Senin, 27 Oktober 2008

ALice

Melihat film ini mengingatkan saya pada Fado - genre musik "khas" Portugal yang mendayu-dayu, melankolis walau tidak berisi kecengengan. Dari Mariza, aku tahu bahwa sedih tidak harus menjadi cengeng dan patah. Ia juga berarti penghargaan pada perasaaan yang dimiliki oleh manusia. Konon, Fado ini tercipta ketika perempuan/laki-laki Portugal berdiri di pinggir pantai mengingat saudara/suami mereka yang sedang melakukan misi perjalanan jauh ke Timur. Ini bukan hanya tentang kesedihan ditinggalkan seseorang; ini juga tentang harapan akan sesuatu yang entah yang tetap harus dipertahankan. Istri/saudara itu tidak tahu apa yang terjadi dengan kisah mereka di negeri Timur. Mereka menunggu, memupuk harap.

Kisah di Film Alice aku tangkap seperti. Kehilangan anak memang menyedihkan - sangat - apalagi anak itu hilang begitu saja. Ratusan hari dilalui oleh Mario - ayah sang gadis - dengan ritus yang sama, ritus saat Alice menghilang: hanya tidak ingin melewatkan sebuah momen hilang; berharap ada sesuatu yang datang. Mario berbeda dengan sang istri yang lebih baik menekuni kesedihannya dan tenggelam di dalamnya. Mario lebih merasa bahwa ia suatu saat bisa menarik kelinci dari lubang tertentu.

Dan "kelinci" itu datang; sayang bukan untuknya. Ia kecewa dengan apa yang dilakukannya. Ia tidak lagi harus mengganti tiap hari kaset video yang ia pasang di sudut-sudut tempat dimana hari ketika Alice hilang dilalui oleh mereka. Dan ketika didasar terdalam dari sedih [dengan istri yang terbaring akibat bunuh diri yang gagal], kita, yang berharap terbaik untuknya, melihat [mungkin] Alice yang sudah berubah. Mario sempat melihatnya, ragu, tapi ia membiarkannya. Kalau saja ia mau berusaha mencari lubang lain, mungkin kelinci akan bisa di....

Tapi memang harapan ada batasnya. Dan jika sudah ada di sana, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Selasa, 14 Oktober 2008

Longsor-kah Kamu?

Ada banyak hal bisa membuatku “longsor” tiga kejadian pagi ini misalnya. Seorang gadis muda didoakan tantenya agar dapat cepat dapat kerja dengan sedikit keluhan: ”mencari kerja jaman sekarang ini gak gampang!” lalu si tante membayari ongkos angkotnya. Di angkot kosong-dua, 7 anak muda tanggung masuk, masing-masing membawa kantong kresek biru besar. Isinya barang dagangan: dompet plastik, gunting kuku, penutup HP, dll. Seseorang diantaranya berkata:”nah kan kau bisa ngasih istrimu uang belanja” entah pada siapa, tapi terasa pada jantungku. Di angkot lima-belas, si keponakan nawarin pekerjaan sekali sebulan ke tantenya: menginap di rumah kaya entah di perumahan Yasmin. Lalu meloncat ke keinginan salah satu anak tantenya yang ingin “mandiri”. Si keponakan bilang:”ya, dicoba dulu. Kalau udah punya keluarga mah emang harus mandiri.” Dia kemudian bayarin ongos angkot tantenya.

GM bilang di Caping minggu ini[[34/XXXVII 13 Oktober 2008]: ”Lihat, tanganku di dekat akar rumput. Lebih banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak ketimbang yang bisa kau rengkuh.” Konteks yang dibicarakan GM mungkin berbeda, tapi aku merasa terwakili.