan muncul dengan bahan-bahan wacana baru. Kadang cukup dengan menolak dua kutub itu dan dengan sigap berpegangan pada tangga yang lain.

Judul: Tuhan dan hal-hal yang Tak Selesai
Pengarang: Gunawan Muhammad
Penerbit: KataKita, 2007

Sabtu, 02 Februari 2008

Mencari Jalan ke Ruang Kota

Oleh: Mumu Muhajir

Manusia pada awalnya memang membangun banyak bangunan, menggelar jalan, membuat jembatan, membangun kotanya, namun setelah semuanya ada, manusia berbalik menjadi ditentukan oleh bangunan yang ada, jalan yang ada, jembatan yang ada dan kota yang didiaminya. Prosesnya mungkin tidak kentara dan berjalan dengan sangat subtil. Ia nampak ketika ada seseorang yang datang dari desa yang tergagap-gagap, mungkin mengkerut nyalinya ketika harus masuk ke sebuah gedung megah dengan arsitektur modern, ber-lift, pintu masuk otomatis, ber-AC dan ada satpamnya. Pada saat itu ruang menentukan siapa-siapa saja yang layak mendiaminya. Sebuah bangunan kemudian menjadi mandiri, dengan tanda-tanda sendiri yang sangat pejal untuk dipecahkan oleh individu.

Bukankah selalu ada kawasan elit dan kawasan kumuh di setiap kota? Apakah mereka diciptakan atau terberikan begitu saja? Lalu bagaimana tanggapan warga kotanya melihat kedua kawasan itu? Kita dengan sangat mudah mengidentifikasi orang dengan melihat alamat rumahnya. Penduduk di kampung Badran bisa dijadikan contoh. Sudah sering penduduk dari daerah ini yang ditolak kalau hendak berobat di rumah sakit di Yogyakarta, semata-mata karena seringnya penduduk kampung Badran yang kabur tidak membayar biaya pengobatannya. Bisa saja karena mereka miskin atau memang jahat.
Apalagi ketika kota berevolusi dengan cepat, mendandani diri demi satu tujuan yang, barangkali, hanya kota sendiri yang tahu. Dia mengatur: becak hanya boleh berjalan di jalur jalan tertentu; yang hal itu akan banyak mempengaruhi banyak orang, termasuk tukang becaknya. Ia mungkin akan merasa disisihkan; ia mungkin akan merasa bersalah, terutama kepada teman-teman seprofesinya, ketika melewati jalur jalan yang seharusnya tidak ia lewati, ternyata ia mendapatkan penumpang; ia mungkin akan marah, tapi marah kepada siapa? Semuanya telah ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya, kehidupannya hanya ditentukan oleh dua tanda: lingkaran merah dengan tanda becak ditengahnya dan satunya lagi persis seperti yang pertama namun ditambah satu garis silang merah dari kiri bawah ke kanan atas. Begitu juga bagi para konsumennya. Dia harus menghitung ulang semuanya: gaya hidupnya, keuangannya dan seterusnya.

Perubahan dalam hal jual beli dari pasar tradisional yang kotor, kumuh ke toko biasa dengan bangunan semen, kemudian supermarket dengan sistem swalayannya terus ke sistem mal atau plaza dengan one stop shopping-nya serta obsesinya menghadirkan sebuah ruang publik di ruang tertutup. Berubah pulalah perlakukan terhadap barang dan orang. Dari proses tawar menawar yang mengindikasikan terjadinya persentuhan manusiawi ke proses di mana kosumen dibiarkan sendirian menghadapi langsung barang-barang dan kekuasaan tanda di baliknya, namun ia tidak punya kuasa sama sekali terhadap harga barang. Dengan sistem belanja yang terakhir ini ia memang mendapatkan kompensasinya: udara segar dari pendingin udara, lantai yang bersih, berbagai pilihan barang, kantong pembungkus barang belanja eksklusif bertanda toko yang barusan dibelanjainya. Di sela-sela rak-rak barang itu ia seperti mendapatkan kepercayaan, seperti dipercayai, padahal sebenarnya nisbi karena ia juga tahu ada kamera pengaman ditiap sudutnya dan pelayan yang berpura-pura menjadi pembeli yang mengawasinya, tidak percaya.

Struktur-struktur ruang mengatur kesadaran manusia akan bagaimana ia bertingkah laku. Bukan ruang yang mengikuti keinginan manusia, namun ruanglah yang menentukan perilaku manusia yang mendiaminya. Tindakan-tindakan individu hanya bisa berlaku berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang telah disediakan oleh struktur ruang yang ada. Memakai sandal jepit ke sebuah plaza, pada dasarnya sah-sah saja, tapi dengan sendirinya individu itu akan menyeleksi dirinya sendiri untuk tidak memakai sandal jepit murahan, setidaknya ia harus memakai sandal jepit dengan merk yang sepadan dengan apa yang diinginkan oleh ruang-ruang dalam plaza itu. Struktur ruang kota menciptakan individu-individu yang selalu merasa bersalah dengan dirinya sendiri, terus-menerus membiasakan mereka untuk melakukan self censorship terhadap tubuhnya, perilakunya dan kerangka berpikirnya.

Di sisi yang lain, struktur ruang yang ada banyak dipergunakan oleh individu-individu untuk menunjukkan identitasnya atau identitas apa yang ingin orang-orang lihat dari dirinya. Tiap individu, tanpa terkecuali, bisa memasukinya. Bisa jadi ada “ruang publik” dalam pengertian Habermasian di sana. Tetapi batasan yang diberikan struktur ruang bagi pemaknaan ulang adalah sangat sempit, bahkan ruang kota bisa menjadi sangat diskriminatif bagi kalangan warga tertentu.

Struktur ruang itu bersifat virtual dan tetap, ia tidak bisa dinegosiasikan. Ia hanya bisa direkonstruksi. Ruang, dalam pengertian Lefebvre, tidak pernah bersifat netral, ia selalu bersifat politis. Ia terlihat netral karena ia ditinggali dan digunakan dan karena ia merupakan fokus arena dari proses-proses pada masa lampau yang jejaknya tidak selalu bisa dilihat pada lanskap yang ada sekarang.

Kota yang berubah sebenarnya mengindikasikan adanya perubahan pada kesadaran warganya. Ditentukan oleh siapa adalah masalah lain. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, budaya pada sebuah masyarakat tercermin pada wujud-wujud bangunan yang ada di kota itu atau mungkin juga mengikuti pola perubahan sosial yang dominan, sehingga sebuah konstruksi bangunan tidak bisa dilepaskan dari proses sosial dan artistik di mana makna-makna dikaitkan dengan bentuk ruang. Sebuah bangunan karenanya tidak bisa hanya dilihat dari fungsinya saja, tapi harus dilihat pula dari sisi asosiatifnya dan komunikatifnya dengan masyarakat di sekitarnya.

Bahwa disini saya secara sadar melihat bahwa perubahan kota dan bangunan didalamnya merubah tingkah laku sosial masyarakat penghuninya. Individu terus menerus dipaksa untuk merubah kesadarannya, tingkah lakunya bahkan seleranya mengikuti perubahan ruang kotanya. Struktur ruang baru akan memecah tata sosial yang ada, kemudian akan direkontruksi lagi mengikuti struktur ruang yang telah menciptakannya. Banyak yang disisihkan tapi banyak juga yang bisa menyesuaikan diri. Kalau dulu manusia pandai menyesuaikan diri dengan perubahan yang berasal dari alam, sekarang nampaknya manusia harus kembali menyesuaikan diri dengan ruang-ruang yang diciptakan oleh tangannya sendiri. Saya tidak tahu apakah ini yang menyebabkan terjadinya alienasi pada manusia kota. Kalau memang benar seperti itu, maka alienasinya berganda. Manusia kota adalah manusia yang tidak merdeka, ia adalah hasil karya struktur ruang kotanya.

Semoga saya sedang tidak mengikuti ilmu sosial reduksionis, yang selalu terpukau akan adanya sebuah hal yang menentukan banyak hal. Bahwa bagi saya masalahnya bukanlah faktor mana yang paling menentukan faktor mana lainnya, tapi bahwa kekuasaan tidaklah tetap, memusat; ia selalu memecah, menyebar, me-mikri diri, berlapis-lapis, seperti, kata Foucalt, lapisan bawang. Kesadaran akan adanya permainan kekuasaan itu, saya pikir yang paling penting. Individu akan sangat sulit mengalahkan ruang-ruang kotanya; tetapi juga tidak selamanya ruang kota berdiri tanpa terkalahkan.

Bagaimana individu menanamkan image pada sebuah ruang yang kemudian menjadi image bagi banyak orang? Bagaimana proses yang dilakukan oleh para individu, yang fakir secara budaya dan finansial, dalam menyikapi makna-makna yang melekat pada ruang-ruang kota yang melingkupinya? Bagaimana mereka bertahan? Mengapa ada sebuah jalan yang dianggap istimewa? Siapa yang menentukan bahwa ia istimewa? Adalah sedikit pertanyaan yang membutuhkan banyak penjelasan, setidaknya buat saya.