Jumat, 04 April 2008

The Diving Bell and the Butterfly: Penebusan Lewat Bahasa


Oleh Mumu Muhajir

Beberapa sutradara hebat selalu bisa menonjolkan visinya dalam film-film yang dibuatnya. Spike Lee, misalnya, dalam film-filmnya hampir selalu berbicara mengenai identitas, pertaruhan identitas, dan perjuangan akan identitas, sementara Alejandro Gonzales in Arritu, nampaknya selalu percaya pertautan di antara serpihan-serpihan kecil peristiwa, betapun tragisnya jadi jembatan komunikasi antar manusia. Julian Schnabel juga rupanya punya visi yang selalu tampak dalam 3 film yang dibuatnya: Basquiat, Before Night Fall serta yang paling baru The Diving Bell and the Butterfly. Ketiganya selalu menunjukkan, setidaknya di mata saya, akan perjuangan ke luar dari batas-batas kesakitan manusia atau menelikung kesakitan manusia lewat seni: lukisan, sastra dan kata-kata; dengan kata lain, imajinasi. Ia nampaknya selalu percaya kegigihan manusia untuk melewati batas-batasnya bisa tercapai dengan imajinasi dan ingatan.

Ini yang tampak dalam film The Diving Bell and the Butterfly [TDBTB]. Dengan setting di Perancis, film ini bercerita tentang perjuangan seorang editor majalah Elle, Jean-Dominique Bauby atau dikenal Jean-Do, keluar dari penjara tubuhnya yang tiba-tiba lumpuh terkena stroke. Perjuangan itu, entah kenapa, dilakukan lewat kata-kata, karena ingatan dan imajinasinya saja yang tidak lumpuh. Lewat bantuan terapis bicaranya, ia melambungkan harapan akan kesembuhannya dengan mewujudkan impiannya dulu: membuat versi modern dari karya Alexander Dumas: The Count of Monte Cristo. Dalam usahanya itu, ia semakin menyadari ada kesamaan antara dirinya dengan tokoh utama di karya masterpiece itu: berjuang keluar dari kelumpuhan, betapapun berat dan absurdnya, tetap lebih baik daripada diam dan pasrah.

Dengan kedipan matanya ia memilih huruf-huruf untuk dirangkaikan menjadi kata-kata dan selanjutnya jadi kalimat yang memungkinnya merasa bisa mendobrak penjara tubuhnya itu. Dalam banyak hal, dengan melakukan seperti itu, Ia berhasil meraih sesuatu atau bangkit dari kehancuran jiwanya. Keberhasilan menulis selama lima jam nonstop menerbitkan optimismenya, bukan hanya bangkit dari kelumpuhannya, tetapi juga menjadi manusia baru. Tetapi tetap saja ada harapan atau keinginan yang tidak mungkin dicapainya: membelai rambut anak-anaknya, atau keinginan menyalurkan kebutuhan biologisnya. Untuk kedua hal ini ia hanya bisa bersedih.

Tak sulitlah untuk percaya, bahwa kesedihan mendekatkan manusia pada kebijakannya. Jean Dominique, di tengah penjara dan kesunyiannya semakin menyadari ada banyak kesalahan dan penyesalan di masa lalunya yang sedikit tidaknya punya kontribusi pada kelumpuhannya sekarang. Ia punya kekasih lain yang sangat dicintainya, tetapi tidak pernah sekalipun menjenguknya, karena hanya akan membuatnya lebih hancur; dan pada saat yang sama sebenarnya ia sudah punya tiga anak dari kekasihnya sekarang, yang keduanya mencintainya sepenuh hati.

Tetapi di luar plot dan percakapan cerdas dan penuh humor, khas film Perancis atau Eropa pada umumnya, ada keistimewaan film ini, pengambilan gambar dari sudut mata kiri Jean Dominique yang terbaring diam. Kamera selalu diam menyorot ke depan, terbatas dan actor-aktor pendukung lainlah yang membantunya bergerak dinamis. Ia mendatangkan kediaman [stillness], yang cukup untuk menggambarkan penjara tubuh Jean-Do. Buram kamera menunjukkan air mata sedih Jean, kamera yang hanya menangkap nakal belahan dada atau paha perempuan-perempuan Jean-Do, menyimpan magma yang tidak mungkin keluar.

Kamera baru menangkap lanskap yang lebih luas ketika Jean sedang berimajinasi atau sang sutradara sedang ingin menghubungkan harapannya dengan harapan orang lain. Ia seperti sedang ingin mengajak orang – penonton – untuk larut dalam penderitaan Jean dan kemudian bangkit bersamanya. Gambar-gambarnya pun pada awalnya sangat dekat, pendek, muram dan mendatangkan depresif tetapi pelan-pelan seiring dengan mulai hidupnya harapan dalam diri Jean, gambar-gambar meluas, berwarna-warni. Ingatan masa lalunya demikian berwarna. Ia semakin sadar pula, banyak orang disekelilingnya yang mencintainya dan mendoakan dia sembuh.

Tetapi apakah Jean berharap sembuh? Pasti ada. Termasuk juga harapannya bahwa perjumpaannya dengan “spiritualitas”, biarpun pada awalnya ia skeptis dan hadir dalam bentuk yang naïf, ketika di Lourdes, bisa membantunya untuk menebus kelumpuhannya sekarang. Namun yang dimunculkan lebih banyak dalam film ini bukanlah itu, justru bagaimana Jean beradaptasi dengan keadaan dirinya itulah yang paling banyak muncul. Dia sadar dia tidak bisa bergerak, kecuali kelopak matanya, dia kehilangan kemampuannya untuk berbicara karena mulutnya yang kelu.

Lewat kelopak mata itu pula ia bangkit dan menghubungkan lautan imajinasinya dengan keadaan di luar matanya. Ia mengedip untuk menunjukkan apa yang dirasakannya, walaupun ia tahu itu terbatas, sebab orang lainlah yang memberikan pilihan akan apa yang mungkin dirasakannya, sedang Jean sendiri hanya mengiyakan atau tidak. Dalam batas-batas itu ia menulis.

Memang tampak berat, berdarah-darah dan heroik, seolah proses penulisan itu hendak menebus keterbatasan yang dimilikinya sekarang. Tetapi ini yang dilakukan oleh Julian Schnabel dalam Before Night Fall, bagaimana dalam suasana represif rejim pemerintahan di Kuba serta kuatnya homophobic di hampir semua lapisan masyarakat, seorang novelis besar hadir, menulis dalam keterbatasan kertas dan pandangan picik, yang kemudian menghadirkan kewarasan, keindahan dunia, dan kebebasan berpikir.

Memang perbedaannya tampak nyata antar dua film itu, Before Night Fall, terasa lebih “public-politis “ – penentangan pada rejim di luar sana – sementara dalam TDBTB, aromanya lebih “personal” – usaha untuk keluar dari kekangan diri. Kesamaannya adalah usaha keduanya dilakukan lewat kata-kata. Jika boleh dihubungkan dengan filmnya satunya lagi: Basquiat, tampak bahwa walaupun Basquiat adalah akhirnya menjadi “pelukis”, tetapi wujud lukisannya selalu dipenuhi dengan kata-kata yang merefleksikan mural-mural Basquiat di awal karir pelukisannya.
Apa keistimewaannya menulis? Penelitian psikologi memberitahu kita bahwa menulis bisa menjadi terapi psikologis seseorang; dia adalah penyaluran hasrat, harapan, nafsu, marah, dendam dst dunia dalam manusia untuk “dibuang” atau “dikenali’ dengan tulisan yang dengannya seseorang itu bisa memutuskan apa yang akan dilakukan dengan dunia dalamnya itu. Di sisi yang lain, nampaknya bahasalah yang menjadi wujud komunikasi manusia dengan sesamanya dan dunia luarnya. Barangkali kita selalu berpikir bahwa kita selalu bisa memilin jalinan kata-kata untuk menunjukkan apa yang kita inginkan atau rasakan, tetapi sepertinya kita juga harus curiga, barangkali, dalam taraf tertentu “kitalah’ yang ditentukan oleh bahasa, misalnya, kita tidak mungkin mengatakan benda yang jatuh itu ‘naik’ karena konvensi mengatakan dia “jatuh”.

Dalam pertentangan itu, Julian Schnabel memperlihatkan apa yang diinginkannya dengan keberadaan manusia. Baginya, manusia memiliki dan bahkan hidup dalam keterbatasannya, terutama bahasa. Tetapi lewat keterbatasannya/bahasa itu pula manusia dapat melakukan emansipasi atau bahkan pembebasan. Dalam bahasa Krishnamurti: jalan keluar itu pasti berada pada pengenalan masalahnya, bukan di luar masalahnya.

Tetapi, sebagaimana yang anda kira, perjuangan untuk melepaskan dari keterbatasan manusia akhirnya akan menjerumuskan kembali kepada bentuk baru keterbatasan, barangkali mati menjadi batas sampai sejauh mana emansipasi bisa dilakukan. Itu pula yang ditempuh olehnya dalam Before Night Fall. Tokohnya meninggal sebagai martir dari perjuangan bangsanya akan kebebasan berpikir. Jalan yang berbeda ditempuh Schanbel dalam TDBTB.

Jean-Do akhirnya bisa sembuh dari serangan stroke-nya. Imajinasinya – yang hanya nyata bagi dirinya sendiri itu, yang tampak “rapuh” ternyata bisa menjadi mesin roket pendorong yang kuat untuk tetap kuat. Ia kemudian jadi manusia baru. Meraih, dengan makna baru, cinta orang-orang disekelilingnya, cinta yang hadir dalam perbuatan, dengan kehadiran, bukan cinta yang hanya hadir dalam hasrat. Keterbatasan yang telah dilaluinya menumbuhkan kesadaran baru akan semua hal yang pernah dilaluinya. Tinggallah kemudian Jean-Do menghadapi bentuk keterbatasan baru yang akan memberinya [lagi] makna baru hidupnya, selalu dan akan terus begitu. Anda juga.


Judul Film : The Diving Bell and Rhe Butterfly
Sutradara : Julian Schnabel
Naskah : Richard Kelly
Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner
Produksi : Sony Picture, 2007