Senin, 18 Juni 2007

Pans Labyrinth: Batas mana iman kita harus tunduk

Pans Labyrinth: Batas Mana Iman Kita Harus Tunduk?



Oleh: Mumu Muhajir


Film ini dibesut oleh Guillermo Del Toro, seorang sutradara kelahiran Spanyol yang cukup dikenal dengan kejeniusannya. Film ini memcoba untuk mencari cerita fabel yang bisa mewadahi kejadian di alam nyata. Tentu dengan ada tanda kutip di kedua kata itu. Seorang anak kecil mencoba mencari arti apa yang sedang terjadi di luar dirinya dengan menggunakan imajinasinya. Dia telah kehilangan ayahnya dalam perang; dia harus menerima kondisi bahwa ibunya telah menikah dengan seorang Kapten dalam pemerintahan fasis Jenderal Franco di Spanyol dan sedang mengandung anaknya. Dalam perjalanan menuju benteng terakhir antara pemerintahan fasis dengan para pemberontah, dia menemukan dunianya: dia adalah Puteri Moana, seorang puteri dari Alam Bawah, yang punya keinginan melihat dunia manusia di atas sana, yang berhasil keluar dari penjagaan Fraun, penjaganya, dan berhasil masuk ke dunia manusia tetapi matahari membuat ingatannya terbakar dan tidak bisa lagi mengingat siapa dirinya , hingga akhirnya dia mati dan menunggu seorang titisan manusia lain agar ia bisa kembali pulang ke Alam Bawah.

Selain mecoba mencari kesamaan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata, film ini bersisian dengan jaman fasis di mana segala perintah dari yang berkuasa harus dituruti; kalau tidak akan ada malapetaka yang datang kepadanya, entah kesukaran, kematian. Puteri itu dalam rangka keluar dari dunia nyata yang fasis itu juga harus mengikuti beberapa test yang diberlakukan oleh Fraun sebagai syarat dia bisa mengunjungi Alam-nya. Perintah itu sangat berat dan walalupun kita tidak pernah tahu apakah yang dilakukan oleh puteri itu nyata atau hanya ada dalam khayalan, kita tahu bahwa ada seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh gadis itu. tidak boleh memakan apapun untuk melewati test kedua, misalnya, yang ternyata dia tidk bisa menahan hasrat untuk memakan beberapa butir anggur dan karenya mengorbankan para peri pelindungnya. Farun tentu saja marah dan merasa bahwa perintah itu diberikan untuk kebaikan gadis itu sendiri.

Tapi batas mana kita bisa tahu bahwa perintah ini penting bagi kita dan perintah lainnya malah memberikan kesulitan bagi kita. Ketika sang kapten memerintahkan pemberontak untuk dibunuh atau seorang penguasa memerintahan kita untuk mematuhi aturan itu, sejauh mana kita harus bersikap seperti kita menerima perintah agama atau tuhan kita? Mungkinkah perbedaannya karena yang terakhir ini memberikan efek ”baik” bagi kita, semacam berkah, yang akan kita terima di masa sekarang atau di masa depan? Tetapi siapa yang menjamin bahwa berkah itu benar-benar datang? Perlukah kita mematuhi perintah?

Beberapa sekte keagamaan, bahkan syarat-syarat sufi, selalu mengandung ketaatan pada perintah sang mursyid/guru. Karena itulah jalan kebenaran. Keras dan tanpa keraguan. Tapi bagaimana kita memperlakukan perintah-perintah lainnya? Jika dengan ketaatan itu kita menemukan kebenaran, kenapa perintah yang lain justru memuat kita berjalan sebaliknya?

Sampai pada suatu akhir, sang gadis berhasil meraih kepercaaan lagi sang Fraun dan berhasil menyelesaikan test terakhirnya: membawa serta adiknya ke ujung Labyrin sebagaimana perintah. Yang dia tidak tahu adalah Sang Kapten, ayah dari adiknya, menyusulnya. Ternyata sang Fraun meminta bayi itu untuk dikorbankan. Sang gadis menolak, walalupun dia tahu kesempatan dia untuk kembali ke Alamnya musnah. Sang Fraun sempat memberikan keringanan: hanya meminta beberapa tetes darah dari orang yang masih suci. Tetapi sang gadis tetap menolak.

Sang fraun kemudian memberikan petuahnya; jika demikian maka konsekuensinya ditanggung sendiri. Sang Kapten berhasil menyusul ke ujung labirin itu dan menembaknya. Gadis itu mati, tetapi beberapa tetes darahnya berhasil membasahi ujung labirin itu. Dia justru selamat, karena dia mengorbankan dirinya.

Di sini film ini menimbulkan dilema. Jika saja sang gadis itu menyerahkan adiknya, apakah ia akan diselamatkan kembali ke alamnya? Bukankah syarat utamanya hanya darah yang suci? Apakah memang dengan ersikap utilitarian seperti itu, keselamatan akan sampai kepadanya? Film ini mengambil sikap terakhir.

Tetapi tetap saja pertanyaan muncul: sejauh mana kita harus tunduk pada perintah apapun yang jika dilaksanakan/tidak dilaksanakan memberikan berkah bagi kita? Keyakinan? Nilai-nilai kebaikan umum?