Kamis, 15 Mei 2008

Membaca Iklan XL: Benarkah Ada Operator Seluler Penyedia Tarif Murah?

Oleh: Mumu Muhajir


Menyumpahi diri sendiri untuk menunjukkan dasar atas keyakinan atau keraguan merupakan hal yang jamak dilakukan di masyarakat. Isi penyumpahan diri itu macam-macam: memotong telinga sendiri, terkena petir, tenggelam di kolam, jatuh dari pohon kelapa, dst. Tetapi intinya adalah untuk peneguhan. Justru contoh-contoh penyumpahan diri seperti di atas sudah mengalami penggeseran makna, karena bisa dilakukan secara sembarangan, kadang dipakai untuk bluffing atau malah menyembunyikan sesuatu yang bertentangan. Dalam hal tertentu, ketika penyumpahan diri itu kadarnya “melebihi” kadar sesuatu yang harus diteguhkannya, kita justru akan ragu: benarkah?

Di beberapa wilayah Indonesia praktek yang hampir sama dan sudah lama dilakukan serta, bahkan, mendapatkan peneguhannya dalam hukum acara peradilan di Indonesia adalah sumpah pocong. Jika konflik pembenaran atas suatu kejadian atau hak tidak mencapai kata sepakat, kedua belah pihak atau salah satu pihak bisa mengajukan prosesi sumpah pocong ini. Prosesi ini menghentikan proses peradilan oleh manusia; diganti penyelesaiannya kepada kehendak Tuhan, alam atau alam gaib. Diyakini, jika memang dia salah, maka hukuman akan datang dengan sendirinya. Masyarakatlah yang akan menilai dan meneguhkannya.

Saya katakan hampir sama karena dalam prosesi sumpah pocong, kasus/konflik dibiarkan dalam kondisi status quo. Penyelesaiannya ada dalam bentuk hukuman yang terjadi pada salah satu pihak yang disebutkan dalam sumpah pocongnya itu. Prosesi ini lebih komunal daripada individual, disertai banyak saksi dengan prosesi yang mengikuti tradisi yang sudah ada; karenanya ia tidak bisa dilakukan sembarangan. Bahkan penduduk lainnya merasakan “bala” ada di desanya jika ada pihak yang melakukan sumpah pocong. Sejauh mungkin ia dihindari. Pada kondisi status quo ini, masyarakat tetap hidup dengan versinya masing-masing. Klaim-klaim tidak mungkin diteguhkan sebelum hukuman atas sumpah pocong itu terjadi.

Sementara penyumpahan diri hadir hanya untuk meneguhkan klaim pada salah satu pihak. Lebih individual dan tanpa harus menghadirkan saksi. Sebagaimana sudah saya singgung di alinea sebelumnya, inilah yang menyebabkan penyumpahan diri kadang hanya berupa bluffing, seperti dalam permainan bridge. Biarpun begitu, bagi masih banyak kalangan, ia juga tidak boleh sembarangan dilakukan. Pamali.

Iklan XL yang menggambarkan seorang manusia yang berpoligami dengan monyet dan kambing yang [terpaksa] dilakukannya karena dia tidak percaya pada adanya operator selular yang memberikan layanan murah, dalam hal tertentu, bergerak di sisi sosiologis penyumpahan diri ini. Dalam kehidupan sehari-hari, pembuktian penyumpahan diri itu menjadi hal yang sulit bahkan sebenarnya tidak perlu. Penyumpahan diri itu sendiri sudah jadi bukti dari klaim itu dan tepat di sinilah masalahnya. Ketika anda menyumpah diri anda sendiri akan terkena petir jika anda berbohong, misalnya. Apakah serta merta atau pasti petir akan menerjang anda ketika ternyata anda berbohong? Jawabannya: mungkin iya mungkin tidak. Pastinya mungkin. Klaim dalam iklan XL itu akhirnya menjadi tidak pasti: apakah memang iya mau kawin dengan monyet dan kambing? Yang dalam iklan XL ini setara dengan: apa memang iya operator XL mau memberikan layanan tarif murah?

Sejauh yang saya tahu tentang iklan, dia pasti hadir untuk meyakinkan konsumen faedah, kelebihan, keistimewaan suatu produk/jasa. Bukan malah meragukannya. Pembuat iklan XL ini sepertinya belum teryakinkan oleh klaim yang dibuatnya sendiri atau ia sedang ingin memberi tahu konsumen bahwa di tengah ketidakpastian klaim murah tarif seluler dari berbagai operator seluler, ada operator seluler XL yang berani “bersumpah” bahwa ia bertarif murah. Dengan demikian, iklan XL ini baru pada taraf memisahkan XL dari operator seluler lainnya; belum sampai pada tahap meyakinkan konsumen atas tarif murahnya itu. bagaimana usaha XL untuk sampai ke sana?

Bukti bahwa tariff XL itu murah dan bisa dipakai telpon sampai puass adalah laki-laki itu memang [terpaksa] kawin [lagi] dengan kambing yang bahkan menimbulkan cemburu monyet, isteri pertamanya. Dan bukan narasi XL tentang tariff murahnya itu. Sebab ternyata narasi ini disandarkan sepenuhnya kebenarannya pada isi sumpah dari lelaki malang itu dan komitmen si lelaki pada sumpahnya itu. Narasi XL tentang betapa murah tarifnya itu sama dan sebangun dengan klaim-klaim operator lainnya, hanya isinya saja yang berbeda. XL ingin mengatakan bahwa dengan terjadinya perkawinan itu, maka narasinya itu menjadi benar tak terbantahkan. XL, sebagaimana juga para nabi agama Semit, menyandarkan klaim kebenaran narasinya pada mukjizat atau hal-hal luar biasa di luar akal sehat.

Masalahnya adalah kehadiran mukjizat itu tidak dengan sendirinya meneguhkan bahwa narasi kebenaran yang dibawa oleh satu nabi itu menjadi absolute benar. Sebaliknya para penentang dan kaum peragu tetap banyak hidup disekeliling para nabi. Tidak semua orang yang melihat dan mendengar mukjizat para nabi serta merta mengakui dan mengikuti narasi kebenaran nabi itu. Semuanya digantungkan pada kehendak Tuhan dan pencarian jiwa orang yang bersangkutan. Dalam kasus iklan XL, komitmen si lelaki untuk menjalankan isi sumpahnya itu yang membuat narasi XL tampak benar.

Narasi XL dengan kebenaran dari narasi XL itu sendiri sebenarnya terpisah. Ia berbeda misalnya dengan kitab suci yang didalamnya mengandung klaim atas kebenaran kesuciannya. Keduanya dipisahkan oleh komitmen laki-laki itu [baca: konsumen]. Narasi dalam XL itu akan tetap demikian, sampai ada orang [baca konsumen] yang mengakui dan menjalankan “perintah” narasi XL itu. Tepat ketika dia menjalankan isi sumpahnya itu, ia mengakui dan menjalankan isi narasi XL itu. Pada titik inilah kenapa iklan XL ini tetap tidak meyakinkan bahwa XL adalah operator seluler yang memberikan tariff paling murah.

Mengapa laki-laki itu mau menjalankan sumpahnya itu? saya tidak terlalu percaya bahwa factor komitmen menjadi satu-satunya factor pendorong. Factor yang lain yang juga penting adalah kehadiran saksi. Laki-laki itu, walaupun tahu kebenaran narasi itu, bisa saja tidak melaksanakan sumpahnya itu sehingga kebenaran narasi XL itu tetap dipertanyakan keabsahannya. Namun kehadiran saksi yang mendengarkan sumpah dan bersama-sama melihat narasi itulah yang membuatnya mau tidak mau melaksanakan sumpahnya itu.

Siapa teman laki-laki ini? Ini yang jadi misteri. Dia sepertinya tidak mengambil untung dari semua kejadian dalam iklan XL itu. Ia menyaksikan adanya narasi XL tentang trif sampai puassnya itu, ia saksikan temannya kawin dengan monyet dan kemudian kambing. Ia tidak mungkin representasi pemberi iklan atau pembuat iklan XL ini. Ia sepertinya adalah garis yang mengkerangka apa yang akan dilakukan si lelaki malang itu, ia menyaksikan dan ia menentukan. Tanpa ia, iklan XL tak akan utuh logikanya. Ia barangkali proyeksi rasa takut laki-laki malang itu [konsumen].

Karena iklan sekarang tidak lagi menyarankan “apa yang sebaiknya anda lakukan” berikut tata cara pemakaiannya, sebagaimana iklan di Indonesia pada dekade-dekade sebelumnya. Iklan jaman ini justru mempermainkan “rasa bersalah” kita atas apa yang kita lakukan. Ia bahkan menyentuh paling dasar dari emosi kita: takut. Iklan pelan-pelan mengkerangkakan cara pandang akan sesuatu dan akhirnya ia menjadi klaim fasis: ikut denganku atau jadi musuhku.

Begitulah. XL secara terang-terang menghukum siapapun yang tidak percaya akan klaim termurahnya itu. Hukuman ini, dalam kaca mata XL, tidak dilakukan oleh apparatus serupa polisi yang dimiliki oleh XL. Hukuman itu hadir atas kemauan sadar konsumen itu sendiri dan pada saat yang sama klaim kebenaran akhirnya ditentukan oleh konsumen itu sendiri. Inilah mengapa klaim XL lewat iklannya ini tidak cukup meyakinkan konsumen seberapa murah sebenarnya tariff selulernya itu. Pembuat iklan XL sepertinya sedang sama ragunya dengan anda, konsumen seluler.

Selasa, 06 Mei 2008

Ruang Sempit Bagi Teater Garasi

Oleh: Mumu Muhajir

Ruang memang makin sempit – alat transportasi memperpendek, barang-barang komunikasi mempersingkat dan internet melumatkannya. Ruang tidak lagi berkuasa – waktulah yang mendefinisikan semuanya. Ketika ruang yang demikian sempit itu dipaksakan menjadi ajang dari berbagai saat, tumpuk menumpuk, ia akan menghasilkan sebuah mozaik warna yang membuat kita menahan napas, tetapi sebaliknya, bisa saja ia membuat kita bingung.

Ruang teater selalu sempit, tidak pernah melebihi ruang stadiun sepakbola. Pemanfaatan ruang haruslah bijaksana, biar saat yang hendak dijejalkan tidak berdesakan mencari perhatian sendiri-sendiri. Dalam ruang yang sempit itu, sekarang saya temukan, tidak lagi hanya gerak, akting, dialog, tetapi juga menari, menyanyi, berdeklamasi. Segala hal yang diberikan gaya hidup. Teater ingin meraih semua bentuk kesenian yang ditemukan manusia dalam ruang yang sudah sempit dalam jangka waktu yang terbatas. Dalam hiruk pikuk itu, seringnya saya temukan polusi lain. Dalam suasana seperti itu, saya merindukan teater yang lebih sederhana: hanya dialog dan akting. Saya tidak perlu aktor/aktris yang menari-nari atau menyaru jadi biduan/biduanita.

Saya temukan polusi lain itu dalam sebuah pertunjukan yang gagal dari sebuah teater hebat yang biasanya selalu berhasil mengartikulasikan kegelisahannya tidak hanya menjadi kegelisahan mereka, tetapi juga menjadi kegelisahan penontonnya: teater garasi. Sebuah teater mahasiswa yang menjelma menjadi teater ”profesional”. Saya lihat mereka di Erasmus Huis dalam sebuah pertunjukan adaptasi Naskah Checov berjudul Camar.

Bukan hanya naskahnya, saya juga tahu bahwa ini karya kolaborasi, dengan sutradara dari negera asing, berbahasa asing, cara bertutur yang asing. Hasilnya adalah sebuah karya yang mentah, tidak tercerna dengan baik, pudar. Tidak saya temukan lagi eksplorasi mereka akan sebuah benda [seperti gentong], atau akan hujan, atau akan sebuah cerita rakyat. Terbata-bata mereka dengan segudang ide yang hendak disampaikan dengan bahasa ucap terbatas.

Tuntutan untuk sebanyak mungkin menarik perhatian penonton atau massa, saya pikir, menjadi salah satu masalahnya, selain akting pemainnya yang memang masih muda dan mentah. Saat ini di Indonesia, saya selalu temukan karya teater sudah berpadu dan dihilangkan batasnya dengan operet musik atau balet. Mata dan telinga penonton memang jadi kaya: tidak hanya dialog, tetapi juga gerak tari dan syair-syair musik. Inginnya penonton menjadi kaya setelahnya: dengan satu pertunjukan, dua tiga pertunjukkan lain bisa disaksikan. Sebuah semangat efektif dan efesien yag tanpa ampun merambah dengan telanjang di dunia ini.

Inilah yang terjadi di pertunjukan ini. Setelah berkali-kali menguap bersama dengan beberapa penonton, saya mulai bosan dengan jalan cerita itu. Saya jengah dengan alur dialog yang cepat dan panjang-panjang; kegagapan untuk menyampaikan banyak maksud di saat yang sejenak. Dan aktris yang menyanyi itu? Aduh. Panggung memang sangat sederhana dengan peralatan yang hanya bangku dan sebuah papan miring. Tetapi ia tidak mewakili 1001 pesan yang ingin disampaikan sutradara. Akhirnya beberapa hal dihadirkan dalam tuturan yang sayangnya tidak mewakili perubahan sikap, ego, pola pikir aktris/aktornya. Bahkan mungkin tidak ada perubahan itu dalam akting, raut muka, gerak tari kecuali dalam dialog dan disampaikan ke penonton. Seolah kita, penonton, harus menerima itu sebagai sesuatu yang terberi. Ya, dulu saya penulis jelek, sekarang saya penulis berhasil; ya, dulu saya jatuh cinta pada dia tetapi tidak kesampaian, sekarang juga sama tetapi sekarang lebih bisa menerima; kata-kata kosong itu dan penonton harus menerima itu. Ini sama saja kita, penonton, mendengar orang berpidato menyuruh bekerja sedang dirinya enak tiduran.

Mengapa tidak ada lagi kesederhanaan? Dalam hal apapun: cerita, artikulasi dialog, maksud yang ingin disampaikan. Mengapa fokus dan mendalam semakin dijauhi dan malah merengkuh dengan wagu serba banyak, serba permukaan? Pertanyaan yang tidak hanya berlaku di sekitar teater saja, barangkali, tetapi juga di dunia lainnya.

Saya rasa ini satu jam yang membuatku merasa harus mengutuk diriku: kenapa tidak beranjak sejak pertunjukan ini dimulai?

Penampil: Teater Garasi dan Teater Embassy
Judul : Camar
Tempat : Erasmus Huis/Selasa/6 Mei 2008/2000 – 2110 wib