Jumat, 20 Juni 2008

Tentang Kaum Elit

Oleh: Mumu Muhajir

Dalam sebuah acara di sebuah stasiun TV yang membahas perkembangan seni-budaya di Jerman [Art 21], seorang penulis meluncurkan sebuah buku tentang kaum elit. Diceritakan salah satu pangkal dari adanya kaum elit ini atau keinginan untuk menjadi elit ini buah dari pendidikan bisnis yang elit. Elit dalam arti yang bisa masuk ke sekolah itu serta tempatnya. Sebuah pendidikan bisnis di Jerman hanya menerima siswa dengan kemampuan alademik tertentu yang tinggi, kemudian menerima pengajaran yang juga elit, melakukan kegiatan ekstrakurikuler yang berbeda dengan kebanyakan pendididkan bisnis lain yang ada di Jerman dan bahkan Eropa. Cara pendidikan seperti ini kemudian melahirkan manajer-manajer bisnis yang merasa, awalnya, ”berbeda”, kemudian ”istimewa” dan lantas ”berada di atas segalanya”. Pada posisi terakhir ini dia merasa berhak melakukan segala sesuatu atas nama ”selainnya”.

Memang yang sedang jadi sorotan dalam buku itu adalah mengenai bobroknya para manajer di perusahaan-perusahaan besar yang tega meraup keuntungan dengan cara menyengsarakan orang lain. Kejadian Enron, Socgen dst menjadi latar fakta yang mengerikan. Para eksekutif tega memanipulasi keuangan perusahaannya demi menaikkan harga jual saham mereka sendiri atau melakukan transaksi keuangan yang tujuan utamanya adalah naiknya – senaik-naiknya – komisi mereka. Ketika mereka dipecat atau mengundurkan diri, mereka justru mendapatkan kompensasi yang luar biasa besar, dan sebaliknya meninggalkan ribuan karyawannya yang kehilangan pensiun dan masa depannya.

Bersama dengan perjalanan waktu evolusi manusia, tampaknya ada pertentangan yang tidak pernah selesai: pemimpin dan pengikut. Pemimpin diasosiakan dengan kelebihan dalam hal kecerdasan, kekuatan sementara pengikut punya kekurangan dua hal itu. Di jaman modern pertentangan itu masih berlangsung, dengan definisi yang berubah-ubah.

Dalam hal bisnis, pertentangan itu antara yang kompetitif dan tidak. Pengikut adalah mereka yang tidak kompetitif. Mereka dalam hal tertentu adalah budak dari pemimpin [yang lebih kompetitif]. Sifat sejatinya itu bisa dikuasai atau dipelajari oleh siapa saja dan menjadi cara bertahan hidup di jaman ini; karena itu pula – berbeda dengan atribudi kepemimpinan masa lalu yang banyak berlangsung lewat keturunan – konflik berlangsung lebih keras. Sifat dan sikap kompetitif itulah yang dipelajari di sekolah-sekolah elit.

Awalnya adalah dengan mengatakan bahwa mereka istimewa, ”berbeda” dengan ”kebanyakan” orang; karena itu harus bersikap dan bersifat istimewa demi mendapatkan keuntungan yang istmewa pula dan pada akhirnya, perlakuan-perlakuan istimewa. Perasaaan berbeda ini pula yang menyebabkan empati meluntur kalau tidak mau dikatakan menghilang di kalangan manajer ke atas. Itulah sebabnya ketika ribuan karyawan Enron bergelimpangan tanpa kerjaan, tanpa kompensasi yang memadai, COO, CEO Enron malah sudah mendapuk untung jutaan dolar dan bahkan kompensasi yang tidak masuk akal.

Dalam kadar yang berbeda dan dalam situasi dan kondisi yang berbeda, saya pernah merasakan hal itu: masuk ke sekolah elit, setidaknya setingkat kabupaten dan terus sampai masuk ke tingkat perguruan tinggi favorit. Di awal pendidikan, perasaan kebanggaan diri itu ditanamkan. Kita adalah mahluk terpilih. Punya keistimewaan. Berbeda. Untung saja, lingkungan sekolah saya tidak terpisah dari masyarakat, begitu juga tempat tinggal selama sekolah. Walalupun, terus terang, perasaan elit kadang-kadang muncul juga.

Saya bayangkan apa yang terjadi dengan sistem-sistem pendidikan elit yang mulai menjamur di sini : apakah ada kontribusi mereka terhadap kemunculan para megalomania ini. Saya harap tidak. Walaupun tidak ada data yang pasti. Memang saya sering ketemu dengan mereka yang lulusan pendidikan elit ini. Perasaan bangga diri sering terlihat, tetapi ’empati” yang meluntur jarang saya temui.

Sayang sekali saya belum pernah membaca laporan-laporan penelitian di Indonesia tentang kontribusi sekolah-sekolah elit ini pada tumbuhnya megalomania tanpa empati itu. Saya tidak tahu apakah tindakan kekerasan, misalnya di STPDN, berawal dari sistem pendidikan yang ”menutup”, ’elit” itu? Saya tidak berharap, sistem pendidikan berasrama elit itu malah menciptakan orang-orang yang kompetitif, pekerja keras, pintar tetapi kehilangan empati pada yang ”lain”. Ini tentu sekedar harapan.