Senin, 18 Juni 2007

Sang Pemberontak Itu...



Tak sengaja menemukan buku ini di rak obral Metafor pameran buku setahun kemarin. Aku tak tahu banyak tentangnya, tapi namanya begitu familiar karena kerap disebut-sebut di majalah Rolling Stone sebagai salah seorang penulis dan fotografer terbaik yang pernah dimiliki Rolling Stone. Dari situlah perkenalanku dimulai....
Setelah setahun lebih kematiannya, aku baru saja mengenalnya. Satu lagi kisah tentang figur pemberontak abad ini yang akhirnya memilih bunuh diri sebagai bentuk kemuakan pada prilaku zaman. Ya, Hunther bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri, di usianya yang ke 67, tahun 2005 lalu. Berita kematiannya menjadi headline di banyak media Amerika Serikat, termasuk di majalah Rolling Stone yang menulis panjang kisah hidupnya. Hunther, seorang penulis yang disebut-sebut sebagai peletak jurnalisme gonzo (dari kata gonzaga yang artinya absurdity), gaya penulisan yang keluar dari aturan konvensional, dimana penulis terlibat sebagai tokoh cerita. Selain sudah menulis beberapa novel (The Rum Diary, Hell's Angels, dll), Hunther juga banyak menulis untuk Rolling Stones, Esquire, The New York Times, The New yorker, dan lainnya. Hunther mendasarkan gaya tulisannnya pada ide William Faulkner, bahwa 'fiksi adalah fakta yang terbaik', yang sekarang diakui sebagai jurnalisme narasi yang sedang menjadi tren penulisan baru di media Barat.
Itu sekilas tentang Hunther. Kembali ke soal buku ini. The Proud Highway ini adalah volume satu dari tiga volume yang direncanakan, berisi kumpulan surat-surat yang ditulis Hunther untuk teman-teman, kekasih, penerbit, tukang kredit, pegawai pemberi tunjangan pengangguran, dan orang-orang lain di sekitar Hunther. Bayangkan, dalam sepanjang hidupnya Hunther telah menulis surat kurang lebih sampai 20.000, yang semuanya diketik mesin tik. Belum pernah aku dengar ada orang yang menulis surat sebanyak itu sepanjang hidupnya. Dan dari tiap surat itu ia selalu membuat kopian dari kertas karbon, ck.ck.ck.
Uniknya lagi, Hunther mengaku, ia justru 'gatal' menulis surat-surat itu justru ketika sedang sibuk-sibuknya dengan tulisan-tulisan lain, dengan deadline, istilah sekarang. "It's been my experience that I only write letters when I'm overwhelmed with my other obligations-or the lack of them-and feel the need to get my mind to some other place," tulisnya pada Eugene McGarr, salah seorang teman lamanya yang tidak pernah membalas suratnya.
Di buku volume pertama ini surat-suratnya dari kurun 1955-1967, masa-masa tersulit dari kehidupan Hunther, awal perjuangannya menjadi seorang penulis. Mengawali kariernya sebagai wartawan olah raga bergaji kecil, Hunther menganggap itu adalah batu loncatan obsesinya untuk menjadi penulis, ia tengah menyelesaikan novel pertamanya Hell's Angels. Hunther orang yang punya kepercayaan diri yang sangat tinggi, ia menyebut karyanya sebagai tulisan terbaik setelah eranya William Faulkner. Tapi, meski sudah ditawarkan di banyak penerbit, tak satupun yang mau menerbitkan karyanya. Namun, ia tak pernah putus asa, pada sahabatnya ia menulis bahwa begitulah jalannya seorang penulis besar, harus susah dulu, ditolak ribuan kali oleh penerbit, apa yang dialaminya belum seberapa dengan yang dialami James Joyce, Hemingway, dll.

"Sad? Hopeless? Well, perhap it is. Before we assume that, though, Id like to quote one or two little thing I came across recently":

(a). From 19119 to 1927 I sent stories to American magazines without being able to sell one until the Atlantic Monthly published a story called Fitfty Grand.
(Ini cerita Ernest Hemingway yang tulisannya baru diterbitakan setelah 8 tahun)
(b). After hours I wrote stories..there were nineteen altogether..No one bought them, no one sent personal letters. i had one hundred and twenty-two rejection slips pinned in a friezed about my room.
(ini tulisan Scott Fitzgerald).

Dan begitulah, ia gigih memperjuangkan eksistensinya sebagai penulis, meski ia sempat beberapa lama menjadi pengangguran dan hanya hidup dari uang tunjangan sosial. Dalam setiap suratnya, pada siapapun, Hunther selalu menulis dengan detil dan keintiman, sepertinya semua surat ditujukan pada orang yang dekat dengannya. Padahal tidak selalu demikian. Sehingga lewat suratnya pula bisa ditelusuri kisah hidupnya, petualangannya, pemikiran-pemikirannya.
Buku surat-surat volume keduanya berjudul Fear and Loathing in America : The Brutal Odyssey of an Outlaw Journalist, tebalnya sampai 700 halaman. Sementara buku volume tiganya direncanakan baru akan terbit oktober mendatang.