Rabu, 13 Juni 2007

Pembacaan Novel Menschenflug

Pembacaan Novel Menschenflug – Hans-Ulrich Treichel

Oleh: Mumu Muhajir

Pertunjukan pembacaan novel merupakan hal yang lumayan jarang dilakukan di Indonesia ini atau setidaknya saya tidak yakin pertunjukan seperti ini sering dilakukan di Indonesia. Pernah saya mengikuti pembacaan novel, tetapi itu juga karya novelis asing. Seingat saya, sangat jarang ada pertunjukan pembacaan novel karya bangsa sendiri. Saya tidak bisa mengira bahwa kejarangan itu menjadi ciri dari buruknya kualitas literer novel bangsa kita. Tapi mari kita tidak berbicara mengenai hal itu.

Berbeda dengan pertunjukan teater yang mencoba mengetengahkan pada pemirsa ”keutuhan” sebuah cerita; dalam arti bahwa sangat jarang kita melihat sebuah pertunjukan teater yang hanya separuh awal dan akhir dari naskah yang ada. Sepertinya teater selalu harus tuntas dalam pertunjukannya. Persoalan setelah itu masih harus ada hal yang mengganjal atau terasa kurang adalah hal berbeda. Tetapi justru itulah masalahnya dalam pertunjukan pembacaan novel. Apakah maksud penyelenggara kegiatan itu: mengajak pemira untuk memahami jalan cerita, keindahan lekuk bahasa dari novel yang disajikan padahal sangat tidak mungkin dalam pertunjukan itu dibacakan seluruh novel [kecuali jika novelnya pendek] atau sedang mencoba mengenalkan seorang novelis baru atau hanya sekedar sedang berjualan?

Pertanyaan itu muncul ketika saya mengikuti sebuah pertunjukan pembacaan novel menschenflug karya Hans-Ulrich Treichel, seorang novelis asal Jerman. Saya tentu tidak akan bersikap seperti saya menghadapi sebuah novel yang dibaca[-kan] seluruhnya ketika yang saya hadapi adalah pembacaan sepenggal bagian dari sebuah novel. Tentu akan sangat janggal menangkap dan merasa mengerti novel itu atau bahkan bersikap terhadap novel itu jika kita belum membaca keseluruhan novel itu, bukan? Apalagi ini adalah novel dengan bahasa Jerman [dibacakan pula terjemahan Bahasa Indonesia], dengan seorang novelis yang juga pertama kali saya dengar ditambah dengan judul novel yang lumayan aneh [Tahun-tahun manusia?]. Lalu apa yang diharapkan dari pertunjukan ini?

Pertanyaan itu berturutan dengan pertanyaan lain: apakah saya harus bersikap seperti menghadapi pertunjukan pembacaan puisi, di mana saya hanya menyiapkan instuisi saya saja tanpa berusaha ”menangkap” maksud puisi itu dan cukup puas dengan kemahiran pembuat puisi itu merangkai kata? Tetapi bentuk sastra memaksa kita menghadapainya dengan cara yang berbeda bukan? Tidak pernah ada yang menyamakan bentuk novel dengan bentuk puisi, bukan? Sebuah kepejalan kata dan mungkin ’makna’ sangat sulit disandingkan dengan kemahaluasan rangkaian kata.

Masalahnya adalah saya hanya tahu bahwa yang saya hadapi adalah pertunjukan dan yang saya hadapi adalah sesuatu yang asing, maka saya membuat tanda kurung [tidak persis sebagaimana diinginkan phenomology-nya Husserl] dalam otak saya yang berisikan pertanyaan-pertanyaan tadi. Jikapun setelahnya saya tertarik dengan novel yang dibacakan, mau membelinya jika ada, maka strategi mereka [penyelenggara] telah berhasil, bukan? Dengan kata lain saya menghadapinya akan seperti menghadapi seorang sales yang sedang menjajakan barang dagangannya.

Atau jika merasa terhina dengan perlakuan yang sama dengan barang, maka mungkin saya akan bersikap seperti nabi-nabi Yunani kuno yang mendapatkan wahyu dari Hermes. Tentu Hermes tidak akan berbohong akan wahyu yang akan disampaikannya; tetapi tetap ada yang tidak sempat dia katakan. Barangkali seperti itu. Nabi itu akan percaya bahwa wahyu yang diterimanya adalah kebenaran sebagaimana diinginkan oleh Tuhan/Dewa. Walaupun mungkin jika ia mengetahui posisi Hermes [yang tidak akan berbohong namun tidak akan bisa menyampaikan keseluruhannya] barangkali dia juga akan sedikit terkhianati. Nah saya tahu posisi pertunjukan ini, beserta, barangkali aktor-aktornya. Mereka tidak akan berbohong, namun tetap saja keseluruhannya dianggap akan datang kemudian. Bahwa keseluruhan itu tidak mungkin tersampaikan karena keterbatasan waktu, misalnya.

Jadi begitulah saya berpura-pura sedang menjadi nabi yang akan mendengarkan ”wahyu” berupa Novel yang paham bahwa yang disampaikan bukanlah keseluruhan isi ceritanya. Kira-kira yang sampai ke saya seperti ini.

Novelnya sepertinya pendek. Novelis dan seorang lagi yang membacakannya dalam bahasa Indonesia membutuhkan waktu satu setengah jam kurang untuk membawakan tiga babak dalam novel itu: bagian awal, tengah dan akhir.

Seseorang bernama Hans-Ulrich Treichel [HUT] membuat sebuah novel, yang tokoh utamanya, Stevan, terpaksa membuat sebuah novel akan cerita masa silam keluarganya, tepatnya cerita tentang hilangnya sang kakak Stevan, yang lumayan akhir-akhir ini terus saja mengganggunya. Pembuatan novel itu dimaksudkan untuk mengakhiri sabbatical Stevan yaitu tidak berbicara mengenai masa lalunya. Ternyata penulisan novel itu justru mendatangkan masalah lain yang cukup mengganggu karena Stevan menemukan berbagai hal-hal baru yang membuatnya mau tidak mau harus memverifikasi beberapa data yang didapatnya sehubungan dengan hilangnya kakaknya. Dia tidak bisa lagi menghadapi masa lalunya dengan membuat novel, sebaliknya dia harus mencari dengan sungguh-sungguh kebenaran hilangnya kakaknya. Akhir memang dia bisa menemukan keberadaan kakaknya. Sayangnya justru kakaknya yang bersikap tertutup, dia tidak lagi peduli dengan masa lalu dan masa depannya. Stevan merasa kecewa dengan itu dan dia memutuskan untuk ’terbang’ menjauh dari hiruk-pikuk semua itu.

Saya memberanikan diri untuk menemukan pola yang kira-kira seperti ini Stevan [S] mempunyai masa lalu [A], memaksanya membuat novel [B] agar dia bisa tidak lagi tidak peduli pada A. Sayangnya dia tidak bisa menghadapi A dengan B karena B pada dasarnya seperti ”tidak mempersonalkan” A. Dengan B dia memang bisa menceritakan kisah A, tetapi dia bisa juga menambahkan hal lain, dramatisasi, misalnya. Padahal A adalah cerita personal. Maka dia mengambil jalan lain: menghadapi A sebagai bagian dari dirinya. Tetapi A [yang sekarang berubah menjadi cerita kakaknya, yang dipersonalkan menjadi kakaknya [K]] ternyata terlalu menyakitkan untuk didekati dan dipahami; atau bahwa A memang sangat menyedihkan dan memilukan. Ia merasa A cq. K menghardiknya dengan keras. S akhirnya memutuskan untuk kembali melakukan sabbatical terhadap A [dimetaforakan dengan dia merasa sedih dan ingin menangis di stasiun kereta dan di lain hari karena sesuatu hal dia terjatuh dan merasa dirinya terbang].

Saya mau tidak mau berpendapat bahwa itulah sikap mental orang Jerman menghadapi masa lalu bangsanya, terutama masa Perang Dunia kedua. Banyak generasi Jerman yang melakukan sabbatical, dengan tidak menyinggungnya atau menghadapinya tetapi dengan perasaan bersalah yang kelewatan. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Orang Jerman tidak ingin belajar dari masa lalunya. Saya justru mengatakan bahwa rasa bersalah yang besar itu malah selalu membawa masa lalu Bangsa Jerman ke masa sekarang; dia jadi bagian masa sekarang dan justru malah memperbesar kembali rasa bersalah itu. Ketika orang Jerman coba menghadapi masa lalunya dengan ketiadaan prasangka dan rasa bersalah, dia malah akan merasa seperti menemukan bahwa sejarah itu memang sedemikian menjijikan, sedemikian menakutkan dan menyakitkan, sedemikian menyudutkannya ke ruang lain dari dirinya sendiri. Dan kembali ke sabbatical lagi sebagaimana S.

Tetapi di lain saya juga dengar bahwa generasi baru Jerman ternyata melihat keburukan sejarah itu sebagai bagian masa lalunya dan tidak lagi harus menanggung rasa bersalah itu terus menerus. Mereka telah belajar dari masa lalunya itu dan mereka merasa bahwa masa lalu itu harus berhenti di terminal masa lalu juga. Masa sekarang harus diisi dengan masa sekarang juga, antara lain penyatuan Jerman dan hubungan kultural dengan imigran-imigran asing terutama dengan keturunan Turki.

Karena itulah terbit dalam benak saya, jika benar bahwa HUT ini sangat paham orang Jerman [karena hampir semua karya novelnya bersifat otobiografi], generasi mana yang sedang diajaknya berbicara dalam novel ini? Generasinya atau generasi sesudahnya? Saya juga bertanya-tanya bagaimana sikap Orang Jerman pada sejarah?

Jika saya boleh menerka, generasinya saja yang sedang diajaknya bicara sebagai orang Jerman dalam Novel ini. Jika itu benar, saya berharap dia sedang mengatakan bahwa bunuh diri namanya kalau kita,Orang Jerman, melakukan sabbatical lagi terhadap sejarah yang ada, karena penyatuan Jerman adalah hal yang mulai jadi perbincangan umum dan bahwa sejarah lain dari kultur lain sudah mulai masuk dan berdiam diri di Jerman, seperti keturunan Turki itu, yang membutuhkan cara pandang lain, yang lebih lepas dan terbuka. Sebelum semuanya terlambat dan membuat orang Jerman terbata-bata membaca kenyataan di luar sana yang juga sudah berganti warna.

Nama Acara : Hans-Ulrich Treichel – Pembacaan Dwi Bahasa Novel Menschenflug

Tempat/waktu: GoetheHaus, 6 Juni 2007, 19.30 WIB