Kamis, 14 Februari 2008

Into The Wild: Odyssey yang Penuh Penyesalan?


Mumu Muhajir

Masih saja kita berpikir, Odyssey berarti perjalanan yang tanpa akhir, seperti melingkar atau tanpa ujung. Perjalanan ini dilakukan karena “rumah” sudah tidak cukup lagi. Dante pun, yang tidak pernah membaca Odyssey-Homer, berpikir demikian. Tetapi tidak demikian dengan Homer. Justru Odyssey melakukan perjalanan pulang dan pergi itu karena dia merindukan rumahnya, termasuk isteri dan anak-anaknya di Ithaca. Perjalanan yang penuh marabahaya, termasuk peperangan dengan mahluk-mahluk aneh dan ganas harus dilaluinya dalam rangka kerinduannya pada kampung halamannya.

Entah yang mana yang ada dalam pikirannya Alexander Supertramp atau nama aslinya Christopher McCandless, seorang anak muda yang tampak baik-baik, dicintai orang tuanya, menyelesaikan kuliahnya tetapi kemudian arah hidupnya bergerak ke arah yang tidak diperhitungkan ke dua orang tuanya. Setelah kuliah, dia memutuskan dana sisa kuliahnya disumbangkan ke Oxfam Amerika, membakar sisa duitnya dan kemudian melakukan perjalanan, lebih tepatnya menggelandang - mbambung dalam bahasa Jawa, dengan tujuan akhir Alaska tanpa pemberitahuan kepada orang tuanya. Dia pergi begitu saja.

Alasan yang [di-]hadir[-kan] dalam film ini adalah interpretasi. Yang selalu diomongkan oleh Alex adalah dia sudah muak dengan masyarakat. Masyarakat baginya sudah sakit, penuh libido kekuasaan. Ia merendahkan nilai uang. Ia merasa cinta murni bisa didapatkan dalam kesendirian atau kalau tidak, dalam persentuhan dengan alam. Ia ingin mencari jalan lain. Adiknya, di sisi lain, bercerita bahwa ini adalah akibat perlakuan kedua orang tuanya dulu; ditambah keduanya bukanlah anak “sah” melainkan “anak jadah”.

Pada awalnya Alex merasa bahwa perjalanan ini tanpa akhir: ia ingin menyatu dengan alam. Tetapi berbagai pertemuan dengan orang-orang ternyata menyadarkannya: ia dicintai orang-orang itu dan mereka mengharapkan dia pulang. Kekerasan hatinya untuk tetap pergi ke Alaska, bersatu dengan alam, akhirnya adalah perjalanan sementara. Setelah dari sana ia akan “pulang”, walaupun tidak jelas rumah siapa yang akan didatanginya: kedua orang tuanya, anak gadis gipsi itu atau seorang tua yang hendak mengangkatnya anak.

Tetapi “alam’ menghalangi pertemuan itu. Dia terjebak. Tanpa makanan dan tubuhnya sudah terkena racun. Ia seperti sedang menunggu waktu. Sean Penn, sutradara, nampaknya punya versi sendiri: MaCandless merasa terkhianati dengan perjalanan ini. Ia menunjukkannya dengan kenyataan bahwa Leo Tolstoys, salah satu tokoh yang bukunya selalu dia baca selain Thoreu dan Jack London, ternyata dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa kebahagian itu dia raih dengan membangun keluarga, beristri dan beranak dan tinggal di pedesaan sunyi dimana kebahagiaan dibagi dengan tetangga-tetangganya. Di ujung kesepiannya, MaCandless menulis bahwa kebahagiaan itu baru tampak setelah di bagi. Dia tidak bisa independent. Dan di ujung penyesalan itu dia meninggal.

Walaupun ini biografi seseorang, tetapi nampaknya MaCandless tidaklah banyak meninggalkan catatan perjalanannya, terutama ketika dia berminggu-minggu di Magic Bus di Alaska, tempat dimana secara emosional dan pemikiran MaCandless mengalami pergeseran akan makna perjalanannya. MaCandless hanya meninggalkan catatan-catatan pendek, satu dan beberapa kalimat aja, yang diurut berdasarkan harinya. Ia menulis “puisi” bukan “prosa”. “puisi “ itu sendiri nampak di torehan kayu, di buku-bukunya dan di ikat pinggangnya.

Karena “puisi’ pula nampaknya Sean Penn punya versi interpretasi sendiri, dimana bahkan di ujung kematiannya ia menggambarkan MaCandles kembali lagi ke orang tuanya. Hubungan antara MaCandless sendiri sebenarnya tidaklah jelas. Tidak jelas ini dalam arti bahwa MaCandless tidak pernah, dengan mulutnya sendiri, bersikap akan orang tuanya. Hubungan antara dirinya dengan orang tuanya lebih bayak didasarkan pada penuturan adiknya atau dari percakapan dirinya dengan orang-orang lain, terutama dengan isteri gipsi. Nampaknya Sean Penn mencoba untuk bertenggang rasa dengan perasaan orang tuanya.

Justru di sini masalahnya. Perjalanan MaCandless akhirnya jatuh pada “kegenitan” anak muda mencari kebahagiaan, untuk tidak mengatakan bahwa “hei, kamu salah kalau kamu berlaku seperti itu…” Dengan menggambarkan MaCandless “menyesal” dengan perjalanan yang dilaluinya di ujung mautnya, dia telah dengan sengaja memudarkan semangat awal kenapa MaCandless melakukan ini semua, termasuk membiarkan dirinya hidup tanpa uang dan hanya berjalan terus. Dua fakta keras yang ditelikung bayangan Sean Penn. Karena juga: “benarkah demikian?”

Sean Penn, nampaknya sedang berdiri di sisi orang tua, di sisi konservatif, di sisi dimana anak-anak adalah “conveyor belt” dari generasi sebelumnya, di sisi dimana semangat pemberontakan anak muda hanyalah “kegenitan sesaat” dan karenanya “dangkal” dan harus disesali dan dihindari. Ini tentu saja mengherankan, karena Sean Penn justru terkenal sebagai Bad Boy-nya Hollywood.

Tetapi tentu saja ini hanya interpretasi saya dan tentu saja dari sebuah puisi akan lahir beragam interpretasi.