Selasa, 13 Januari 2009

Radit dan Jani

Apa jadinya jika Jani bukan anak orang kaya? Apakah Radit akan menyerah dan menyerahkan kembali dia pada keluarganya? Apakah Radit tetap punya keyakinan Jani akan lebih berbahagia jika ia kembali ke keluarganya jika Jani anak orang miskin atau anak sebatang kara?

Saya berharap kedua orang itu tidak perlu dibukakan latar belakang keluarganya. Mereka adalah dua anak manusia yang terdampar dalam suasana menghimpit perkotaan. Mereka mencari – okelah- jati diri: pemberontakan anak muda dari kungkungan sosial di sekitarnya; menjadi ‘lain’.

Tetapi, pembukaan latar belakang Jani yang orang kaya membuat tarik menarik antara asa dan realitas tidak lagi menggigit, setidaknya buat saya. Karena ada ‘kemapanan’ yang kemudian menjadi tumpuan kedua orang itu. Sejauh apapun resiko yang ditantang, diakhirnya mereka tahu, jika pun kalah, mereka tetap akan dapat ‘rumah’ untuk pulang. Sehancur-hancurnya mereka, mereka tahu ada ‘pulau’ yang akan menyelamatkan mereka.[ bahwa film ini dengan sengaja menunjukkan bahwa kemapanan, terutama kemapanan finansial, adalah juara, tidak akan saya singgung].

Jika saja kemapanan itu tidak dibentangkan di depan penonton atau barangkali jika kemapanan itu ‘ditundukkan’, layak kiranya kita akan melihat perwujudan karakter lain dalam film Indonesia dan membuatnya menjadi film yang tidak hanya kuat secara dialog, tetapi juga mengetengahkan karakter ‘lain’ tokoh film Indonesia.

Selama ini, terlalu sering kita melihat tokoh cerita terlalu disayang oleh sutradaranya. Kebengisan apapun dalam hidupnya pada akhirnya akan digantikan oleh kebahagiaan. Kita tidak pernah melihat tokoh cerita yang benar-benar dahsyat hancur sebesar apapun usaha dia untuk tidak hancur.

Tokoh cerita kita selalu saja diselamatkan, entah oleh nasib atau oleh kerja kerasnya. Seolah semua usaha kita akan berbuah manis kelak. Seolah, setelah apa yang dilaluinya, dia berhak mendapatkan ganjaran kebaikannya: hidup sehat dan bahagia. Seolah setelah mulut kita pait dan perut mual melihat penderitaannya, kita layak disingkirkan keresahannya dengan cara menjadikan tokoh kita bahagia. Kita seolah tidak pernah mau melihat kenyataan bahwa ada nasib yang benar-benar tragis, tanpa ampun, ada jutaan orang yang sudah bekerja keras tetapi tidak sampai maksudnya. Sepertinya dengan cara seperti ini, kita terlalu menyandarkan diri pada nasib, pada kepercayaan bahwa kelak kita akan dapat ganjaran yang lebih baik. Kelak.

Pola ini sebangun dengan sinetron kita yang akhirnya kita: akh santai aja...walaupun ia disiksa dan dihina sekarang...ia akan bahagia kelak karena..[anak orang kaya yang terbuang, bla, bla..]. Tetapi, berapa nasib yang seperti itu? [dan, lihat pengaruh “ia akan” itu pada mental?]

Perhatikan film turtle can fly, tidak ada yang berbahagia di akhir film itu, semua tokoh kehilangan. Tetapi saya rasa kita akan puas menyaksikan “kemenangan-kemenangan kecil” tokoh kita di awal dan pertengahan film itu.

Tidak perlu selalu kita saksikan peluk bahagia di akhir film kita, karena terlalu sering jadi terasa munafik.

Dalam “perang” yang diusung film Radit dan Jani, sedari awal saya tahu tokoh kita akan, bahkan pasti kalah. ‘Pertempuran-pertempuran’ di antara awal dan akhir film itulah yang sebenarnya bisa memberi “arti” pada kita. Sayang, akhir film ini bahagia. Radit tidaklah kalah [bahagia dalam kekalahannya? ] ketika ia menyerahkan Jani pada kemapanan itu, karena ia yakin Jani akan terawat secara finansial – yang sayangnya menjadi alasan terbesar dia melepaskan Jani kembali ke keluarganya. Ia teryakinkan, kebahagian yang selama ini dicarinya hanya ada dalam genggaman “kemapanan” itu. Tidak ada akhir seperti dalam film she’s so Lovely: tahu kesulitan dan mungkin kesengsaraan lebih dekat jika kembali kepada Eddie [Sean Pean], tetapi bagi Maureen [robin wright penn] tidak apa-apa jika ganjarannya adalah lebih “hidup”. Dalam film Indonesia sepertinya tidak ada alternatif lain. Tidak ada?