Minggu, 01 Maret 2009

Terdampar Bersama Pink Floyd: Marooned

Lagu ini kerap menyambangi saya hampir dekat ke tengah malam dari sebuah siaran radio Geronimo di Yogya. Acaranya entah, disiarkan tepatnya hari apa, juga hilang dari ingatan. Tapi, ia menjadi alasan bagi saya untuk susah tidur, gelisah, berkelahi dengan sedih, menegosiasikan kekalahan hari itu sebelum akhirnya memejamkan mata di dekat subuh.

Judulnya "Marooned" yang kalau diartikan bisa merah marun atau juga terdampar. Merah marun adalah warna gambar visualisasi dari lagu instrumental di album Pink Floyd yang kerap tidak menerima apresiasi layak, bahkan dianggap album terburuk berjudul "The Division Bell". Tidak menerima apresiasi layak karena sepertinya penggemar Pink Floyd selalu mendewakan karyanya di tahun 1970-an dan apresiasi berhenti di sana, membatu. Sementara bagi saya, yang lahir belakangan, karya ini layak disandingkan dengan album-album hebat Pink Floyd lainnya seperti "the dark side of the moon" yang aus atau the wall. Tapi mari jangan bicara kompetisi di lagu sekaligus album yang menentang "/" ini.

Album ini kuyup dengan komunikasi yang acak kadut, tidak nyambung. Lihat pula cover depan albumnya: wajah terbelah, yang masing-masing belahan adalah wajah lain yang saling berpandangan namun tidak menyatu. Mis-komunikasi ini, tidak hanya antar individu, tetapi juga antar generasi. Ia melahirkan kesendirian. Ia melahirkan pulau-pulau yang saling menjauh, tidak saling terhubung, bahkan oleh kabel telegraf sekalipun. Orang-orang menutup diri, membekukan satu instrumen penting bertahan hidup ras homo sapien.

Pink Floyd memilih laut dan terdampar untuk mengatakan apa yang kata orang menjadi obsesinya Pink Floyd selama ini: keterbelahan manusia. Laut itu hadir dalam "marooned": suara angin, alunan ombak, ceracau camar dipadukan dengan suara ketukan keyboard satu dua, suara-suara aneh, gitar yang sengaja dinaikkan oktafnya terus menyayat panjang selama lagu, dalam irama lambat mengalun. Suara camar di awal dan di akhir lagu mengisyaratkan lagu ini bukan tentang mereka yang sedang mengapung di laut dalam; sebaliknya, mereka justru sedang berada di pantai di sebuah pulau.

Ia seperti ingin menegaskan pulau-pulau itu yang berisi orang-orang yang terdampar; yang di-persona-grata-kan dari suatu tempat entah atau dari perahu karam. Terdampar berarti adalah suasana yang tidak diharapkan; para pelaut pasti tidak mau mendapati dirinya terdampar, entah karena kapalnya karam atau tersesat tanpa tujuan. Karena itu berarti perjalanannya terhenti. Odyssey - sebagaimana diceritakan oleh Homer - mendapati dirinya selalu menghadapi tantangan, entah dari laut, dewa atau takdir, yang membuatnya terdampar di suatu pulau, yang menghambat tujuan utama kenapa perjalanan itu dilakukan: rumah, anak isteri di Ithaca.

Begitulah, terdampar sebenarnya situasi sementara [yang sebenarnya keadaan semua situasi]. Ia harus segera berangkat kembali untuk sebuah tujuan [pasti atau tidak pasti]. Di tengah-tengah itu: ada putus asa, ada pengap harap, ada perhitungan-perhitungan, ada usaha penolakan dan penerimaan keadaan sekitar, ada kemenangan-kemenangan kecil, kekalahan-kekalahan menyakitkan, dst dan sebagainya; semuanya berujung pada: ia harus mengubah dirinya dari situasi terdampar ini.

Masalahnya keluar dari situasi terdampar itu apakah selalu diartikan siap-siap menyingsingkan lengan baju untuk sebuah perjalanan baru?Saya rasa tidak. Itulah kenapa lagu ini istimewa. Ke-riang-an - dengan hadirnya perkusi di 3/4 akhir lagu - sepertinya tidak hendak menegaskan bahwa "kau harus segera mengangkat sauh untuk tujuan entah". Sebuah pikiran dan tujuan positif. karena tiba-tiba, perkusi itu menghilang dan digantikan dengan gema suara aneh yang memanjang dan kemudian menghilang.

Bisa berarti, Pink Floyd bukanlah ahli sosial yang "sok" memberikan petuah. Ia hanya sedang membicarakan sebuah situasi kesendirian yang dirinya pun tidak atau belum bisa keluar. Ia sedang berbicara tentang terdampar, bukan setelah dan sesudahnya.

Hilangnya komunikasi membuat manusia memasuki wilayah terdampar itu; yang jauh mengerikan daripada tersesat di hutan. Ia mendengarkan suara yang sama dengan orang lain, tapi tidak bisa mengutarakan ke masing-masing orang apa dan bagaimana suara itu. Ia terperangkap dalam cangkang-kerasnya sendiri: melolong, meminta tolong tidak bisa dilakukan karena saluran suara keluar tidak ada. Ia mengisi kesendiriannya itu dengan meradang dan bahkan berpura-pura mengobrol dengan orang lain.

Terdampar membuatnya diliputi kesepian dan kesendirian. Di detik ketiga puluh, Pink Floyd mengayunkan gitarnya, lambat dan panjang. Mengajak untuk masuk. Ayunan gitar yang tipis itu seperti hendak mencarikan pegangan. Tetapi tidak ada pegangan. Sendiri.

Saya selalu terjebak menyamakan kesendirian dengan kesedihan karena menyangka suara lolongan gitar yang sayup-sayup dibelakang perkusi dan dentingan keyboard selalu membuat saya sedih. Saya salah: masing-masing dua situasi itu menyebabkan dua situasi. Kesedihan menyebabkan kesendirian dan kesendirian menyebabkan kesedihan. Dan bukan kesedihan adalah kesendirian. Lagu "Marooned" membuat saya melihat lembayung di sore hari, lintasan2 sayap-sayap camar dan burung laut, desiran pasir pantai, deburan ombak, angin asin laut, menyeret saya ke situasi mensyahdukan; yang jika saya tidak terampil merangkai perasaaan akan menjebak saya ke kesendirian atau ke kesepian. Tapi seringnya, kalau tidak mau dikatakan selalu, saya tidak pandai merangkai perasaan.

Pink Floyd sendiri, sayangnya, tidak mencarikan jalan keluar - mungkin hasis - yang membuat saya harus keteter sendirian menahan cangkang sepi yang hendak menangkup sendiri.