Kamis, 25 Desember 2008

Di Bawah Pohon, Lihat Garin

Menyaksikan film terbaru Garin Nugroho “Under the Tree” , saya menyadari sesuatu yang sering saya saksikan di film-film Indonesia. Dua kejadian, Marcella Zalianty yang tersedu-sedu melihat berita TV tentang bayi-bayi yang dibunuh orang tuanya serta Nadia Shapira yang meradang melihat ayahnya diseret oleh KPK di dalam TV. Saya menyadari dua kejadian ini bukan hanya sebuah cerita yang dituturkan/didialogkan– dan bukannya dibuatkan adegannya – yang bisa [tapi masa sih berani 'nanya' Garin Nugroho!] memperlihatkan kekurangmampuan sutradara dalam mendedahkan ceritanya pada film, tetapi juga dalam banyak hal menunjukkan bagaimana orang Indonesia dalam melewati realitas di depan matanya.

Ketidakmampuan -  atau bisa jadi malah ini adalah “cara” – orang Indonesia dalam memahami realitas diwujudkan dalam menceritakannya, tidak menghadapinya secara langsung. Karena itu pula, mistik, agama, spiritual berurat akar di sini karena ia menjadi ‘tirai’ dalam melihat realitas. Daripada mengintegrasikan ‘kejadian nyata’ berupa pembunuhan bayi oleh orang tuanya ke dalam cerita yang sedang berjalan, lebih baik diceritakan saja, walaupun efeknya sama: merubah arah cerita. Ia bisa juga penyederhaan, tetapi di sisi lain itu menunjukkan cara pandang kita dalam melihat realitas yang -dipandang-gersang.

Dengan membuat tirai berupa agama, mistik atau spiritual, kita lebih tenang melihat realitas tanpa harus menyentuh langsung masalah itu. Kita merasa bisa menyelesaikan masalah buruknya management pemerintahan dengan cara menceritakannya pada orang lain daripada menghadapinya dengan terjun langsung ke sana: melihat dari dekat, terbanting, membuatkan jalan keluar, gagal, sedikt berhasil, dst. Masih ingat gurauan Gusdur yang katanya kalo makalah seminar orang Indonesia itu kalo ditumpuk nyampe ke Bulan; tapi kita masih begini saja.

Tapi, di luar itu Garin memang pandai meramu mitos-tradisi-tradisional dengan laju modernitas. Kadang membuatnya tampak berhadapan, kadang saling menjalin, dan kadang - ini yang genius - membiarkannya berjalan di jalannya masing-masing. Memang terasa sur-real gitu lihat Marcella harus ketemu dukun untuk hanya tahu apa yang harus disembuhkan dalam hatinya akibat kekecewaan pada ibunya [apa?hemh, hanya Garin yang tahu]. Atau bisa dilihat dari karakter Ikranagara - yang sepertinya representatif orang modern yang jenuh - memilih cara kematian yang agung dengan main sebagai mayat dalam lakon Calon Arang.

Ketika bijih telah jatuh dari inangnya, ia tidak kuasa lagi menentukan - bahkan meminta - di tanah mana ia akan membuka [atau tidak membuka] kulit bijihnya. Ia harus pasrah, dunia menentukan keberadaannya. Tapi pada saat yang sama, Dunia tidak bisa merubah "jati-diri" yang dibawa -okelah, sebagai energi potensial- di dalam bijihnya. Tarik menarik antara takdir dan kehendak bebas manusia adalah.......