Sabtu, 02 Februari 2008

Mencari Jalan ke Ruang Kota

Oleh: Mumu Muhajir

Manusia pada awalnya memang membangun banyak bangunan, menggelar jalan, membuat jembatan, membangun kotanya, namun setelah semuanya ada, manusia berbalik menjadi ditentukan oleh bangunan yang ada, jalan yang ada, jembatan yang ada dan kota yang didiaminya. Prosesnya mungkin tidak kentara dan berjalan dengan sangat subtil. Ia nampak ketika ada seseorang yang datang dari desa yang tergagap-gagap, mungkin mengkerut nyalinya ketika harus masuk ke sebuah gedung megah dengan arsitektur modern, ber-lift, pintu masuk otomatis, ber-AC dan ada satpamnya. Pada saat itu ruang menentukan siapa-siapa saja yang layak mendiaminya. Sebuah bangunan kemudian menjadi mandiri, dengan tanda-tanda sendiri yang sangat pejal untuk dipecahkan oleh individu.

Bukankah selalu ada kawasan elit dan kawasan kumuh di setiap kota? Apakah mereka diciptakan atau terberikan begitu saja? Lalu bagaimana tanggapan warga kotanya melihat kedua kawasan itu? Kita dengan sangat mudah mengidentifikasi orang dengan melihat alamat rumahnya. Penduduk di kampung Badran bisa dijadikan contoh. Sudah sering penduduk dari daerah ini yang ditolak kalau hendak berobat di rumah sakit di Yogyakarta, semata-mata karena seringnya penduduk kampung Badran yang kabur tidak membayar biaya pengobatannya. Bisa saja karena mereka miskin atau memang jahat.
Apalagi ketika kota berevolusi dengan cepat, mendandani diri demi satu tujuan yang, barangkali, hanya kota sendiri yang tahu. Dia mengatur: becak hanya boleh berjalan di jalur jalan tertentu; yang hal itu akan banyak mempengaruhi banyak orang, termasuk tukang becaknya. Ia mungkin akan merasa disisihkan; ia mungkin akan merasa bersalah, terutama kepada teman-teman seprofesinya, ketika melewati jalur jalan yang seharusnya tidak ia lewati, ternyata ia mendapatkan penumpang; ia mungkin akan marah, tapi marah kepada siapa? Semuanya telah ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya, kehidupannya hanya ditentukan oleh dua tanda: lingkaran merah dengan tanda becak ditengahnya dan satunya lagi persis seperti yang pertama namun ditambah satu garis silang merah dari kiri bawah ke kanan atas. Begitu juga bagi para konsumennya. Dia harus menghitung ulang semuanya: gaya hidupnya, keuangannya dan seterusnya.

Perubahan dalam hal jual beli dari pasar tradisional yang kotor, kumuh ke toko biasa dengan bangunan semen, kemudian supermarket dengan sistem swalayannya terus ke sistem mal atau plaza dengan one stop shopping-nya serta obsesinya menghadirkan sebuah ruang publik di ruang tertutup. Berubah pulalah perlakukan terhadap barang dan orang. Dari proses tawar menawar yang mengindikasikan terjadinya persentuhan manusiawi ke proses di mana kosumen dibiarkan sendirian menghadapi langsung barang-barang dan kekuasaan tanda di baliknya, namun ia tidak punya kuasa sama sekali terhadap harga barang. Dengan sistem belanja yang terakhir ini ia memang mendapatkan kompensasinya: udara segar dari pendingin udara, lantai yang bersih, berbagai pilihan barang, kantong pembungkus barang belanja eksklusif bertanda toko yang barusan dibelanjainya. Di sela-sela rak-rak barang itu ia seperti mendapatkan kepercayaan, seperti dipercayai, padahal sebenarnya nisbi karena ia juga tahu ada kamera pengaman ditiap sudutnya dan pelayan yang berpura-pura menjadi pembeli yang mengawasinya, tidak percaya.

Struktur-struktur ruang mengatur kesadaran manusia akan bagaimana ia bertingkah laku. Bukan ruang yang mengikuti keinginan manusia, namun ruanglah yang menentukan perilaku manusia yang mendiaminya. Tindakan-tindakan individu hanya bisa berlaku berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang telah disediakan oleh struktur ruang yang ada. Memakai sandal jepit ke sebuah plaza, pada dasarnya sah-sah saja, tapi dengan sendirinya individu itu akan menyeleksi dirinya sendiri untuk tidak memakai sandal jepit murahan, setidaknya ia harus memakai sandal jepit dengan merk yang sepadan dengan apa yang diinginkan oleh ruang-ruang dalam plaza itu. Struktur ruang kota menciptakan individu-individu yang selalu merasa bersalah dengan dirinya sendiri, terus-menerus membiasakan mereka untuk melakukan self censorship terhadap tubuhnya, perilakunya dan kerangka berpikirnya.

Di sisi yang lain, struktur ruang yang ada banyak dipergunakan oleh individu-individu untuk menunjukkan identitasnya atau identitas apa yang ingin orang-orang lihat dari dirinya. Tiap individu, tanpa terkecuali, bisa memasukinya. Bisa jadi ada “ruang publik” dalam pengertian Habermasian di sana. Tetapi batasan yang diberikan struktur ruang bagi pemaknaan ulang adalah sangat sempit, bahkan ruang kota bisa menjadi sangat diskriminatif bagi kalangan warga tertentu.

Struktur ruang itu bersifat virtual dan tetap, ia tidak bisa dinegosiasikan. Ia hanya bisa direkonstruksi. Ruang, dalam pengertian Lefebvre, tidak pernah bersifat netral, ia selalu bersifat politis. Ia terlihat netral karena ia ditinggali dan digunakan dan karena ia merupakan fokus arena dari proses-proses pada masa lampau yang jejaknya tidak selalu bisa dilihat pada lanskap yang ada sekarang.

Kota yang berubah sebenarnya mengindikasikan adanya perubahan pada kesadaran warganya. Ditentukan oleh siapa adalah masalah lain. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, budaya pada sebuah masyarakat tercermin pada wujud-wujud bangunan yang ada di kota itu atau mungkin juga mengikuti pola perubahan sosial yang dominan, sehingga sebuah konstruksi bangunan tidak bisa dilepaskan dari proses sosial dan artistik di mana makna-makna dikaitkan dengan bentuk ruang. Sebuah bangunan karenanya tidak bisa hanya dilihat dari fungsinya saja, tapi harus dilihat pula dari sisi asosiatifnya dan komunikatifnya dengan masyarakat di sekitarnya.

Bahwa disini saya secara sadar melihat bahwa perubahan kota dan bangunan didalamnya merubah tingkah laku sosial masyarakat penghuninya. Individu terus menerus dipaksa untuk merubah kesadarannya, tingkah lakunya bahkan seleranya mengikuti perubahan ruang kotanya. Struktur ruang baru akan memecah tata sosial yang ada, kemudian akan direkontruksi lagi mengikuti struktur ruang yang telah menciptakannya. Banyak yang disisihkan tapi banyak juga yang bisa menyesuaikan diri. Kalau dulu manusia pandai menyesuaikan diri dengan perubahan yang berasal dari alam, sekarang nampaknya manusia harus kembali menyesuaikan diri dengan ruang-ruang yang diciptakan oleh tangannya sendiri. Saya tidak tahu apakah ini yang menyebabkan terjadinya alienasi pada manusia kota. Kalau memang benar seperti itu, maka alienasinya berganda. Manusia kota adalah manusia yang tidak merdeka, ia adalah hasil karya struktur ruang kotanya.

Semoga saya sedang tidak mengikuti ilmu sosial reduksionis, yang selalu terpukau akan adanya sebuah hal yang menentukan banyak hal. Bahwa bagi saya masalahnya bukanlah faktor mana yang paling menentukan faktor mana lainnya, tapi bahwa kekuasaan tidaklah tetap, memusat; ia selalu memecah, menyebar, me-mikri diri, berlapis-lapis, seperti, kata Foucalt, lapisan bawang. Kesadaran akan adanya permainan kekuasaan itu, saya pikir yang paling penting. Individu akan sangat sulit mengalahkan ruang-ruang kotanya; tetapi juga tidak selamanya ruang kota berdiri tanpa terkalahkan.

Bagaimana individu menanamkan image pada sebuah ruang yang kemudian menjadi image bagi banyak orang? Bagaimana proses yang dilakukan oleh para individu, yang fakir secara budaya dan finansial, dalam menyikapi makna-makna yang melekat pada ruang-ruang kota yang melingkupinya? Bagaimana mereka bertahan? Mengapa ada sebuah jalan yang dianggap istimewa? Siapa yang menentukan bahwa ia istimewa? Adalah sedikit pertanyaan yang membutuhkan banyak penjelasan, setidaknya buat saya.