Selasa, 19 Februari 2008

Jalan sebagai Penghubung, Jalan sebagai Penghalang: Redefinisikan Kembali Makna Jalan Bagi Anda

Oleh: Mumu Muhajir

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi; jalan mempunyai fungsi untuk menghubungkan tujuan satu dengan tujuan lainnya. Ia menjadi cara orang-orang saling berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya. Jalan memang penemuan manusia yang terlupakan asal usulnya. Siapa yang pertama kali menemukan ide jalan?

Barangkali, jalan terbuka ketika satu individu melakukan perjalanan ke suatu tempat dimana kemudian rute itu diikuti oleh banyak orang. Sehingga orang-orang menunjuk rute itu sebagai “jalan” menuju suatu tempat. Kemudian orang-orang bertambah banyak, suku-suku berpencar saling menegaskan wilayahnya. Tetapi jalan menjadi satu-satunya cara mereka untuk saling berkomunikasi dan melakukan kegiatan tukar menukar dan kemudian jual beli. Jalur sutera, misalnya, sebagai salah satu jalur perdagangan di masa silam, entah siapa yang menemukannya pertama kali. Kita lebih sering menyebutnya sebagai penemuan sebuah suku atau bangsa. Sampai sekarang rute perjalanan itu tetap ada. Di Indonesia, Jalan Anyer-Panarukan jadi legenda tersendiri.

Jalan pada perkembangan mutahir kemudian mengalami modifikasi. Ia tidak hanya menjadi jalur dagang atau pos, tetapi juga menjadi tempat kabel-kabel listrik, telepon, telegraph dibentangkan. Kemudian ia jadi “tetenger”untuk menentukan suatu lokasi. Bahkan ia menjadi simbol sesuatu [Cendana, camp elysee, downing street no 10, dst]. Apapun fungsinya sebagai penghubung tetap tidak berubah. Sepertinya dia menjadi satu-satunya penemuan yang akan demikian seterusnya dan tidak mungkin tergantikan. Ia adalah jalan dan tidak ada yang lain lagi selainnya. Ia mungkin berubah materialnya: jalan setapak ke jalan lebar berbatu, kemudian jalan beraspal terus ke hotmix terus ke tembok [konkret] tetapi maknanya tetap sama: jalur penghubung.

Benarkah demikian? Bagi pengguna jalan atau pelalu lalang, demikian adanya, tetapi bagaimana dengan orang-orang yang berada di kiri dan kanan jalan-jalan itu; apakah jalan tetap dianggap sebagai jalur penghubung? Ada dua penemuan modifikasi jalan yang membelokkan itu: jalan tol dan jalan satu arah.

Perhatikan jalur-jalur tol di Cipularang. Di kiri dan kanan ada persawahan yang dulunya saling terhubung, tetapi dengan adanya jalan tol kemudian terpisah. Banyak petani yang memiliki sawah di seberang tol itu, sehingga dia harus naik pada jembatan penghubung yang tentu saja lebih sulit dilalui dibandingkan dengan jalan di pematang sawah sebelum dipisahkan oleh jalur tol itu. Jalan tol memiliki peraturan tersendiri yang pasti berbeda dengan jalan di pematang sawah: hanya diperuntukkan bagi kendaraan bermotor tertentu dan tidak dimungkinkan orang menyeberang di aspal jalannya. Siapa yang terhubung dengan baik adanya jalan tol ini: orang-orang Jakarta dan bandung.

Jalur tol juga memisahkan kumpulan satu desa di jalan tol Padaleunyi, sehingga ada desa I dan desa II. Karenanya banyak hal harus diredefinisi: nama jalan, perangkat RT/RW, Mesjid Jami beserta perangkatnya, dst. Perhatikan pula jalan tol TB Simatupang. Ada satu ruas jalan panjang [jalan raya kebagusan] yang harus dipotong menjadi dua. Sehingga orang-orang yang dulunya satu rasa di bawah jalan yang sama, kini tidak lagi. Komunikasi tatap muka mau tidak mau harus dilakukan dengan kendaraan yang rutenya harus memutar jauh. Jalan layang terlalu membebani kantong pembuat jalan tol. Jalan kaki hampir tidak bisa dilakukan lagi oleh orang-orang yang kini berada di dua nama jalan yang berbeda. Pernah ada dua Ibu yang bertemu di angkot 17, saling terharu karena jarang bertemu, padahal mereka bersaudara dan berada di jalan yang dulunya tidak terpisah, tetapi sekarang jalan tol menjadikan jarak yang dulunya terasa pendek menjadi terasa jauh.

Hal yang kurang lebih sama terjadi di jalur satu arah. Jalur satu arah memberikan keberanian pada pengguna jalan untuk menggeber laju kendaraannya, sehingga menyeberang jalan sulit dilakukan. Komunikasi antar rumah yang berseberangan berubah karenanya. Bayangkan jika ada orang yang bertempat tinggal di bagian depan jalur itu dan punya kepentingan ke orang di bagian belakang jalur itu. Dia harus memutar atau bahkan, kalau terpaksa, menyusuri pinggiran jalan melawan arus. Jalur satu arah pula merugikan tempat usaha yang berada di sebelah kanan jalan tersebut.

Kedua modifikasi jalan itu memaksa komunitas terkena dampak harus memikirkan ulang segalanya: kebiasaannya, cara komunikasinya dsb. Misalnya dalam menentukan rute perjalanan pulang dan perginya. Di Jakarta ini kejadian seperti ini nampaknya sudah biasa: ruang berubah dan orang-orang harus menyesuaikan diri dengan ruang itu.

Kepercayaan bahwa jalan adalah jalur penghubung, nampaknya harus diperiksa ulang. Jalan ternyata juga menjadi penghalang. Yang teruntungkan dengan jalan tol dan jalur satu arah ternyata hanya pengguna jauh saja, sementara yang hidup di sekitar dua jalur jalan itu, barangkali tidak seberuntung mereka. Mereka harus bergelut, meredefinisi ruang-ruang di sekitarnya yang terus berubah, meredefinisi kebiasaannya, hidupnya, sementara anda yang lalu lalang di jalan itu hanya sekilas saja melihat mereka dari jendela kendaraan anda atau bahkan, mungkin tanpa sengaja, meng-impersonal-kan mereka, hanya jadi kilatan warna di kornea anda.