Minggu, 17 Februari 2008

Buruk Pemasaran Konsumen Dibelah

Mumu Muhajir

Perbincangan mengenai betapa rendahnya minat baca masyarakat kita sudah sangat sering kita dengar. Perbincangan itu biasanya dihubungkan dengan rendahnya rasio antara buku yang beredar dan dibeli dengan jumlah penduduk yang ada; atau betapa kecilnya tiras media cetak kita. Perbincangan itu pastinya akan merambat pula ke masalah betapa televisi telah mematangkan masyarakat kita dari masyarakat dengar pertama ke masyarakat dengar kedua; tanpa pernah melewati tahap masyarakat baca. Kita juga pastinya sudah mafhum dan tentu saja akan masgul, sedih hati dengan kesimpulan macam apa yang lahir dari perbincangan itu. Bahwa kebanyakan masyarakat kita masih miskin yang memandang buku bukan sebagai kebutuhan utama; bahwa buku dipandang terlalu mahal, sehingga sulit dijangkau; bahwa ada “kekurangan di dalam dirinya sendiri”dalam budaya kita, yang tidak bisa mengikuti syarat-syarat tercapainya masyarakat baca (kita memiliki banyak modal social untuk menciptakan, mengukuhkan budaya lisan, namun tidak cukup memiliki modal untuk mencapai budaya baca-tulis); dan sederet bahwa-bahwa lainnya.

Barangkali kemasgulan di atas tidak akan terlalu berat untuk dihela ketika ada segolongan kecil orang-orang terdidik yang bisa menyemai benih budaya baca-tulis. Saya asumsikan bahwa kaum terdidik itu adalah mereka yang pernah mengenyam bangku perguruan tinggi yang jumlahnya lebih kurang 3 persen dari jumlah penduduk kita. Kita andaikan saja ada sepertiganya dari mereka yang minat bacanya cukup baik, maka ada sekitar 2,1 juta konsumen pembaca yang siap sedia menyerap bahan bacaan yang dipasok oleh penerbit dan media massa. Dengan jumlah pasar sebesar itu sebenarnya keadaan penerbit atau toko buku tidak harus mengkhawatirkan seperti saat ini.

Jadi ada dua cara pandang yang bisa dipakai untuk membaca keadaan di atas. Pertama, bahwa ada yang salah dengan kaum terdidik kita dalam melihat posisi buku atau bahan bacaan lainnya. Buku baru dibeli hanya ketika tidak ada kawan yang mau meminjamkannya atau ketika dosennya iseng (mungkin teringat usaha kerasnya ketika harus menyelesaikan PhD-nya di universitas LN) mengharuskannya membaca buku tersebut dan sialnya disertai ancaman pula bahwa buku itu adalah salah satu “kisi-kisi” untuk ujian akhir nanti. Selalu ada tarik ulur yang lama dan melelahkan sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli buku. Entah mengapa pula orang-orang kelas menengah terdidik ini nampaknya masih saja bergidik melihat banderol harga di sampul belakang sebuah buku; padahal untuk mengisi pulsa HP edisi terbarunya (yang katanya penting untuk “komunikasi” itu) sama seperti membuang upil. Sungguh.

Bagi bangsa yang nampaknya sangat nyaman diperlakukan sebagai pasar ini tidak ada sikap yang lebih enak daripada menunggu, menerima, membeli, mempergunakan, menikmati. Dan perguruan tinggi pun mau tidak mau melakukan hal yang serupa, bahkan kalau lagi sial, dijadikan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Hal ini akan sangat berpengaruh pada penciptaan suasana akademis di dalam kampus dan sumber daya manusia yang dihasilkannya.

Buku akhirnya bukanlah barang yang penting dan bisa menunjukkan daya lebih bagi perkembangan karier (kantor dan kemanusiaan) kaum menengah terdidik ini, karena sebenarnya orang-orang pintar kita itu tinggal meniru dan kalau pun salah ada yang dengan senang hati menjewer dan mengajarkan kita bagaimana seharusnya bertingkah laku agar nampak lebih beradab.

Kaum menengah terdidik kita adalah contoh terbaik dari orang-orang yang mangkus dan sangkil dan sungguh buah terbaik dari rasionalitas instrumental: kenapa harus beli buku, tokh bisa pinjam di perpustakaan. Kalau tidak ada? Akh pinjam saja sama kawan, fotokopi bagian yang penting; lagian ngapain sih repot-repot tokh tidak akan keluar di ujian ini.

Senangnya jadi orang Indonesia yang beragama dan tentu saja bertuhan adalah selalu diajarkan bahwa pasti ada hikmah di balik apa yang terjadi; di tengah rundung derita pasti ada suatu harapan; selalu ada untung dibalik buntung kita. Maka mari kita lihat yang kedua.

Tahun 1980-an, Inggris sedang mengalami krisis penerbitan. Banyak penerbitan yang gulung tikar karena rendahnya daya beli masyarakat Inggris kala itu. Krisis itu sebenarnya membuka kenyataan bahwa krisis itu sebenarnya sudah terjadi sejak selesai perang dunia kedua. Hal ini disebabkan karena penerbit Inggris masih konservatif, tertutup dan melihat pasar sebagai sesuatu yang homogen, tidak berubah. Dengan kata lain pelemahan daya beli itu terjadi pada konsumen yang selama ini biasa dilayani oleh penerbit-penerbit Inggris itu; yang secara jumlah makin sedikit dan makin tidak menemukan sesuatu yang baru dalam karya yang dibeli dan dibacanya.

Padahal, demikian penjelasan Bill Buford, seorang editor majalah Granta, pasar buku itu tidaklah homogen. Ada banyak konsumen dengan minat yang berbeda-beda yang menunggu untuk dilayani. Prinsip konsumen adalah ia akan membeli jika ada barangnya. Nah, barangnya ini tidak ada yang disebabkan oleh kejumudan penerbitnya serta tentu saja toko bukunya. Biasanya penerbit atau toko buku selalu bersifat umum, tidak melakukan spesialisasi, sehingga menyulitkan mereka ketika tidak mengetahui dengan jelas pasar mana sebenarnya yang menyerap paling banyak produk yang dihasilkan atau dijualnya. Keumuman itu juga akan sangat menyulitkan mereka ketika harus menerbitkan/menampilkan karya yang cukup baik namun dengan pangsa pasar yang cukup spesifik. Biasanya mereka melakukan self-censorship dengan tidak menerbitkan karya tersebut; bisa dikatakan sebenarnya mereka sedang melakukan bunuh diri pelan-pelan.
Karena bersifat umum, toko buku yang ada di Inggris hanya berjumlah 2500 buah, jumlah yang tidak berubah sejak perang dunia kedua berakhir, sementara Jerman 6000 buah dan Amerika, yang jumlah penduduknya 4 kali lebih banyak dibandingkan Inggris, toko bukunya ada sekitar 16.217 buah. Dengan jumlah yang “terbatas” itu jelas akan sangat menghambat dan menyulitkan konsumen dalam mendapatkan buku yang diinginkannya.

Bill mengajak penerbit dan toko buku Inggris untuk melakukan pencarian pasar baru dengan cara melakukan spesialisasi. Bagi Bill sendiri. Pasar itu sudah ada dan akan hadir hanya sesekali, terutama ketika hadir karya yang diminatinya. Spesialisasi ini akan menumbuhkan cara penulisan baru juga. Cara penulisan baru atau aliran baru penulisan karya (sastra) tentu akan menarik lebih banyak dan lebih beragam konsumen. Dengan cara seperti menerjemahkan karya-karya (sastra, secara khusus Bill menunjuk objek ini) asing, penerbit Inggris dipaksa untuk melihat khazanah di luar negeri yang ternyata juga ada peminatnya di Inggris.

Berkaca dari kejadian di Inggris dua dekade yang lampau, setidaknya bangsa ini mempunyai pasar potensial yang lumayan besar, yang sayangnya belum terlayani dengan baik. Saya tidak tahu apakah itu disebabkan karena penerbitan kita selalu bersifat umum atau mungkin masalahnya adalah adanya satu pasar yang dimasuki oleh terlalu banyak penerbit sehingga melupakan pasar-pasar lainnya dan penerbit-penerbit inilah yang sering mengeluh dan berguguran itu.

Keluhan bahwa surutnya penerbitan dan tidak berjalannya bisnis toko buku di Indonesia disebabkan oleh rendahnya minat baca kaum menengah terdidik kita (saya terpaksa mengarahkannya pada kelas social ini saja, tidak kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan) bisa jadi hanya sekedar dalih akan ketidakmampuan penerbit dalam menemukan dan melayani kebutuhan pasar potensial itu. Dan tentu saja keluhan itu terdengar tidak bijaksana dan seperti melempar batu sembunyi tangan. Alasannya sangat mudah, bagaimana mungkin mereka kaum menengah terdidik kita itu mau mendatangi toko buku jika buku yang mereka cari selalu tidak ada karena penerbit seperti mengikuti sindrom tiru-meniru seperti yang terjadi di media televisi (media yang oleh banyak penerbit dianggap biang keladi makin menurunnya minat baca di Indonesia).

Terakhir, dengan mengikuti kata-kata Bill Buford, satu outlet harus dibuka jika satu jenis karya/penulisan baru/tema baru menemukan pembacanya dan setelahnya biarkan kelanjutan outlet digantungkan pada dukungan para pembacanya itu.