Rabu, 20 Juni 2007

Menghilang bersama Riga: Turtle can fly

Menghilang Bersama Riga


Oleh: Mumu Muhajir


Aku barusan nonton film Turtles Can Fly. Gila, inilah beberapa film yang membuat aku tidak hanya menitikkan air mata, tapi menangis! Manusia tanpa harapan, bukan karena dia tidak berusaha, tapi karena keadaan, haruskah aku katakan itu takdir, memutuskan lain dalam hidupnya. Manusia di tengah arus zaman, mengarungi kabar waktu yang tak menentu.

Film ini dari awalnya pun akan berbicara lain. Sepasang kaki lembut meloncat dari bibir jurang. Lalu muncullah mata gadis kecil itu, sekitar 10-an tahun, bernama Agrin, dingin, beku, tanpa emosi; seorang pengungsi Kurdi, yang melumatkan hati seorang Satellite, pemuda kampung asli, pemimpin anak-anak, prototipe anak penuh harapan. Agrin tak pernah memberikan aku kesempatan untuk sekedar tersenyum ketika aku lihat anak kecil itu, Riga [awalnya aku sangka ia adalah adiknya, ternyata ia adalah anaknya Agrin, hasil dari pemerkosaan, mungkin oleh tentara Irak, ketika perkampungan Kurdinya diserang], memanggil-manggil Bapak, Ibu; mata miliknya seperti hampa, selalu melihat kosong ke depan atau mungkin ke belakang, ke kekelaman masa lalunya. Akting anak ini luar biasa. Bagaimana ia mengekspresikan kegalauannya, kesakitannya, atas apa yang terjadi padanya ketika dia juga tidak mengerti apakah semua itu, dengan sangat brillian? Ia masih kecil, tapi harus membesarkan anak kecil lainnya. Ia hanya bisa memukul anak itu, memarahinya sebagai anak haram, dan kalau ia melakukan itu ada Henzov, kakaknya, kedua lengan hilang karena kena ranjau, yang akan menasehatinya.

Jalinan kisah itu tak pernah dibiarkan mengambang, tapi seperti terus menderu, dirangkai dengan jalinan yang sangat kuat [bukti satu skenario yang hebat], hampir aku tidak bisa bernapas. Kesedihan demi kesedihan, ironi demi ironi, berjatuhan seperti selongsong rudal yang dijatuhkan anak-anak dari truk di bawak komando Satellite. Ada banyak adegan untuk menggambarkan itu dan aku merasa kekenyangan: Riga yang menangis di gerimis pagi hari; Riga yang mengelilingi selongsong ranjau dan memanggil-manggil bapak atau ibu [memonyongkan mulut lucunya pada selongsong rudal, seperti menuntut: benda ini harus ditanyai kemana bapakku, kemana Ibuku]; Riga, dengan mata butanya, ketika ditinggal pergi Adrin di sebuah tempat di mana ranjau-ranjau tertanam dan masih aktif; Adrin yang bolak-balik hendak bunuh diri [sebuah keberanian, karena seingatku, ini menyimpang dari tradisi film Iran, kecuali Abbas Kiarostami dengan The Scent of Cherry-nya] atau bahwa ranjau yang mereka bersihkan adalah buatan Amerika, negeri yang kemudian datang ke mereka bak pahlawan.

Kenapa harus bunuh diri? Bukankah Kurdi, bangsanya, sedang terbetik harapannya akan datangnya kebebasan setelah Amerika menyerang Irak dan
berhasil menumbangkan Saddam Hussein, sang algojo kehancuran bangsanya? Bukankah seharusnya mereka bertiga harus ikut senang? Tapi kehadiran Riga, anak yang tidak diharapkannya, lahir dari lelaki yang tidak dikenalnya dan dimusuhinya adalah masalah yang terus menerus membebani Adrin. “Bagaimana aku harus menjelaskan itu pada orang-orang setelah Kurdi merdeka kelak?” ia bertanya ganas pada kakaknya, “Apakah bisa aku katakana bahwa ia anak yang kita temukan di tengah jalan?”.

Kurdi mungkin akan merdeka atau setidaknya ia akan mengalami masa-masa yang lebih baik daripada sebelumnya. Tapi apakah itu juga harapan baru bagi anak-anak bangsanya, seperti Adrin, Henzov atau Riga? Disinilah secara jenial film ini memaparkan kisah kecil tentang luka besar anak-anak bangsanya, yang bisa jadi terharu-biru oleh semangat nasionalisme bangsanya atau kesejahteraan bangsa secara luas. Terlupakan dan hanya jadi cerita lisan atau disimpan dihati dan dimakan cacing dikubur sana. Mereka tidak peduli apa yang akan terjadi pada bangsanya karena mereka lebih tahu apa yang akan terjadi pada diri mereka sendiri. Mereka tidak punya hak untuk disebut tidak peduli, tapi luka yang selama ini mereka pendam pada siapa mereka akan mengadu? Apakah bangsa Kurdi akan menerima rintihannya? Apakah manusia lain juga akan dengan sangat rendah hati mendengarkan kesedihannya? Satellite mencoba itu, tapi juga gagal. Barangkali hanya mereka sendiri yang bisa memahami luka mereka sendiri, dan jika ini yang terjadi maka carut marut dunia lengkaplah sudah.

Inilah film yang sekali lagi mencoba menghadapkan kembali antara sejarah individu vis a vis sejarah besar bangsanya, atau sejarah besar apapun. Dengan sangat sengaja dalam film ini mereka bertiga tidak pernah diikutkan dengan semangat penduduk kampung mencari berita perang AS-Irak atau bahkan ketika akhir kehancuran kekuasaan Saddam Hussein itu tiba. Seolah mereka bertiga sedang menuturkan sejarahnya sendiri yang mungkin bertentangan dengan sejarah yang dibaca orang di kemudian hari.

Diakhirnya, setelah kabar bahwa Saddam telah berakhir, maka itu juga akhir bagi Adrian, Riga dan Henzov. Akhir mereka berbeda dengan akhir yang dialami oleh bangsanya atau oleh musuh-musuh Saddam Husein. Ketika akhir bagi banyak orang malam itu adalah merayakan kehancuran kekuasaan Saddam, menyambut datangnya fajar baru perubahan, mereka memilih akhir yang lain: Riga dijeburkan Adrin ke telaga, Adrin membunuh diri ke jurang, dan Henzov pergi entah kemana. Kegegapgempitaan orang-orang disekitarnya seolah gong tanda bahwa mereka harus segera berakhir. Fajar kegemberiaan di mata mereka bukanlah sesuatu yang menjanjikan. Tapi itu juga beban baru dalam hidup mereka. Mereka tidak bisa lagi. Tatanan baru berarti cara hidup baru, cara pakaian baru dan segala hal yang baru.

Mungkin juga harapan mereka makin menipis ketika apa yang selama ini mereka angkut di dalam diri mereka makin memberat dari hari ke hari. Mereka cape harus menjadi selamanya pengungsi. Selamanya berpindah-pindah. Mereka tiga orang yang "cacat": Henzov, tanpa lengan, dingin dan tak mau berteman, punya beban dengan kekuatan supranaturalnya; Riga, balita tanpa penglihatan dan Adrin adalah seorang yang hancur di dalam tubuhnya, jiwa yang telah remuk dan dipaksakan harus terus dipakainya. Apa yang bisa diharapkan dengan keadaan mereka bertiga seperti itu? Bagaimana mungkin kita harus terus memakai pakaian yang telah rusak, telah busuk, telah aus dan harus menghadiri sebuah pesta besar dengan pakaian seperti itu? Tahankah kita dengan hinaan yang akan datang ke kita, walaupun itu berbentuk tatapan kasihan atau bahkan uluran tangan?

Dengan sangat halus film itu bertanya: harapan bagi siapakah kebebasan itu?Atau siapakah yang mengambil keuntungan dari lahirnya kemerdekaan itu? Saya tidak berani untuk mengatakan bahwa harapan itu buat mereka bertiga.

Maka akhir itu adalah sah. Maka bunuh diri itu sah, sebagaimana juga aborsi yang seharusnya dilakukan buat Adrin [yang bagi orang Islam adalah tidak boleh] dulu. Kecuali kalau kita, sebagai manusia sesama, menghampirinya, mendengarkan apa yang terjadi, menemaninya, menjadikannya sebagai bagian dari diri kita sendiri dan menemukan luka yang sama di dalam kita sendiri.

Tapi apakah itu mungkin? Kita bisa belajar dari bagaimana cara Satellite dan kawan-kawan kecilnya mencoba mendekati Adrin dan Henzov. Satellite harus mengorbankan salah satu kakinya ketika harus menyelamatkan Riga, yang dengan sengaja ditinggalkan oleh Adrin di tengah lading ranjau. Bahkan ketika di hari akhir itu, ia masih gagal menyelamatkan Riga. Barangkali benar bahwa kesedihan adalah milik masing-masing. Tenaga empati sebesar apapun yang kita miliki tetap tidak akan bisa menyelami segumpal hati milik orang lain. Yang kemudian dilakukan oleh Satellite, dan mungkin juga kita, adalah tetap berusaha, meskipun pada akhirnya kita hanya bisa meratapi ketidakberdayaan kita di bawah mesin sejarah.