Selasa, 06 Mei 2008

Ruang Sempit Bagi Teater Garasi

Oleh: Mumu Muhajir

Ruang memang makin sempit – alat transportasi memperpendek, barang-barang komunikasi mempersingkat dan internet melumatkannya. Ruang tidak lagi berkuasa – waktulah yang mendefinisikan semuanya. Ketika ruang yang demikian sempit itu dipaksakan menjadi ajang dari berbagai saat, tumpuk menumpuk, ia akan menghasilkan sebuah mozaik warna yang membuat kita menahan napas, tetapi sebaliknya, bisa saja ia membuat kita bingung.

Ruang teater selalu sempit, tidak pernah melebihi ruang stadiun sepakbola. Pemanfaatan ruang haruslah bijaksana, biar saat yang hendak dijejalkan tidak berdesakan mencari perhatian sendiri-sendiri. Dalam ruang yang sempit itu, sekarang saya temukan, tidak lagi hanya gerak, akting, dialog, tetapi juga menari, menyanyi, berdeklamasi. Segala hal yang diberikan gaya hidup. Teater ingin meraih semua bentuk kesenian yang ditemukan manusia dalam ruang yang sudah sempit dalam jangka waktu yang terbatas. Dalam hiruk pikuk itu, seringnya saya temukan polusi lain. Dalam suasana seperti itu, saya merindukan teater yang lebih sederhana: hanya dialog dan akting. Saya tidak perlu aktor/aktris yang menari-nari atau menyaru jadi biduan/biduanita.

Saya temukan polusi lain itu dalam sebuah pertunjukan yang gagal dari sebuah teater hebat yang biasanya selalu berhasil mengartikulasikan kegelisahannya tidak hanya menjadi kegelisahan mereka, tetapi juga menjadi kegelisahan penontonnya: teater garasi. Sebuah teater mahasiswa yang menjelma menjadi teater ”profesional”. Saya lihat mereka di Erasmus Huis dalam sebuah pertunjukan adaptasi Naskah Checov berjudul Camar.

Bukan hanya naskahnya, saya juga tahu bahwa ini karya kolaborasi, dengan sutradara dari negera asing, berbahasa asing, cara bertutur yang asing. Hasilnya adalah sebuah karya yang mentah, tidak tercerna dengan baik, pudar. Tidak saya temukan lagi eksplorasi mereka akan sebuah benda [seperti gentong], atau akan hujan, atau akan sebuah cerita rakyat. Terbata-bata mereka dengan segudang ide yang hendak disampaikan dengan bahasa ucap terbatas.

Tuntutan untuk sebanyak mungkin menarik perhatian penonton atau massa, saya pikir, menjadi salah satu masalahnya, selain akting pemainnya yang memang masih muda dan mentah. Saat ini di Indonesia, saya selalu temukan karya teater sudah berpadu dan dihilangkan batasnya dengan operet musik atau balet. Mata dan telinga penonton memang jadi kaya: tidak hanya dialog, tetapi juga gerak tari dan syair-syair musik. Inginnya penonton menjadi kaya setelahnya: dengan satu pertunjukan, dua tiga pertunjukkan lain bisa disaksikan. Sebuah semangat efektif dan efesien yag tanpa ampun merambah dengan telanjang di dunia ini.

Inilah yang terjadi di pertunjukan ini. Setelah berkali-kali menguap bersama dengan beberapa penonton, saya mulai bosan dengan jalan cerita itu. Saya jengah dengan alur dialog yang cepat dan panjang-panjang; kegagapan untuk menyampaikan banyak maksud di saat yang sejenak. Dan aktris yang menyanyi itu? Aduh. Panggung memang sangat sederhana dengan peralatan yang hanya bangku dan sebuah papan miring. Tetapi ia tidak mewakili 1001 pesan yang ingin disampaikan sutradara. Akhirnya beberapa hal dihadirkan dalam tuturan yang sayangnya tidak mewakili perubahan sikap, ego, pola pikir aktris/aktornya. Bahkan mungkin tidak ada perubahan itu dalam akting, raut muka, gerak tari kecuali dalam dialog dan disampaikan ke penonton. Seolah kita, penonton, harus menerima itu sebagai sesuatu yang terberi. Ya, dulu saya penulis jelek, sekarang saya penulis berhasil; ya, dulu saya jatuh cinta pada dia tetapi tidak kesampaian, sekarang juga sama tetapi sekarang lebih bisa menerima; kata-kata kosong itu dan penonton harus menerima itu. Ini sama saja kita, penonton, mendengar orang berpidato menyuruh bekerja sedang dirinya enak tiduran.

Mengapa tidak ada lagi kesederhanaan? Dalam hal apapun: cerita, artikulasi dialog, maksud yang ingin disampaikan. Mengapa fokus dan mendalam semakin dijauhi dan malah merengkuh dengan wagu serba banyak, serba permukaan? Pertanyaan yang tidak hanya berlaku di sekitar teater saja, barangkali, tetapi juga di dunia lainnya.

Saya rasa ini satu jam yang membuatku merasa harus mengutuk diriku: kenapa tidak beranjak sejak pertunjukan ini dimulai?

Penampil: Teater Garasi dan Teater Embassy
Judul : Camar
Tempat : Erasmus Huis/Selasa/6 Mei 2008/2000 – 2110 wib