Membawa Napas Sinetron ke Dalam Teater Kita
Oleh: Mumu Muhajir
Menonton teater memang berbeda jika kita melihat tayangan televisi, seperti sinetron. Selain faktor ke-real-an, juga ada konsekuensi lain yang timbul karena adanya media yang berbeda. Dalam teater yang kita saksikan adalah adu akting, tata panggung yang sekali jadi yang tidak mungkin diulang di kesempatan berikutnya. Yang sudah terjadi akan segera menghilang, raib, kecuali dia bisa membekas, syukursyukur di dalam ingatan. Sementara dalam televisi, sebagaimana media audio visual lainnya ada keberjarakan yang membuatnya bisa mengulang dan mengulang terus, sehingga bisa dihasilkan sebuah adegan yang terbaik. Karena itu unsur ”pensettingan” menjadi lebih leluasa dilakukan. Penonton akhirnya hanya melihat apa yang dipilihkan oleh sutradara Audio-visual, berbeda dengan penonton teater yang masih punya memperhatikan hal-hal lain yang di luar panggung.
Tapi bagaimana jika teater dipersembahkan pada penonton yang hidup di sekitar dominasi persinetronan kita. Saya tidak akan mengulas kembali betapa buruknya kondisi persinetronan di televisi kita. Saya hanya ingin meliha dampaknya di dalam jagad perteateran di Indonesia.
Saya menonton EKI dengan judul Miss Kadaluwarsa tidak dengan membawa pretensi seperti layaknya saya menonton teater lain, seperti Garasi. Saya sudah tahu bahwa EKI mencoba membawa gaya lain: sedikit komersial, urban dan ringan. Apapun makna ringan itu tadi.
Sayangnya adalah dalam lakon ini saya terlalu dibebani dengan monolog-monolog panjang yang kebanyakan malah melelahkan dan mengingatkan saya pada gaya sinetron-sinetron kita. Semisal tokoh yang seperti sedang membatin, berbicara dengan dirinya sendiri. Memang jika tokoh itu jago dalam bermonolog atau setidaknya mengerti bagaimana caranya mengatur jeda antar kalimat, antar suasana, bagaimana memanfaatkan ruang hening antar kalimat, mungkin hasilnya akan sangat lain.
Tetapi terlalu banyak monolog yang seperti tidak tahu kapan harus menahan napas dan kapan pelapalan itu harus bernas dan menggebu-gebu. Ada banyak adegan yang sangat panjang dengan isi muatan cerita yang pendek dan kadang sangat tidak berarti bagi keseluruhan plot cerita, sehingga terkesan hanya sedang menjual artis dalam produksi ini, seperti monolognya Aida Nurmala di pekuburan ayahnya atau Uli Herdiansyah ketika dapat rumah baru. Sungguh kedua kejadian itu membuat saya harus menutup dua kuping saya. Sebuah insting ketika saya melihat adegan yang memalukan diri saya sendiri.
Saya pikir, mengikuti selera penonton dan mencoba tidak berat-berat tidak harus jatuh ke dalam adegan-adegan yang tidak masuk akal atau malah membosankan, sehingga menurunkan penilaian pada aspek-aspek lainnya. Juga jika emang mau bepartisipasi dalam hiruk pikuk ”kehidupan sosial yang dekat” kenapa tidak memberikan nilai tambah dalam kehidupan penontonnya dan tidak hanya hadir dalam rangka menonton dan atau hanya sekedar memperkuat perilaku konsumtif? Setidaknya nanti akan ada cerita orangorang modern dari kehidupan biasa kita yang ternyata, bukan hanya menarik untuk direnungkan, tetapi juga menjadi obat penyeimbang bagi kegersangan orang.
Atau sudah demikian jijik-kah dengan konsep Seni untuk Rakyat itu? Seni yang membawa pesan tertentu itu? Demikian agungkah Seni Untuk Seni itu?
Sebenarnya, pertunjukan ini, setidaknya menurut saya, tidak akan terlalu terjun bebas berubah menjadi teater-sinetron, ketika sutradara atau tim dibelakangnya bisa menggarap perubahan tokoh Sampek-Engtay menjadi Loro-Blonyo. Perpindahan karakter memang sempat dibicarakan dengan penuh kebingungan dan canda oleh tokoh Sampek Engtay, tetapi hanya sampai di sana dan mereka berdua berubah menjadi seperti tokoh yang membawakan cerita. Padahal di awal sudah ada tokoh yang juga menjadi tokoh narator, yang malah memeperkenalkan tokoh Sampek-Engtay yang berubah jadi Loro-Blonyo. Bingung.
Dalam pandangan saya, tentu akan menarik jika tokoh Loro-Blonyo yang Jawa itu itu digarap lengkap dengan segala kontradiksinya atau usaha untuk menerima keadaan barunya itu atau kegagapannya atau apapunlah asal tidak hanya sekedar tokoh narator saja. Saya mengira itu juga bisa menjadi refleksi kita tentang kondisi peranakan Tionghoa terkini di Indonesia, yang saya rasakan masih ”kagok” untuk berbaur dengan etnis lainnya di republik ini.
Sutradara malah akan mempunyai kebebasan untuk membuat geneologi dari si Loro-Blonyo ini. Tentu itu akan menjadi mitos modern yang sangat bagus.
Nama pertunjukan: Miss Kadaluwarsa
Tempat/waktu : DKJ, Sabtu, 26 Mei 2007
Produksi : Eksotika Karmawibangga